15. Khawatir

1213 Words
"Makasih karena udah jagain Key," ucap Ravano pada Tristan. "Key, kita pulang." Lelaki itu menarik salah satu tangan Key namun gadis itu menahannya. "Tapi ... " Key menatap Tristan yang masih berdiri di tempatnya. "Lo pulang aja. Gue udah baikan kok." Tristan tersenyum tipis. Key menatap Ravano sejenak dan gadis itu membuang napas, "Kalo gitu gue duluan, ya. Makasih karena tadi nolongin gue. Dan ... Maaf." Tristan terkekeh pelan. "Iya, iya. Udah sana pulang." Dia memperhatikan Key dan Ravano yang berjalan menjauhinya. Kedua tangannya menyilang di depan d**a. "Mereka temenan?" gumamnya dengan salah satu alis yang naik. "Dari cara natapnya aja, gue bisa tahu. Kalo cowok yang bernama Ravano itu udah jelas punya rasa yang— beda sama Keanna." Salah satu sudut bibir Tristan naik. Kemudian dia merogoh saku celana begitu ponselnya bergetar. "Kenapa?" "Lo di mana, Tris?" "Gue di rumah sakit. Kepala gue lecet dikit. Yang lain gimana? Aman gak?" "Banyak yang ketangkep sama polisi. Oh, iya. Cewek yang tadi sama lo ... Gimana?" "Dia baik-baik aja." "Lo kenal sama dia?" "Enggak. Gue cuma pernah ketemu aja sama dia." "Oh, iya, Tris. Bokap lo—" Wajah Tristan mendadak tegang. "K-kenapa?" "Barusan ada yang bilang ke gue katanya bokap lo datang ke kantor polisi. Dia ... Nyariin lo." Tangan Tristan mengepal. "Oke. Thanks, infonya." Sambungan telepon ditutup. Tristan memijit pelipisnya yang kembali berdenyut. Sementara itu, di parkiran terdengar keributan kecil. Beberapa orang yang berada di sana tampak menatap dua remaja yang sedang bertengkar itu. "Oke, gue minta maaf karena gue tadi gak bilang dulu sama lo. Soalnya gue disuruh buru-buru, gue gak inget buat ngabarin lo," ucap Ravano. "Apa lo gak tahu gimana khawatirnya gue pas Kinn bilang bakalan ada tawuran? Gue takut lo ikut diserang di sana, Rav! Bayangin, jumlah mereka segitu banyaknya dan lo cuma sendiri!" "Iya, Key. Gue paham. Gue juga khawatir pas tahu lo sendirian ke sana. Harusnya lo tadi telepon gue." Key memutar kedua bola matanya seraya menghela napas. "Gue tadi ketemu sama Silvi dan dia bilang kalo lo udah pulang duluan. Gue keburu kesel lah." "Dan lo percaya gitu aja?" "Gue sempet nelepon lo dan gak lo angkat." "Gue tadi lagi di jalan, Key. Gue gak tahu kalo lo nelepon." "Terserah. Lo pulang aja. Gue naik taksi." Langkah Key terhenti begitu Ravano mencengkeram pergelangan tangannya cukup kuat. "Jangan bikin gue marah sama lo. Ini udah terlalu sore. Seragam lo kotor dan berantakan. Gimana kalo ada orang yang niat jahat sama lo?" Ravano menatap Key penuh. "Rav, lo berlebihan." Key berusaha melepaskan tangannya namun sia-sia karena tenaga Ravano jauh lebih kuat. "Gue berlebihan karena gue khawatir sama lo, Keanna!" Key tersentak saat Ravano membentaknya, membuat orang-orang di sana kembali menatap ke arah mereka. Bahkan beberapa di antaranya ada yang sampai berhenti berjalan. "Jangan membantah dan ikut apa kata gue. Sekarang yang lebih penting, mama sama papa jangan sampe tahu. Itu pun kalo lo gak mau kena masalah lagi. Kemungkinan mereka pulang malem, jadi lo masih bisa lolos dari papa." Ravano lalu menarik Key ke dalam dekapannya dan mengelus kepala gadis itu dengan lembut. "Maaf karena barusan gue bentak lo. Gue cuma gak mau lo kenapa-kenapa." *** Ravano mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan menggunakan sebuah handuk kecil. Kedua kakinya lalu keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. Key terlihat tengah duduk di sofa dengan setoples camilan di pangkuannya. Kedua matanya fokus ke arah layar televisi. "Gue udah masak barusan. Lo tinggal makan aja kalo lo mau. Papa pulangnya bakalan telat soalnya Irina pengin jalan-jalan dulu." "Lo masak?" "Hm." Ravano tersenyum tipis. Dia lalu melangkahkan kakinya menuju dapur. "Sori kalo rasanya gak seenak buatan nyokap lo." Kedua kaki Ravano seketika berhenti. Dia rasanya ingin berbalik dan berjalan