14. Tristan Arova

1168 Words
Ravano langsung berlari sesaat setelah memberikan fotokopian ke ruang guru, membuat beberapa guru yang masih berada di sana menatapnya bingung. Sementara Ravano sendiri merasa kesal kenapa mesin fotokopi sekolahnya harus bermasalah di saat yang tidak tepat, dan kenapa harus dia yang disuruh. "Gimana? Key ada kabar?" tanya Ravano pada Kinn yang menunggunya di parkiran. Kinn menggelengkan kepalanya, membuat Ravano kesal seketika. "Harusnya lo gak biarin dia pergi gitu aja!!" semprotnya dan segera memakai helm. "Lo tadi nelepon pas gue mau kejar Key!" bela Kinn. Ravano membuang napasnya kasar. "Biar gue sendiri yang ke sana. Lo pulang aja. Makasih karena udah ngasih tahu gue." "Lo gila?! Kalo lo ikutan diserang gimana! Rav!" Kinn menahan bahu Ravano ketika temannya itu sudah menghidupkan motor. "Bagi gue, Keanna lebih penting," ucap Ravano dengan penuh penekanan. Dia langsung menyingkirkan tangan Kinn dan melesat keluar dari parkiran dengan cepat. "Ravano! Rav!" Kinn mengacak rambutnya. Dia langsung menaiki motornya dan menyusul Ravano. Namun sayang sekali karena Ravano sudah jauh sekali, membuatnya kehilangan jejak. Sesaat kemudian Kinn melihat ada sebuah mobil polisi yang menghadangnya. Lelaki itu langsung berhenti. Seorang polisi tampak keluar dan menghampiri Kinn. "Jalan ini untuk sementara ditutup karena ada tawuran. Sebaiknya kamu kembali dan lewat ke jalan yang lain. "Tapi teman saya barusan ke sini, Pak." "Itu biar kami yang urus. Sekarang, kamu putar balik." "Pak, tapi—" Kinn membuang napas begitu polisi itu memberinya kode dengan tangan agar dia segera putar balik. Mau tidak mau, akhirnya Kinn berputar balik. Dia berdoa semoga tidak terjadi sesuatu dengan Ravano. Sementara itu Ravano sudah lebih dulu sampai di lokasi. Di sana sudah ada beberapa petugas polisi yang sudah menangkap beberapa murid yang terlibat tawuran. Ravano mengedarkan pandangannya, berusaha mencari Key namun dia tidak melihat keberadaan gadis itu. Ravano pun kembali menelepon Key namun tidak ada satu pun panggilannya yang diangkat. "Sedang apa kamu di sini?" Seorang polisi mendekat ke arah Ravano. "Saya mencari teman saya, Pak. Dia perempuan. Salah satu teman saya bilang kalo tadi dia ke sini." "Kamu sudah menghubunginya?" "Sudah tapi dia tidak mengangkat telepon dari saya." "Tapi kami tidak melihat adanya perempuan di sini. Mungkin teman kamu sudah pergi." Astaga, Key. Lo di mana? *** Key tersentak ketika seseorang menyentuh bahunya. Dia menoleh dengan cepat dan melihat Tristan yang mengulurkan tangan. Key segera berdiri dari posisinya. "Lo gak apa-apa?" tanya lelaki itu. "Harusnya gue yang nanya sama lo," ucap Key setengah kesal. Wajah lelaki itu babak belur namun masih bisa bertanya soal keadaan orang lain. "Gue udah bilang kalo gue gak lemah. Sekarang kita pergi dari sini." Tristan menarik tangan Key dan membawanya keluar dari gang sempit itu. Key melihat beberapa orang yang terkapar di tengah jalan, membuatnya bergidik seketika. "H-hei, lo— berdarah." Kedua mata Key membulat saat melihat darah yang mengalir dari kepala lelaki itu hingga ke tengkuknya. "Gue gak apa-apa." Bersamaan dengan itu, terdengar suara sirine yang mendekat. "Polisi," lirih Key. "Kita bisa minta bantuan—" Wajah Tristan seketika menegang. Dia mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Key. "Motor gue tidak jauh dari sini. Rumah lo di mana? Gue anterin lo pulang sekarang juga." "Tapi lo gak bisa nyetir dengan keadaan lo kayak gini. Lo harus ke rumah sakit." "Gue gak apa-apa!" Tristan lalu mengerang seraya memegangi kepala bagian belakangnya. "Gue rasa luka lo parah. Lo harus—" "Kalian! Berhenti di sana!" Tristan menoleh ke belakang dan melihat beberapa orang polisi yang berlari menghampirinya. Lelaki itu mengumpat pelan dan dengan cepat langsung menarik tangan Key. "Kita mau ke mana?" tanya gadis itu. "Kita pergi dari sini. Lo harus pulang." "Lo lebih penting. Lo harus ke rumah sakit." Jauh di belakang mereka, polisi masih berusaha mengejar. Seseorang yang berada di antara mereka tampak menajamkan indera penglihatannya. "Keanna." Ravano mengenali dengan betul pemilik punggung itu. Key bersama seseorang, mereka tampak berlari menjauh. Sementara polisi lain meringkus murid-murid yang tergeletak di sana, Ravano dan beberapa anggota polisi berusaha mengejar Key dan Tristan. "Keanna!" Key dan Tristan menghampiri sebuah motor dan lelaki itu memberikan sebuah helm pada Key. "Lo pake ini." "T-tapi—" Terlalu membuang waktu, Tristan akhirnya memakaikan helm itu ke kepala Key. Lelaki itu langsung menaiki motornya, begitu pula Key. "Ke rumah sakit!" titah Key seraya mencengkeram kuat pinggiran seragam milik Tristan. Gadis itu terlalu ngeri melihat darah di depannya. Dia seketika kembali panik saat Tristan mengerang. "L-lo gak apa-apa? Lo harus segera ke rumah sakit!" *** Key duduk di sebuah kursi dan memperhatikan seorang suster yang mengobati luka Tristan. Lelaki itu duduk di tepian ranjang. Dia tampak diam, seakan tidak merasakan sakit sama sekali. Tidak lama kemudian suster itu selesai dan segera pamit pergi. "Gak sakit?" tanya Key menatap kepala Tristan yang diperban. Salah satu sudut bibir lelaki itu naik. "Dikit." "Kalo gue, pasti tadi udah mati di sana." "Lo gak akan mati karena ada gue." Tristan lalu tertawa pelan saat melihat reaksi Key yang mendadak diam. "Nama lo siapa? Kita gak sempet kenalan. Gue Tristan." "Gue Keanna. Lo bisa panggil gue Key." Kepala Tristan mengangguk pelan. "Oh, iya. Tadi bukannya lo bilang kalo lo lagi nyari temen lo?" Kedua mata Key seketika membulat. Dia baru ingat Ravano. Gadis itu langsung merogoh tasnya dan melihat banyak notifikasi di ponselnya. Isinya kebanyakan dari Ravano, sisanya dari Kinn dan Adel. Ponselnya langsung bergetar tepat ketika dia hendak menghubungi Ravano. "Halo?" "Key, lo gak apa-apa?" Ravano terdengar khawatir di seberang sana. "Gue gak apa-apa." "Lo di mana?" "Gue—" Key menatap Tristan sejenak. "Di rumah sakit." "Rumah sakit mana? Gue sekarang ke sana." Setelah memberitahukan posisinya pada Ravano, Key kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Temen lo? Dia gak apa-apa?" Key mengangguk pelan. Tristan mengamati ekspresi wajah gadis itu. "Oh, iya makasih ya lo kemarin nolongin gue pas di angkot. Tadi juga," ucap Key. "Gue tadi udah berusaha nolongin lo tapi lo tetep masuk rumah sakit." "Gak masalah. Lo itu tadi nekat banget, tahu gak? Cewek lain mana ada yang berani nerobos kayak tadi. Itu tawuran loh, lo bisa aja tadi mati." "Tapi gue gak tega lihat lo dipukulin. Lo juga kenapa bisa tawuran?" "Biasalah, cowok." Tristan tertawa pelan. "Eh, iya. Jaket lo masih ada di gue." "Buat lo aja kalo lo mau." Tristan terkekeh. Tidak lama kemudian, seseorang datang dan langsung menghampiri mereka. "Ravano." Key langsung berdiri saat melihat lelaki itu. "Lo nggak apa-apa? Gue pikir tadi lo pulang duluan." "Sori, ya. Gue tadi disuruh keluar sebentar sama guru. Lo sendiri gak apa-apa?" Ravano mengamati wajah Key. Seragam milik gadis itu tampak kotor di beberapa bagian. Tristan memperhatikan kedua orang itu. Teman yang Key maksud rupanya seorang lelaki. Itu temannya? "Gue gak apa-apa. Oh, iya. Dia— Tristan." Ravano langsung mengalihkan pandangannya pada seseorang yang duduk di ranjang. Kedua lelaki itu menatap satu sama lain. "Dia yang kemarin nolongin gue sewaktu di angkot. Yang ngasih jaket. Dia juga yang tadi nolongin gue." Kening Ravano berkerut. Tristan turun dari ranjang dan berjalan mendekati Ravano. "Tristan," lelaki itu mengulurkan tangan dan tersenyum tipis. Ravano masih diam menatap Tristan, sebelum akhirnya dia menerima uluran tangan itu. "Ravano." — To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD