1. Kenangan
Derap langkah kaki memenuhi setiap penjuru koridor yang semula sepi. Semua orang berhamburan ke sana kemari. Selain karena bel jam pertama yang baru saja berbunyi, mereka juga ingin cepat-cepat masuk ke dalam kelas.
"Nanti Bu Rima gak masuk. Tugas matematika di buku paket halaman 132 bagian D sama E." Seseorang berujar sembari melihat layar ponselnya. "Ehh ... lo dengerin gue gak?" Dia menyikut gadis di sebelahnya yang sedari tadi menatap ke luar jendela, memperhatikan air hujan yang turun membasahi dedaunan.
Key berkedip dua kali, lalu menoleh. "Hm?"
Temannya menghela napas pelan dan melirik sekilas ke arah papan tulis sebelum akhirnya kembali berucap, "udah ditulis sama ketua kelas," tunjuknya dengan dagu.
Key mengalihkan pandangannya ke sebuah white board di depan sana. "Tugas lagi?"
"Ya ... lo sendiri tahu, 'kan? Bu Rima itu lagi hamil jadi ya sering gak masuk." Zaneth Adelia Ivanka, nama gadis itu. Dia kembali menghela napas. "Lagian kenapa gak sekalian ngambil cuti aja sih? Kan bisa diganti sama guru yang lain."
Key hanya tersenyum tipis menanggapinya, merasa sudah biasa dengan tingkah Adel yang selalu seperti itu jika sudah ada tugas dari Bu Rima. "Gue mau ke perpus. Lo mau ikut gak? Sekalian nyari buku buat tugas. Lo tahu sendiri kan tugasnya Bu Rima itu kayak gimana."
"Iya, gue ikut." Adel segera mengikuti langkah Key yang telah berjalan mendahuluinya. Tidak lupa dia membawa beberapa alat tulis miliknya.
Mereka berdua akhirnya berjalan menyusuri koridor menuju perpustakaan.
"Hujannya belom berhenti," ucap Adel yang menatap keadaan langit di atas sana.
Sementara Key tidak menggubrisnya, cewek itu kini menghentikan langkahnya hingga membuat Adel berjalan mendahuluinya tanpa gadis itu sadari. Membiarkan gadis berambut ikal itu mengoceh sendiri.
Key mengangkat salah satu tangan dan membiarkan tetesan air itu membasahinya.
"Gue gak benci hujan, tapi kadang hujan bisa bikin semua luka yang ada jadi kenangan yang gak bisa dilupakan."
Sekelebat bayangan masa lalu menghampiri pikirannya, membuat seulas senyuman terukir di bibir tipisnya.
Dia lalu menurunkan tangannya sebelum fokusnya teralih pada sebuah objek yang ada di depan sana.
Pandangan mereka bertemu dalam sendu.
Di salah satu koridor yang berseberangan dengannya, dengan lapangan basket sebagai sekat pemisahnya, seseorang terlihat menatap ke arahnya dengan tatapan yang- cukup membuatnya sesak.
"Sederas apa pun hujan turun, hujan tetaplah air yang akan selalu menghadirkan suatu kenangan."
Dia tersenyum. Namun sepersekian detik kemudian, ukiran bulan sabit itu lagi-lagi menghilang dari bibirnya. Keanna pergi. Gadis itu kembali pergi meninggalkannya.
"Rav? Lo kenapa?" Seseorang menepuk bahunya pelan, membuyarkan segala pikirannya. Cowok itu menoleh dan mendapati seorang gadis cantik berambut sebahu dengan bando berwarna merah di rambutnya. Namanya Silvi, salah satu siswi kelas XII sekaligus siswi tercantik di sekolahnya.
Ravano tersenyum tipis. "Gue gapapa kok."
"Gue mau ke kantin. Mau bareng gak?" Silvi menatap wajah Ravano.
"Maaf, gue mau ke perpus." Ravano pun melangkahkan kakinya dan meninggalkan Silvi yang masih berdiri di sana.
Ravano pergi menuju perpustakaan. Tempat yang selalu bisa membuat hatinya menghangat, membawa dirinya ke dalam sejuta kenangan bersama seseorang bernama Keanna.
***
"Ini baru hari Senin dan lo udah bikin basah baju lo," ucap Adel yang diam-diam memperhatikan Key yang sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya. "Mentang-mentang gak upacara," lanjutnya.
"Hehe. Ya abis gimana dong. Gue kan gak bawa baju ganti."
Adel hanya menghela napasnya pelan. "Ya suruh siapa lo hujan-hujanan? Balik aja deh ke kelas. Gue gak mau liat lo demam ntar. Di perpus kan ada AC, lo bisa tambah kedinginan."
"Gue gak apa-apa kok, Del. Nanti juga baju gue kering. Tapi ya ... dingin sih. Hehe."
"Salah lo sendiri! Lagian lo aneh sih. Udah tau hujan. Ravano bilang ke gue kalo akhir-akhir ini dia sering ngeliat lo berdiri di depan gerbang sambil liatin nama sekolah yang ada di situ."
"Hah? Ravano?" Key sontak menoleh ke arah Adel.
"Iya, Ravano."
Key memutar kedua matanya. "Dasar ember."
"Lagian lo ngapain berdiri di sana? Nyari perhatiannya Pak Udin?"
"Mendingan gue gak sekolah," ucap Key tanpa mengubah posisinya.
Adel tertawa pelan. "Terus lo ngapain?"
Key terdiam. Melihat itu, Adel hanya mengembuskan napasnya. "Oke, oke. Gue gak maksa lo buat jawab kok."
Key dan Adel memilih meja yang di dekat jendela, seperti biasanya. Mereka berdua kini telah sibuk dengan alat tulis mereka.
"Niat banget Bu Rima nyiksa muridnya," ucap Adel. Key menoleh sekilas, ia sangat tahu kalau sahabatnya itu sangat membenci mata pelajaran bernama matematika. Hal itu membuatnya tertawa pelan.
"Gak usah banyak protes, kerjain aja."
"Tapi ... "
Adel menghela napas, kedua pipinya menggembung. "Iya deh."
Key tersenyum. "Gue mau nyari buku lagi. Kayaknya di buku ini penjelasannya terlalu ribet." Dia beranjak dari tempatnya dan berjalan menjauhi meja sesaat setelah Adel menganggukkan kepala.
Key berjalan menyusuri setiap rak-rak buku besar yang ada di sana, mengamati dengan detail setiap buku paket matematika yang tersusun dengan rapi. Cewek itu berjinjit, mencoba meraih salah satu buku di bagian yang paling atas.
"Lo kapan tingginya sih?" Sebuah tangan tampak mengambil buku itu. Membuat Key membalikkan badannya dan mendapati Ravano yang berdiri tepat di hadapannya dengan jarak yang cukup dekat.
"Nih."
Key menerima buku yang diberikan oleh Ravano padanya. "Makasih."
Ravano hanya tersenyum. "Sibuk, ya?" tanyanya melirik ke arah Adel yang tengah serius mengerjakan tugas di mejanya.
"Hm."
"Gue ... boleh gabung?"
Key mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Melihat reaksi Key, Ravano secara reflek mengacak pelan rambut gadis itu dengan gemas. Kemudian tanpa persetujuan Key, Ravano berjalan menghampiri mejanya dan Adel, membuat Key mau tidak mau mengikuti langkah Ravano.
"Key, gue gak nger ... ti." Adel menatap Key dan Ravano bergantian. "Lo?"
Ravano hanya mengangkat kedua bahunya, kemudian menarik salah satu kursi yang berada tepat di sebelah kursi milik Key.
"Mana coba gue liat," ucap Ravano menarik buku milik Adel.
"Gue nanya sama Key!" Adel memelotot dan menarik kembali buku miliknya dari tangan Ravano.
"Yang mana?" Key duduk di kursi miliknya, di antara Adel dan Ravano. Kemudian dia segera menjelaskan bagian yang tidak dimengerti oleh Adel dengan detail.
Tanpa sengaja Key menoleh ke arah Ravano, dan mendapati cowok itu tengah menatapnya sembari menopang dagu. "K-kenapa?"
Ravano tertawa. Dia sangat tahu kalau saat ini Key tengah salah tingkah. Terlihat menggemaskan.
"Gak apa-apa," ucap Ravano tanpa mengubah posisinya. "Lo cantik."
Key tidak bereaksi sama sekali. Gadis itu hanya menatap Ravano dengan ekspresi datar.
"Ekhem!" Adel mencoba mencairkan suasana awkward yang menyelimuti kedua orang itu. "Apa gue boleh pergi?"
Key memelototkan matanya, "Tugasnya belom selesai! Jangan pergi!"
Adel menghela napasnya, mengerti dengan tatapan sahabatnya itu. "Oke, oke."
Key kembali berfokus pada bukunya. Dia tidak mau berlama-lama berada dalam situasi yang menurutnya canggung bersama Ravano.
— To be continued