Key menggumamkan terima kasih saat pesanannya datang. Untung saja dia dan Adel datang ke kantin lebih awal, jadi mereka tidak perlu mengantre lama.
"Sumpah ya, Key, setelah kejadian kemarin lo masih bisa bersikap setenang ini? Gimana kalo lo kemarin beneran mati?"
Bibir Key mengerucut mendengar ucapan Adel. "Tega lo. Masa doain gue mati." Dia menuangkan saus ke dalam mangkuk baksonya.
"Gue tuh khawatir sama lo, Keanna Eirene. Lo tahu gak? Anak-anak SMA Taruna sering banget kena kasus tawuran." Adel memasukkan bakso ke dalam mulutnya.
"Udahlah, Del. Gak usah dipikirin lagi. Gue juga gak apa-apa, kan? Lagian kemarin gue ditolongin kok sama anak-anak Taruna," ucap Key dengan salah satu pipi yang menggembung.
Adel berkedip dua kali. "Ditolong?"
Key mengangguk. "Hm. Ternyata salah satu muridnya itu cowok yang sebelumnya nolongin gue pas di angkot. Dia pernah ngasih jaketnya ke gue pas gue dilihatin sama murid-murid mata keranjang dari SMA lain."
"Serius lo? Ganteng gak dia?" Kedua mata Adel seketika berbinar. "Gila, Key. Udah kayak adegan n****+ aja sih."
Key tertawa pelan. "Ganteng kok. Kan cowok."
Keduanya sempat terdiam saat seseorang bergabung ke meja mereka, tepatnya duduk di sebelah Key. Kedua sudut bibir Key yang semula naik pun perlahan turun.
"Pada ngomongin apa? Seru banget kayaknya," ucap Ravano.
Adel menatap Key sejenak begitu menyadari ekspresi temannya itu langsung berubah. "Ah, kita lagi ngomongin— loh, Key?" Ucapannya terhenti saat Key berdiri secara tiba-tiba.
"Gue pindah meja." Key melirik Ravano selama beberapa saat dan membuang napasnya. Dia lalu pergi ke meja lain.
Ravano menatap punggung Key yang menjauh.
"Ngapain lo ke sini? Bukannya Ravano—"
"Terserah gue mau pindah atau enggak." Key mendudukkan dirinya di depan Kinn dan langsung memakan kembali baksonya. Kinn tidak menjawab, lelaki itu kini menatap Ravano yang juga tengah menatap ke arahnya.
Perang dingin lagi, batin Kinn.
"Rav, gue pikir hubungan kalian mulai membaik," ucap Adel. "Key akhir-akhir ini udah mau berangkat dan pulang sama lo. Kalian juga sekarang mulai ngobrol lagi. Tapi—" Adel melirik Key yang masih berada di meja lain bersama Kinn. "Gue rasa perkiraan gue salah."
Ravano tersenyum getir. "Gue gak tahu harus gimana lagi, Del. Gue juga sempet berpikir gitu tapi ternyata Key sekarang berubah lagi jadi dingin ke gue."
"Tapi Key pernah bilang kalo dia bakalan berusaha buat berubah. Mungkin dia emang masih sulit terbiasa, Rav. Dia masih belum bisa nerima."
"Entahlah, Del. Gue gak masalah kalo dia emang benci sama gue. Tapi gue gak bisa diem aja kalo orang yang sebenernya dia benci itu adalah nyokap gue."
Adel terdiam. Gadis itu semakin membenarkan perkiraannya, kalau masalah sebenarnya bukan terletak pada perasaan Key pada Ravano sekarang. Tapi pada Karin, mamanya Ravano.
"Gue minta tolong sama lo, Del. Tolong bantu dia buat berubah. Gue bener-bener gak masalah kalo pada akhirnya gue harus dibenci sama Key. Asalkan dia nerima nyokap gue, itu udah lebih dari cukup. Gue tahu kalo Key cuma dengerin ucapan lo."
Adel kembali menatap punggung Key. Gadis itu membuang napasnya pelan. "Gue juga gak mungkin diem aja lihat dia kayak gini. Dia bener-bener berubah. Bahkan Kinn aja sadar tentang itu."
"Gue bener-bener butuh bantuan lo, Del. Bahkan papa aja udah mulai nyerah sama Key."
"Gue pasti bakalan bantu lo, Rav. Dan lo gak usah khawatir soal Key. Dia gak sepenuhnya benci sama lo. Perasaannya itu, masih ada buat lo. Tapi dia tahan. Dia gak mau nyakitin dirinya sendiri, juga gak mau nyakitin lo. Dia bener-bener butuh waktu buat menenangkan diri. Dan soal nyokap lo itu, dia ngerasa kalo posisi Tante Diana digeser sama nyokap lo. Dan itu yang paling sulit. Tapi lo jangan ngorbanin diri lo sendiri, Rav. Kebahagiaan itu harus seimbang."
"Gue bener-bener berterima kasih sama lo, Del. Lo emang teman terbaik buat Key."
Adel tersenyum. "Kita semua ini teman, Rav. Teman itu harus saling membantu."
***
Ravano mendudukkan tubuhnya di salah satu bangku yang ada di tepi lapangan basket. Dia menggelengkan kepalanya ketika Kinn memberinya kode agar bergabung. Kinn mencebik dan langsung memasang thumbs down menggunakan jempolnya. Lelaki itu lalu kembali fokus pada permainan basketnya bersama dengan beberapa siswa dari kelas lain.
"Gue boleh duduk di sini?"
Ravano menoleh ketika Silvi duduk di sebelahnya. "Lo udah duduk. Percuma kalo gue bilang gak boleh."
Silvi terkekeh pelan. "Oh, iya. Gue denger kemarin ada tawuran. Lo gak apa-apa kan? Pantesan aja kemarin gue lihat banyak mobil polisi lewat."
Di lapangan, Kinn yang melihat mereka berdua hanya memutar kedua matanya begitu melihat Silvi di sana.
"Gue gak apa-apa kok. Key juga aman. Gue takut banget dia kenapa-kenapa kemarin. Kemarin dia ngira gue pulang ninggalin dia, padahal gue disuruh sama guru buat ke tempat fotokopi. Dan dia justru panik pas tahu soal tawuran itu. Dia takut gue kenapa-kenapa dan malah ke sana sendirian."
Salah satu alis Silvi naik. Jadi kemarin itu cuma salah paham? Mereka gak marahan?
Dia membuang napasnya pelan. "Rav?"
"Hm?"
"Sebenernya perasaan lo ke Key sekarang ini gimana?"
Ravano sontak menoleh dan menatap Silvi dengan kedua alis yang bertaut. "Kenapa lo tiba-tiba nanya itu?"
"Cuma penasaran aja sih. Gue lihat kayaknya Key yang sering ngejauhin lo. Kenapa lo gak jauhin dia juga? Gue yakin lo pasti capek kayak gini terus."
Salah satu sudut bibir Ravano naik. Dia menatap murid-murid yang tengah bermain basket. "Asal lo tahu, sampai kapan pun Keanna bakalan jadi prioritas gue gak peduli gimana status kita sekarang dan gimana perasaan dia ke gue. Apalagi dia sekarang adik gue. Gue semakin ngerasa punya tanggung jawab. Gue semakin pengen lindungin dia. Keanna itu, masih segalanya buat gue. Mama, Irina, sama Keanna. Mereka bertiga itu wanita yang harus gue jaga sampai kapan pun."
"Tapi lo juga harus bisa buka hati buat orang lain, Rav. Jangan terus terpaku sama Key. Lo juga perlu bahagia."
"Maksud lo pelampiasan?" ucap Ravano, membuat Silvi terdiam. "Semuanya perlu waktu. Perasaan gue ke Key mungkin belum bisa berubah untuk saat ini, tapi gue gak butuh pelampiasan untuk itu. Key yang sekarang, dia lebih banyak gak bahagia. Dan itu karena gue."
Silvi membuang pandangannya ke arah lain. Salah satu tangannya mengepal tanpa Ravano ketahui.
Jadi ini alasannya? Semuanya masih tentang Keanna.
Tepat di koridor lantai dua, seseorang memperhatikan mereka berdua. Key membuang napasnya pelan dan segera pergi menuju kelas.
— To be continued