kembali pada Key namun ditahannya karena tidak ingin membuat gadis itu kembali marah, meskipun kenyataannya sudah. Nyokap lo dan nyokap lo. Salah satu hal yang tidak ingin didengar oleh Ravano dari mulut Key. Sampai saat ini gadis itu tidak pernah menyebut mamanya dengan sebutan mama, layaknya Ravano memanggil Handoko dengan panggilan papa. Padahal dia sudah begitu berharap kalau sikap Key beberapa hari terakhir terutama tadi, akan membuatnya berubah. Namun nyatanya tidak. Sekeras apa pun gadis itu berusaha, dia masih tetap kembali ke pendiriannya yang semula. Sekali membenci, tetap membenci. Key tidak pernah membenci Irina, dan Ravano tahu itu. Sikap Key hanya berbeda pada Irina. Dia bahkan sampai rela phobia-nya kambuh demi menuruti keinginan gadis kecil itu. Ravano memakan makanan yang disiapkan Key dengan pikiran yang kalut. Sejujurnya dia memang merasa lelah. Tapi haruskah dia berontak? Pada mamanya? Ravano tidak akan bisa. Mamanya baru saja mendapat kebahagiaan yang baru, dan Ravano tidak mungkin menghancurkannya. "Habisin aja. Gue udah makan," ucap Key seraya menuangkan air ke dalam dua buah gelas. Kemudian dia meletakkan salah satunya ke depan Ravano, dan satunya lagi dia bawa. Gue harus bersikap gimana sama lo, Key? Gue pengin kita kayak dulu lagi, tapi sekarang lo ngejauh. Apa gue harus jauhin lo juga? Ravano menatap segelas air yang barusan diberikan Key. Gue ... Gak akan pernah bisa. *** Key berkali-kali menjauhkan ponselnya dari telinga begitu lengkingan suara Adel terdengar. Beruntung mereka sekarang tidak sedang video call, jadi Key tidak perlu repot-repot menutup kameranya dengan tangan ketika melihat wajah Adel yang sedang memarahinya. "Lo tahu? Gue kaget pas di grup pada bahas tawuran antara anak-anak Taruna sama Panca. Gue langsung kepikiran sama lo tahu, Key. Apalagi barusan lo bilang kalo lo sendirian tadi. Lo niat bunuh diri apa gimana?!" Lagi, Key menjauhkan ponselnya. "Iya, Adel. Gue gak kenapa-kenapa kok. Tadi ... " Key menggantungkan ucapannya. "Ravano keburu nyusul kok. Gue pikir tadi dia udah pulang duluan jadi gue pulang sendiri." "Ya ampun, Keanna. Lo tuh ceroboh, tahu nggak? Lo bisa mati, Key! Mati lo, mati! Kayak punya stok nyawa banyak aja lo!" "Iya, Adel Sayang." Key tertawa membayangkan reaksi Adel di seberang sana. "Tapi Ravano gak kenapa-kenapa, kan? Kalian berdua selamat, kan?" "Kita gak kenapa-kenapa kok." "Gue lega dengernya. Syukur kalo kalian aman. Ya udah deh. Gue udah mulai ngantuk, mau nonton drama dulu nih. Hehe." "Yeeee ... Ngantuk ya tidur, Del. Jangan nonton drakor terus." "Bentaran kok. Tanggung banget ini, bentar lagi end. Abisnya lo tadi keburu nelepon. Udah, ya? Bye!" Key menatap layar ponselnya yang sudah mati. "Dasar Adel." Dia lalu beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamarnya. Langkahnya sempat berhenti saat mendapati Ravano yang duduk di salah satu anak tangga. "Sejak kapan lo di situ?" tanya Key. "Sejak gue selesai makan." Key terdiam sejenak. Dia pikir tadi Ravano langsung kembali ke kamarnya. Namun ternyata dia malah duduk di tangga. Itu artinya, lelaki itu menyimak obrolannya dengan Adel. Meskipun tidak keras, namun Ravano pasti bisa mendengarnya walau sedikit. "Oh. Kalo gitu, gue ke kamar duluan." "Key," panggil Ravano tepat ketika Key hampir melewatinya. Lelaki itu bahkan menahan tangan Key. "Mau sampai kapan lo kayak gini?" lanjutnya. "Rav, lo tahu kan kalo gue gak suka tiap bahas hal ini?" "Iya, gue tahu. Tapi Key, apa lo bener-bener gak bisa ngubah sikap lo sama nyokap gue? Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue gak masalah lo benci sama gue. Tapi tolong, setidaknya lo bisa belajar nerima nyokap gue, Key." Key menarik tangannya hingga terlepas dari Ravano. "Sori, Rav. Gue ... Belum bisa." Ravano menjatuhkan tangannya dan termenung. Dia tidak mengejar Key ketika gadis itu sudah pergi. — To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD