bc

Tergoda Pria Six Bag

book_age18+
1.1K
FOLLOW
7.2K
READ
billionaire
goodgirl
independent
neighbor
comedy
humorous
city
like
intro-logo
Blurb

Kinarian Askana, seorang gadis muda berusia dua puluh tahun yang tiba-tiba dilamar pria berperut six bag alias buncit bernama Andre Darmawan, yang merupakan tetangga baru di seberang rumahnya.

Berbagai kejadian konyol dan cerita antara mereka yang dipenuhi dengan intrik dan hal yang lucu. Dibumbui dengan cerita romantis pasangan aneh ini, menjadikan cerita ini sangat menarik.

chap-preview
Free preview
Dilamar Pria Six Bag
1 Suasana di ruang tamu rumah milik orang tuaku ini mendadak hening. Terlalu hening hingga bila ada yang buang angin pun akan terdengar jelas. Semua pasang mata memandang ke arahku. Dua pasang mata dengan sorot mata bertanya-tanya. Sepasang mata dengan sorot mata ala yakuza milik Mama. Sepasang mata dengan sorot mata jahil milik Papa, dan sepasang mata dengan sorot mata ... entah milik Om Andre. "Gimana, Aska? Semuanya nunggu jawabanmu ini," tanya Mama. Wanita yang tetap cantik di usianya yang tak lagi muda itu, menaikkan alis berbentuk bulan sabitnya yang lebat, menaungi kedua mata yang membulat sempurna. "Aska boleh pikir-pikir dulu gak, Ma?" balasku dengan balik bertanya. Mama mendengkus dan melirik Papa. Dua sejoli ini memang sangat kompak, terutama dalam hal memaksakan kehendak padaku, anak perempuan kesayangan mereka. "Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk berpikir, Aska?" Suara Om Andre yang berat dan seksi ala penyiar radio itu tiba-tiba terdengar bertanya. Sontak semua mata tertuju pada pria berumur tiga puluh tahun tersebut, yang duduk di kursi tepat berhadapan denganku. "Ehm ... kalo boleh sih, sampai tahun depan, Om," jawabku asal. Pelototan Mama semakin mirip medusa. Tanduk kecil mulai muncul di atas kepalanya. Curiga bentar lagi taringnya juga bakal keluar. Pria yang duduk di seberangku itu tampak menghela napas dan mengembuskan cepat. Kemudian ia mengangguk. "Oke. Satu tahun dari sekarang. Sampai lebaran selanjutnya. Om bakal nunggu!" tegasnya. Aku mengangguk ragu-ragu. Hanya bisa terpaku saat pria itu berdiri dan pamit kepada kedua orang tuaku. Kedua kakaknya yang ikut mengantar ke sini juga ikutan pamit. Papa dan Mama mengantarkan ketiga orang tamunya sampai teras depan rumah. Sebelum Mama masuk kembali aku segera berlari ke dalam kamar. Mengunci pintu. Pasang gembok sepuluh biji. Terus kuncinya ditelan ehh dimasukkan ke dalam laci lemari. Gedoran di pintu mulai bertalu. Disusul dengan bunyi drum yang ditabuh Papa dari teras belakang rumah. Aku menyumpal telinga dengan head set. Memutar lagu dangdut koplo sambil bernyanyi untuk mengaburkan semua suara dari luar. *** "Hai," sapa pria dewasa yang berdiri di teras depan rumah. "Ehm ... Om ngapain ke sini?" tanyaku. "Ngapel," jawabnya seraya tersenyum. Duh, itu lesung pipi. Kok bisa tercetak dalam begitu ya? Mana ada dua lagi. Bagi-bagi kek satu ke aku. Eeeehhhhh! "Ngapel? Gak salah?" sahutku dengan dahi terlipat. "Gak. Kan udah kewajiban calon suami buat mengapeli calon istri biar gak disatroni pria lain!" Aku melongo. Mata mengerjap bingung saat ia menarik lenganku untuk duduk di atas pangkuannya ehh di sebelahnya. "Om, kan aku belum mengiyakan lamaran Om minggu lalu." "Gak masalah. Ini kan dalam rangka pedekate." "Kalo nanti aku nolak, gimana?" "Yakin bakal nolak? Cowok ganteng, gagah, menawan, memesona dan berwibawa begini udah limited edition, lho!" tukasnya. Mataku mengerjap lagi. Jawabannya benar-benar di luar perkiraanku. "Boleh nanya serius, Om?" "Boleh." "Kenapa melamar aku?" "Karena om gak mungkin melamar mamamu. Bisa-bisa dijadiin perkedel sama Bang Hamid." Aku tersenyum. "Kan bisa melamar perempuan lain. Mungkin yang lebih dewasa gitu. Aku kan masih kecil, Om." "Kecil bagian mana? Itu gunung kembar ukurannya pasti lumayan." Cubitanku langsung mendarat di punggung tangannya. "m***m!" "Ganteng!" "Genit!" "Keren!" "Tua!" "Memesona." Suara cekikikan dari jendela di belakang kami membuatku berhenti berdebat dengan