2
"Ayo, Aska!" ajak Om Andre yang sudah berpenampilan rapi dengan kemeja batik lengan panjang berwarna biru dan celana hitam serta sepatu mengilat.
Aku menaikkan alis jajaran genjang milikku dengan mimik terkejut.
"Ke mana?" tanyaku lugu.
"Ke KUA," jawabnya seraya memamerkan lesung pipinya yang aduhai.
Apaaaa?
Secepat ini mau menikah?
Aku kan belum berdandan, sanggulan, luluran.
Ehh ....
"Bukan mau nikahin kamu sekarang. Tapi mau menghadiri acara akad nikah sekretaris aa' di aula komplek dekat rumahnya. Sekalian ngenalin calon istri ke karyawan kantor," jelasnya dengan wajah sumringah.
"Huft. Syukurlah. Kirain mau dipaksa nikah," ujarku sambil berdiri.
"Ehh. Kamu mau ke mana?" tanyanya.
"Ganti bajulah, Om. Masa' kondangan pake baju begini," sahutku sambil menunjukkan babydoll selutut yang kupakai.
"Ok. Aa' tunggu."
Dengan gerakan cepat aku berbalik dan melayang di udara. Melewati pagar kedua rumah dan menembus dinding kamarku yang terletak di sebelah taman rumah.
Berganti pakaian dan membubuhkan make up natural di wajah. Tak lupa menyisir rambut setengah tiang ehh pinggangku yang ikal panjang lurus.
Menyemprotkan parfum favorit ke beberapa titik tubuh. Menjinjing sepatu hak tinggi berwarna hitam dan menyampirkan tas tangan mungil ke bahu kanan.
Tak lupa mencemplungkan ponsel, bedak, lipstik, tisu, cabe rawit, cabe merah, duo bawang dan tomat ke dalam tas. Kali aja di sana enggak ada sambel.
"Ma, Aska berangkat, ya!" pamitku ke Mama yang entah ada di mana.
Kemudian aku memakai sepatu dan berjalan dengan anggun ke depan rumah.
Aku terperangah saat melihatnya sudah nangkring di atas motor besar miliknya seraya tersenyum lebar ke arahku.
"Kok naik motor?" tanyaku keheranan.
"Dekat ini. Males naik mobil. Macet," jawabnya sembari mengulurkan helm berwarna pink ke arahku.
"Tapi aku kan pake gaun," tunjukku pada gaun berwarna biru muda yang dikenakan.
"Pake legging?"
Aku mengangguk.
"Ya udah. Tinggal naik aja," sahutnya santai.
Aku menghela napas dan mengembuskan cepat. Beranjak menaiki motor sambil berpegangan pada lengan kirinya.
"Udah?"
"Iya," sahutku.
Om Andre memencet klakson dan mulai menjalankan motor berknalpot berisik itu ke jalan komplek.
Aku melambaikan tangan pada Papa yang sedang bermain catur dengan Pak Tarno.
Perjalanan kami ditempuh dalam keheningan. Beberapa kali Om Andre melirikku dari spion kiri.
"Aska, maju dong duduknya. Peluk Aa'. Jangan pegangan ke belakang begitu. Kayak boncengan ama tukang ojek aja," ujarnya sambil menoleh sedikit ke belakang.
"Gak mau!" tegasku.
Tiba-tiba ia melajukan motor dan mengerem mendadak. Membuatku menabrak punggungnya dengan sempurna.
Spontan aku berpegangan di pinggangnya sambil menggerutu. Tangannya bergerak menarik lengan kiriku dan melingkarkannya di perut six bag miliknya.
"Apaan sih, Om? Ntar aku bisa jatuh!" hardikku.
"Aa'. Jangan panggil Om lagi!" tegasnya.
"Masa Aa' perutnya melendung gini?" tunjukku sambil memencet perutnya yang bergerak menolak pencetanku.
"Biarin!"
Aku tersenyum lebar sambil memalingkan wajah ke kanan.
Terdengar tawanya yang renyah bak kerupuk udang yang gurih.
***
Acara akad nikah Teh Safira dan suaminya berjalan dengan lancar. Kemudian acara dilanjutkan dengan ramah tamah sekaligus makan siang.
Om Andre tidak pernah menjauh sedikit pun dari sisiku. Ke mana pun ia melangkah, aku pasti digiringnya bersama.
Digiring, ya. Bukan dituntun. Pokoknya persis cara induk bebek menggiring anak-anaknya kembali ke kandang.
Tiba-tiba sesosok wanita yang mengenakan gaun berpotongan seksi berwarna ungu tua, dengan rambut merah menyala sepundak merengsek maju dan memeluk Om Andre.
Wanita itu menggumamkan kata-kata rindu di telinga kanan pria berambut cepak yang tampak tertegun.
Ada bara api yang mulai menyala dalam hati. Membuatku ingin menarik tubuh wanita seksi itu dan menenggelamkannya di selokan depan aula ini.
Om Andre bergerak mundur selangkah dan menjauh dari wanita berambut merah yang tampak bingung dengan sikap Om Andre.
"Hai, Evita. Apa kabar?" tanya Om Andre.
"Kabar baik, Sayang. Ehm ... ini siapa?" Wanita bernama Evita itu balik bertanya.
"Ini Kinarian Askana, calon istriku," jawab Om Andre sembari merangkul pundakku.
Sikapnya itu seketika memadamkan bara api di dalam hati. Dia menyunggingkan senyum manisnya ke arahku.
Kubalas dengan senyuman terbaik bak iklan pasta gigi, sembari merapikan rambut yang menutupi sebagian wajahku ke belakang bahu.
Wanita dewasa berambut merah hasil pewarnaan dari salon mahal ini menatap kami secara bergantian.
Kemudian, dia memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki mungilku yang mengambang di atas lantai. Sorot matanya seolah meremehkan dengan secarik senyum sinis di bibirnya yang lebar dan tebal.
Aku membalas memandangi dari ujung kakinya yang mulus tanpa rambut sedikit pun yang terpampang nyata di balik belahan gaunnya yang sampai ke lutut.
Pandanganku berhenti di bagian d**a. Senyuman tersungging di bibirku yang seksi. Untuk bagian ini dan wajah, aku jelas menang telak.
Wanita bernama Evita itu menyadari bila aku memandangi miliknya yang rata. Dia langsung menarik tas besar yang dipegangnya untuk digantungkan di leher.
Om Andre yang memperhatikan tingkah kami hanya tersenyum-senyum geje. Mungkin merasa senang ada dua orang wanita sedang saling menilai satu sama lain demi memperebutkan dia.
Ehh ... sebentar!
Kenapa aku jadi begini sih?
Harusnya aku tetap tampil kalem dan menjalankan misiku untuk mencoba setiap stand makanan di sini.
Bukannya harus bersitegang urat bakso dengan wanita dewasa berambut merah hasil sepuhan itu.
"Ayo, kita coba stand yang itu, Aa'," ajakku dengan suara manja ke Om Andre yang sumringah dipanggil Aa'.
"Punten, Tante," pamitku pada wanita bergaun kekurangan bahan yang mendelik ke arah kami, seakan pengen ngajak adu layangan.
Aku mengayunkan langkah kaki dengan sedikit berlenggok dan dagu terangkat. Tak lupa menggandeng tangan pria six bag yang masih cengengesan.
"Siapa sih dia, Om?" tanyaku saat kami sudah memegang piring berisi siomay.
"Dia, tunanganku."
"Ughh ...." aku tersedak kentang yang sedang dimakan.
Om Andre menepuk-nepuk punggungku dengan semangat hingga potongan kentang terlontar keluar dari mulutku dan mendarat mulus di sepatu seseorang yang berdiri di depan kami.
"Apaan sih, Om? Nepuknya semangat amat!" omelku sambil mengelap mulut dengan ujung kemeja batiknya.
"Yang penting kan keluar. Lagian kamu makan teh gak dikunyah dulu? Kentang segede gitu main telan aja," Dia balas mengomeliku.
Tak peduli aku melotot. Kesal!
"Kinkin? Kamu Kinkin, kan?" tanya pria pemilik sepatu mengilat yang terkena granat kentang tadi.
Aku mendongak. Mengerjapkan mata saat memandangi pria ganteng yang tersenyum manis di hadapan.
Ingatanku melayang pada seorang cowok kecil berpakaian putih merah yang sering mengapeliku sebelum akhirnya cowok itu pindah sekolah ke dunia lain.
"Kinkin?" panggilnya lagi.
"Mpus?" Aku mencoba memastikan.
Dia mengangguk dengan senyuman melebar.
"Aaarrgggghhh!" jeritku sambil menghambur memeluknya dan melompat kegirangan.
Sampai lupa kalau piring siomay terjatuh begitu saja dari tanganku. Untung piringnya tidak pecah karena terbuat dari gabus sintetis. Kalau pecah kan aku bakal disuruh ganti.
"Hai, apa kabar?" tanya Mpus.
"Kabar baik. Kamu gimana?" tanyaku sembari melepaskan pelukan dan mundur selangkah.
"Alhamdulillah. Tetap ganteng dan menawan," jawabnya seraya menowel daguku.
Aku tersenyum memandanginya. Dia memang tambah ganteng dan ... seksi.