3. Berubah (b)

1311 Words
Suasana makan malam hanya diselimuti keheningan, tidak ada satu obrolan pun terkecuali dari gadis kecil yang duduk di antara mereka. Dia sibuk bercerita pada Key yang duduk di sebelahnya. "Terus tadi aku kasih pinjamin dia penghapus biar enggak nangis lagi," ucap Irina yang melanjutkan ceritanya. Key yang duduk di sebelahnya tersenyum. "Bagus dong, kamu harus baik sama temen-temen kamu." Key mengambil beberapa butir nasi yang menempel di salah satu sudut bibir Irina. Mereka berdua terlalu asik mengobrol sampai mengabaikan tiga orang lain yang duduk bersama mereka di sana. Ketiga orang itu menatap Key dan Irina dengan seulas senyuman. Sampai tiba-tiba suara deheman Handoko, sang kepala keluarga terdengar memecah suasana. "Hari Minggu nanti kita pergi ke pantai, ya? Udah lama enggak-" "Aku enggak ikut," ucap Key dengan perubahan di wajahnya. Seperti biasa. Ucapannya itu menghentikan Irina yang hendak ber-yes ria, tangan kecilnya terhenti di udara dan langsung menatap Key kecewa. "Key ... " Handoko yang melihat raut kekecewaan Irina pun langsung beralih menatap Key. "Keanna banyak tugas, Pa. Udah ada janji sama temen-temen." Key memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya tanpa minat sedikit pun. Nafsu makan yang tadinya sudah hilang pun kini semakin hilang. "Kok gitu? Kak Key ikut, ya?" Irina menggenggam tangan Key dan menatap kakaknya itu dengan tatapan memohon. "Maaf, ya. Minggu ini Kakak udah janji sama temen-temen Kakak." Key melepas tangan Irina. Pemandangan itu lagi. Kedua mata Ravano tidak lepas dari Key. Dan dia sendiri tahu kalau saat ini Key tengah menghindari tatapannya. "Key ke kamar dulu." Key beranjak dari kursinya dan meninggalkan meja makan. "Maaf. Aku gak bisa jadi ayah yang baik." Handoko meremas sendok di tangannya. Rahangnya mengeras menatap punggung Key yang kian menjauh. Sebuah tangan lain menyentuh tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. Handoko menoleh dan mendapati Karin yang tengah tersenyum padanya. "Kamu adalah sosok ayah yang hebat, aku tahu itu. Aku bisa mengerti perasaan Key, dia belum terbiasa menerima keluarga barunya. Terlebih lagi ... " Karin menggantungkan kalimatnya dan beralih menatap Ravano. Handoko mengikuti pandangannya dan dia mengerti. Sangat mengerti. Apakah egois mengorbankan kebahagiaan anak-anak mereka? Ravano dan Keanna hampir benar-benar bahagia, sebelum pernyataan kedua orang tua mereka menghancurkan segalanya. "Rav, Papa min-" "Papa enggak perlu minta maaf. Enggak ada yang salah di sini, kalian berhak bahagia. Dan ... " Ravano menjeda kalimatnya. Dia tersenyum. Senyuman yang amat menyakitkan. "Dan kebahagiaan aku sama Key mungkin jauh dari ekspetasi kami sebelumnya. Mungkin kebahagiaan kami memang bukan sebagai sepasang kekasih, tapi sebagai sepasang saudara." "Rav ... " "Enggak apa-apa kok, Ma, Pa. Ravano bahagia lihat kalian berdua bahagia." Ravano meletakkan sendoknya dan berdiri. "Biar aku yang ngobrol sama Key," lanjutnya. Handoko dan Karin menatap kepergian Ravano. Jantung keduanya serasa diremas dengan kuat. "Apa jalan yang kita ambil ini salah? Keanna tidak berubah sama sekali semenjak lima bulan lalu, dan ... aku tidak pernah melihat kebahagiaan sama sekali di mata Ravano," ucap Handoko. Karin kembali menggenggam tangannya. "Kita percayakan semuanya pada Tuhan. Aku yakin, suatu hari nanti kita semua akan bahagia. Tidak terkecuali Ravano dan Keanna." Handoko ikut tersenyum. Dia tahu kalau sejak awal dia tidak pernah salah memilih wanita sebagai pendamping hidupnya. Karin seperti sosok malaikat, dia berhati begitu lembut. Sama seperti mendiang Diana, mendiang istrinya dulu. Kepergian Diana tentu saja sudah seperti tamparan keras bagi Key. Di saat dia menemukan kebahagiaan barunya bersama Ravano, kebahagiaan itu seolah direnggut secara paksa oleh keadaan. Takdir berkata lain. Kedua orang tua mereka saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah, tanpa tahu keadaan yang sesungguhnya. Bukan hanya Key, karena Ravano juga merasakan hal yang sama. Dia dan Key yang dulunya bahagia, kini berubah menjadi sebaliknya. Mereka hampir saja menjalin hubungan, sebelum akhirnya bertemu di upacara pernikahan. Bukan pernikahan keduanya, melainkan pernikahan orang tuanya. "Key!" panggil Ravano. Namun Key seakan menulikan pendengarannya dan terus berjalan menaiki tangga. Dengan setengah berlari akhirnya Ravano berhasil mengejar gadis itu dan berdiri tepat di depan pintu kamar Key. "Minggir," ucap Key dingin. "Gak. Sebelum lo dengerin gue-" "Gak ada lagi yang perlu gue denger dari lo." Ravano menahan tangan Key yang hendak mendorongnya menjauh, hingga matanya bertatapan langsung dengan mata Key yang entah kenapa kini berubah menjadi begitu dingin. Seperti rumah yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan oleh pemiliknya. Begitu dingin dan sepi. Key memutuskan kontak mata mereka dengan membuang muka dan melepaskan tangannya dengan kasar. "Gue dengerin," ucap cewek itu tanpa mengalihkan pandangannya. Ravano menghela napasnya sejenak. Dia hendak kembali menggenggam tangan Key namun gadis itu dengan sigap menepisnya. "Ngomong aja. Enggak usah megang tangan gue." Key memasukkan tangannya ke dalam saku celana, pertanda kalau dia benar-benar tidak ingin disentuh meskipun hanya ujung jarinya. "Key, lo berubah." Ravano mencoba menatap mata Key yang terus berpaling darinya. Hatinya serasa teriris, orang yang berada di hadapannya bukanlah Key yang dulu. Dia benar-benar berubah. Tatapan mata yang dulunya hangat, kini berubah menjadi dingin dan tajam setiap kali menatapnya. Senyuman tulus bak malaikat yang selalu ditujukan padanya, kini hilang entah ke mana. Yang ada hanya senyuman sinis penuh kebencian. "Kalo cuma itu yang mau lo omongin, mendingan sekarang lo pergi. Gue gak punya waktu buat ngomongin hal yang gak penting." Key mendorong Ravano menjauh dari pintu kamarnya. Key memegang handle pintu dengan tangan yang bergetar. Rasanya dia ingin berteriak dan memeluk Ravano seerat mungkin. Namun dia tidak bisa melakukannya. Tubuh Ravano seakan penuh duri yang bisa melukainya setiap saat. Sial! Kenapa matanya perih sekali? Dia tidak boleh menangis lagi! Key membuka pintu dengan terburu-buru. Dia benar-benar lemah jika berada di depan Ravano. Sebelum dia berhasil masuk, tiba-tiba Ravano menarik tubuhnya ke sebuah dekapan hangat yang menenangkan. Dekapan yang begitu dia rindukan. Namun mengapa kali ini rasanya begitu menyakitkan? Seakan tertusuk ribuan duri yang menancap begitu dalam ke setiap bagian tubuhnya. Sakit. "Gue sayang sama lo, Keanna." *** Bel sekolah berbunyi 20 menit lagi. Satu per satu siswa memasuki area sekolah. Tidak terkecuali dengan para guru yang mengajar di sana. Seorang siswa terlihat berada di sebuah pos satpam yang berada di dekat gerbang. Sesekali dia mengobrol dengan seorang pria paruh baya yang tidak lain merupakan satpam sekolahnya. "Wah ... pantesan Bapak betah di sini. Tiap hari bisa cuci mata," goda Ravano sembari memperhatikan satu per satu murid yang memasuki gerbang. Pak Udin, yang merupakan satpam sekolahnya itu tertawa pelan. "Iya dong. Apalagi murid di sini cantik-cantik." Mendengar itu, Ravano ikut tertawa. "Oh, iya. Akhir-akhir ini ada eneng-eneng yang suka diem di depan gerbang kalo pagi," ucap Pak Udin. Ravano sontak menoleh. Tanpa bertanya pun, dia sudah tahu siapa yang Pak Udin maksud. Sudah jelas kalau orang itu Key. "Tiap hari?" Pak Udin nampak berpikir. "Bapak enggak terlalu merhatiin, tapi emang cukup sering sih. Pernah bapak tegur, ehh malah langsung kabur." Ravano mengangkat sebelah alisnya. Kemudian matanya tidak sengaja melihat Key yang berjalan memasuki gerbang. Namun cewek itu tidak menghentikan langkahnya hingga benar-benar melewati gerbang. "Makasih ya, Pak. Kalo gitu saya ke kelas dulu," ucap Ravano. Dengan sedikit berlari mengejar Key. Pak Udin hanya menatap kepergian Ravano. "Makasih buat apa?" "Keanna!" Merasa namanya dipanggil, Key pun menolehkan kepalanya. Namun gadis itu kembali membuang muka dan mempercepat langkahnya, berusaha menghindari Ravano. "Gak berhenti di depan gerbang lagi? Tumben," ujar Ravano dengan nada mengejek. Key hanya meliriknya dengan ekor matanya. Ia semakin mempercepat langkah, namun Ravano juga tidak ingin tertinggal darinya. Lelaki itu hanya tersenyum kecut menanggapi reaksi Key yang dingin seperti biasanya. Dulu setiap pagi, Ravano selalu pergi ke rumah Key dan mereka berangkat bersama. Namun kali ini, Key selalu menolak permintaannya. Dia lebih memilih menaiki angkutan umum. Key memang menghindarinya, dia menjauhi Ravano. Dan hal itu sudah disadari oleh kedua orang tua mereka sejak lama. "Nyatanya tinggal serumah pun gue malah semakin jauh sama dia," batin Ravano. Awalnya dia pikir semuanya akan berjalan tidak terlalu sulit. Mereka bisa menghabiskan waktu bersama, berangkat ke sekolah bersama, begitu pun saat pulang. Namun nyatanya Key malah semakin menjauhinya. Rasanya sakit. Saat jarak kita semakin dekat, namun kita seperti terpisah ribuan mil jauhnya. - To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD