'Cause we were just kids when we fell in love
Not knowing what it was
I will not give you up this time
But darling, just kiss me slow, your heart is all I own
And in your eyes you're holding mine
Baby, I'm dancing in the dark with you between my arms
Lantunan salah satu lagu milik Ed Sheeran itu pun terhenti. Ravano menghentikan petikan gitarnya.
"Kenapa berhenti?" Temannya yang berada di sebelahnya itu menatap Ravano bingung.
"Gue lapar. Mau ke kantin bareng gak, Kin?" tanya Ravano sembari meletakkan gitar yang dipegangnya itu ke atas meja.
"Dengan senang hati. Gue juga lapar." Temannya itu tertawa pelan dan pergi meninggalkan kelas bersama Ravano.
Namanya Kinn Dhananjaya, teman sebangku Ravano.
"Lo yang bayar kan, Rav?" Kinn menyikut pelan lengan sahabatnya.
Ravano sontak meninju bahu Kinn. "Enak aja lo!"
Kinn tertawa. "Eh, Kak Silvi liatin lo tuh. Dia naksir kali sama lo."
Ravano melirik sejenak ke arah yang Kinn maksud. Seorang siswi yang berada di salah satu sudut koridor itu tengah memperhatikannya dengan senyuman yang sulit diartikan. Sementara teman-temannya yang berada di sana sesekali membisikkan sesuatu padanya hingga gadis itu tersenyum. Dia adalah siswi yang sama dengan yang bertemu Ravano tadi pagi.
Ravano menarik salah satu bibirnya dan berkata, "bodo amat."
Dia kembali membuang pandangannya.
"Sikat aja, Rav. Toh Kak Silvi cantik, kan? Dia yang paling cantik se-kelas dua belas. Eh? Atau se-sekolah?"
Ravano tertawa. "Emangnya lo kira cucian, maen sikat."
Mereka berdua berjalan memasuki kantin yang saat itu sedang cukup ramai.
Kemudian mereka mendekati sang pemilik kantin untuk memesan.
"Oh, Key? Hai." Ravano melambaikan salah satu tangannya begitu dia bertemu Key di sana. Dilihatnya gadis itu juga tengah memesan bersama Adel. "Lo udah pesen?"
"Udah barusan," ucap Key singkat tanpa menolehkan kepalanya. Kemudian dia dan Adel berjalan menghampiri salah satu meja yang kosong.
"Baju lo masih basah, Key?" tanya Adel.
"Udah lumayan kering sih," jawab Key sembari memperhatikan seragam miliknya. "Lagian tadi gak terlalu basah juga sih." Key membuang napas mengingat Ravano yang rela melepas jaket untuknya.
"Makanya gak usah hujan-hujanan," timpal seseorang. Kedua gadis itu menoleh.
Ravano duduk di sebelah Key. Sementara Kinn duduk di sebelah Adel.
"Ngapain lo duduk di sini?" tanya Key dengan kedua alis yang bertaut.
Ravano menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Gak boleh ya?"
Key tidak menjawabnya dan membuang pandangannya ke arah lain.
Ravano tersenyum simpul. "Ehm ... nanti pulang bareng gue ya?"
"Gue bisa naik angkot."
Ravano terdiam mendengar jawaban Key. Hal yang sudah biasa baginya saat Key menolak tawarannya.
Tidak lama kemudian seseorang datang membawakan pesanan mereka.
"Makasih, Bi," ucap Ravano.
Adel hanya menatap kedua orang itu dalam diam. Dia paling tidak bisa berkutik ketika Key dan Ravano dalam situasi seperti saat ini.
"Heh, Junet! Kenapa lo ngeliatin mereka mulu sih? Cemburu?" Ucapan Kinn sukses membuat Adel memelototkan kedua matanya.
"Ngapain gue cemburu?" Adel memutar kedua matanya. "Mereka kan-"
"Bentar lagi bel, buruan habisin bakso lo, Del." Key dengan cepat memotong ucapan Adel. Sementara sahabatnya itu mendadak gugup dan berdeham tidak jelas.
"Ngomong-ngomong nama gue tuh Zaneth, ya, Kinn! Zaneth!"
"Bodoamat." Kinn memakan soto ayam miliknya tanpa mempedulikan ocehan Adel.
Sementara Ravano sesekali melirik Key yang berada di sebelahnya.
***
Key berlari menuju gerbang. Gadis itu melirik ke arah jam tangannya dan membuang napas. Tugas matematika dari Bu Rima memang kelewat kompleks sampai memerlukan waktu dan fokus yang ekstra untuk mengerjakannya. Padahal tadi dia mengerjakan di perpustakaan dengan berbagai macam buku paket. Tapi itu masih tidak cukup dan hanya membuang waktu karena ujung-ujungnya dia mengerjakannya kembali di kelas setelah jam terakhir bersama teman-temannya yang lain.
"Kenapa gak ada taksi lewat sih?" gumamnya. Dia sedikit menyesal tidak menerima tawaran Adel untuk pulang bersama, meskipun arah rumah mereka berlawanan. Baru saja dia hendak melangkah, sebuah motor berhenti tepat di depannya.
"Naik," ucap si pemilik motor sembari membuka kaca helmnya.
"Gue naik taksi."
"Gue tadi ke kelas lo tapi lo masih ngerjain tugas. Jadi gue nunggu di depan ruang OSIS sampai lo selesai."
"Gue gak pernah nyuruh lo."
Ravano menaikkan kedua bahunya lalu turun dari motornya dan berdiri di sebelah Key.
"Ngapain lo?" Key memandang tajam Ravano.
"Nemenin lo," ucap Ravano santai. "Mana taksinya?"
Key kembali melirik jam tangannya. "Bentar lagi juga ada yang lewat."
"Oh, ya? Ya udah."
Key menoleh. "Kok lo masih diem? Pulang duluan aja."
"Lo ngusir gue?" ucap Ravano.
"Gue gak ngusir, gue cuma nyuruh lo pulang."
"Sama aja." Ravano menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Besok pagi lo mau berdiri lagi di depan gerbang?" tunjuknya pada gerbang sekolah yang tidak jauh dari mereka.
"Bukan urusan lo."
"Besok gue temenin deh."
Ucapan Ravano membuat Key kembali menoleh padanya. Gadis itu hendak pergi, namun Ravano dengan sigap menahan tangannya.
"Mau ke mana lo?"
"Nyari taksi."
"Lo pulang bareng gue."
"Gak usah," tolak Key sembari berusaha melepaskan tangan Ravano.
"Keanna!"
Key memejamkan kedua matanya rapat. Dia beralih menatap Ravano dengan kedua matanya yang tajam.
"Gue bisa pulang sendiri," tegasnya.
"Tapi mama bisa marah kalo sampai lo pulang sendiri lagi."
"Mama udah nggak ada!"
Ravano terkejut saat melihat mata Key yang berkaca-kaca. Dia pun melonggarkan tangannya, membiarkan gadis itu pergi meninggalkannya. Tangan Ravano mengepal kuat.
Selalu seperti ini. Key yang sekarang selalu menolaknya, menjauhinya, bahkan mungkin membencinya. Dan Ravano benci karena alasan dari semua itu adalah dirinya.
***
Ravano membuka pintu besar rumahnya. Sesekali dia melirik ke arah gadis yang berjalan di sebelahnya dengan kepala yang menunduk.
"Lo marah?" tanya Ravano.
"Enggak," jawab Key singkat tanpa menatap Ravano dan berjalan mendahului lelaki itu. Namun saat dia menginjakkan kakinya di anak tangga pertama, seorang gadis kecil berlari menghampirinya dan langsung memeluknya erat hingga Key hampir saja terjengkang jika dia kehilangan keseimbangannya walau hanya sedikit.
"Yeyyy ... Kakak pulang!" seru gadis yang berusia tujuh tahun itu dengan girang tanpa melepaskan pelukannya. Key sempat menahan napasnya beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum. Dia mengusap puncak kepala anak itu.
Ravano ikut tersenyum melihatnya. Walaupun senyuman itu bukan untuknya, tapi dia ikut bahagia. Setidaknya dia bisa melihat Key tersenyum begitu tulus pada adiknya.
"Kok tumben pulang telat?" Seorang wanita muncul dari arah yang sama dengan gadis kecil tadi. Salah satu tangannya terlihat membawa sebuah piring yang berisi berbagai macam buah-buahan yang telah dipotong menjadi ukuran kecil. "Kalian pulang bareng, kan?"
Ravano mengangguk ketika sang mama menatapnya. Dia menatap Key.
Senyuman Key memudar. Dia menatap sekilas ke arah wanita itu dan dengan gerakan pelan melepas pelukan Irina, yang tidak lain adalah gadis kecil tadi.
"Ngerjain tugas dulu." Key lalu menatap Irina. "Kakak mau ganti baju dulu," ucapnya lembut dan kembali tersenyum.
Dan Ravano lagi-lagi harus menahan sesak di dadanya. Senyuman itu. Senyuman yang selalu berhasil membuat dunia Ravano runtuh seketika. Ketika senyuman tulus itu hilang, lalu digantikan dengan senyuman yang amat sangat menyakitkan.
Ravano melihat Key yang berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Irina sedikit menatap Key kecewa, senyuman anak itu ikut hilang dan mata bulatnya bertemu dengan mata Ravano.
"Kakak lagi marahan, ya?" tanyanya dengan garis lengkungan ke bawah yang tercetak di bibirnya.
Ravano bungkam dan beralih menatap wanita tadi, yanh tidak lain adalah mamanya. Wanita itu juga menatap Ravano, kembali menunjukkan senyuman penuh luka. Kemudian Karin berjalan menghampiri Irina yang masih memandangi Key yang sudah naik ke atas.
"Nanti main lagi, sekarang Kak Key mau ganti baju dulu," ucap Karin pada putrinya. "Sekarang makan buah, yuk? Katanya tadi mau buah."
Wajah mendung Irina seketika berubah menjadi kembali cerah. Dia mengangguk, dan langsung menggandeng tangan Karin ke sebuah sofa di depan TV.
Sementara Ravano berjalan menaiki satu per satu anak tangga. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar Key. Dengan ragu dia mengetuknya pelan.
"Key," panggilnya.
Tidak ada jawaban.
"Gue tahu lo—"
"Gue lagi ganti baju. Mendingan lo pergi," jawab Key dari dalam.
Ravano mengepalkan tangannya. Dia benci ini. Dia tahu Key berbohong. Dia tahu Key tidak sedang berganti baju. Dia tahu saat ini Key tengah berada di balik pintu kamarnya, terduduk di lantai kamarnya yang dingin sambil memeluk kedua lututnya.
Key menangis. Dan Ravano tahu itu.
Sesulit itukah, Key? Sesulit itukah menerima kehadirannya? Sesulit itukah menerima keluarganya?
Batin Ravano menjerit sakit. Luka di dadanya akan terus menganga lebar sebelum Key benar-benar bisa menerimanya. Ravano benci semua ini, namun dia tidak bisa membenci mamanya. Dia hanya ingin melihat wanita yang sudah melahirkannya itu hidup bahagia, meskipun Ravano harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Termasuk dengan mengorbankan kebahagiaan Key.
"Maaf, Key," ucap Ravano tertahan. Begitu sesak di dadanya sampai dia tidak mampu mengatakan hal yang lebih dari itu.
"Maaf karena gue egois." Ravano meninggalkan kamar Key dengan kedua mata memanas.
Key terisak. Ribuan kata maaf telah diucapkan Ravano padanya. Tapi kenapa rasanya malah semakin sulit? Jantungnya serasa di remas kuat. Getaran yang ditimbulkannya terasa menyakitkan, berbeda dengan dulu.
"Gue yang egois, Rav. Gue yang harusnya minta maaf."
— To be continued