Om Andre. Semakin lama suara itu semakin membahana. Papa dan Mama keluar dari tempat persembunyian mereka sambil mengacungkan jempol ke Om Andre yang tersenyum lebar. Tak peduli aku yang menggerutu sambil menunduk malu. *** Keesokan paginya dari seberang tampak Om Andre sedang berolahraga di halaman rumahnya. Aku tak bisa menahan senyum saat melihat perut buncit miliknya yang menggelambir sempurna. Pria six bag itu tampak serius mengangkat beban dengan dibantu Papa dan supir pribadinya, Pak Tarno. "Jangan senyum-senyum doang. Sana anterin ini buat calon mantu," ujar Mama sambil mengulurkan piring berisi bakwan sayur plus semangkok kecil saos kacang bikinannya. "Bi Sum aja atuh yang nganterin ke sana," tolakku. "Bi Sum lagi nyetrika. Mama lagi masak. Di rumah ini cuma kamu yang lagi nyantai!" tegas Mama. Akhirnya dengan berat hati aku mengesot ke depan. "Askana! Kalo ngesot gitu kapan nyampenya!" teriak Mama. Mungkin beliau frustrasi melihat tingkahku. Dengan cepat aku berdiri dan melangkahkan kaki. Tak lupa menyapukan bedak dan menyisir rambut ikal panjang lurus di cermin besar di ruang tamu. Menjaga penampilan biar tetap kece itu harus,ya! Apalagi kalau mau ketemu sama pria berperut six bag yang ganteng di seberang rumah. Eeeeaaaa. Kaki melangkah dengan perlahan. Gerakan slow motion ala Keanu Reeves saat menghindari terjangan peluru di film Matrix pun kulakukan dengan penuh penghayatan. Tak lupa berhati-hati agar bakwan sayur serta saos kacang bisa tetap utuh hingga selamat sampai tujuan sesuai alamat yang tertera. Sebelum menyeberang kusempatkan untuk menoleh ke kanan dan ke kiri kurang lebih seratus kali sambil berseru trilili lililili. Kemudian aku mengayunkan langkah kaki dengan anggun. Memasang wajah tanpa ekspresi. Datar kayak semen di lantai. Kenapa semen? Karena aspal kebanyakan itu bergelombang. "Pa, ini." Kuulurkan piring berisi bakwan itu ke arah Papa yang sedang ngupil. "Ooo, ya. Hatur nuhun, Geulis," jawab Papa sambil mengedipkan mata kremian. (Terima kasih, Cantik) Tangannya bergerak mencomot sepotong bakwan dan langsung menyuapkannya ke dalam mulut. Mungkin beliau lupa itu jari bekas ngupil. "Hmm, enak," puji Papa. Aku tersenyum. Sebuah tangan yang sedikit berbulu tiba-tiba terulur ke arah piring dari samping pinggangku. Sontak saja aku kaget, dan tangan kiri bergerak spontan memukul tangan itu hingga terjatuh dan menimpa mangkuk berisi saos yang masih kupegang di tangan kanan. Mangkuk saos melambung di udara dan mendarat dengan sukses di atas kepala Om Andre. "Arrggh!" teriakku sambil menutup mulut dengan tangan kiri. "Kok Aa' diguyur saos kacang sih, Neng Aska?" tanyanya sembari mengusap saos yang mengucur dari atas kepala. Aku menutup mata dan menunduk malu. Sedangkan Papa dan Pak Tarno tertawa melihat kondisi Om Andre yang memprihatinkan. Saat aku membuka mata kembali pria berperut six bag itu sudah menghilang. Seolah lenyap ditelan bumi. Papa merangkul pundakku dan mengajakku untuk duduk di teras. Tak lupa beliau mengambil alih piring bakwan dari tanganku dan meletakkannya di meja bulat kecil di samping kursi teras. Sementara Pak Tarno bergerak cepat masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian keluar kembali sambil membawa satu teko air berwarna hijau yang kutebak adalah sirup. Potongan es batu yang berbentuk trapesium tampak terendam sempurna hingga menimbulkan embun di dinding teko, terlihat sangat menggugah selera. "Silakan, Pak, Neng Aska," ucap Pak Tarno sembari menuangkan air sirup ke dalam empat buah gelas kaca berukuran jumbo yang sudah disiapkannya. Aku dan Papa menyesap minuman dengan pelan dan menikmati setiap tetesan dengan mata terpejam.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kamu Yang Minta (Dokter-CEO)

read
296.1K
bc

Over Protective Doctor

read
479.6K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.4K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
122.9K
bc

The Seed of Love : Cherry

read
114.0K
bc

Married By Accident

read
225.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook