31. Pengecut

1144 Words
Ravano menangkap botol air mineral yang dilemparkan Kinn. Beberapa rekannya yang lain meninggalkan lapangan, dan sisanya ada yang memilih tinggal di sana dan memulai pertandingan kecil dengan kelas sepuluh. Kinn tiba-tiba memanggil Ravano tepat ketika temannya itu hendak membuka tutup botol. Ravano menatap Kinn, "Apa?" Bukannya menjawab, Kinn justru memberi kode dengan dagunya. Ravano kemudian menoleh ke belakang dan mendapati Key. Gadis itu menyodorkan sebuah kotak bekal padanya. "Gue tadi dititipin ini. Katanya lo gak sempet sarapan," ucap Key. Ravano menatap kotak bekal yang diberikan Key sebelum akhirnya menerimanya. "Makasih." "Kenapa tadi pagi lo bohong? Lo bilang kalo lo berangkat duluan karena ada janji sama Kinn." Kinn terbatuk pelan begitu namanya disebut. Dia menatap Key dan Ravano bergantian sebelum akhirnya mendudukkan dirinya di dekat kedua orang itu. "Kenapa nyebut-nyebut nama gue sih?" "Bukannya lo berangkat sama Tristan?" Ravano memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. "Itu karena lo yang nyuruh dia." Kinn mengerjap begitu mendengar ucapan Key. Ravano menyuruh Tristan? Ravano menarik tangan Key hingga gadis itu duduk di sebelahnya. Tanpa persetujuan, dia segera memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut Key begitu gadis itu hendak kembali bersuara. Dia lalu kembali menyendokan bekalnya namun kali ini untuk dirinya. "Rav, gue udah makan." Key berujar di sela kegiatan mengunyahnya. Namun Ravano seakan tidak mendengarnya dan malah kembali menyodorkan sendok makan ke depan mulut gadis itu. Key sempat menjauhkan wajahnya namun Ravano seakan mendesaknya dengan terus mendekatkan sendok itu. Pada akhirnya Key menyerah, dia pun membuka mulutnya dan membiarkan sendok berisi nasi dan sayur itu masuk. Helaan napas keluar dari mulut Kinn begitu melihat pemandangan di sebelahnya. Lelaki itu kembali membuka botol minumnya dan meneguk isinya hingga tak bersisa. "Jadi obat nyamuk itu gak enak, Bos!" Dia lalu berdiri dan melemparkan botol yang sudah kosong itu ke dalam tempat sampah yang terletak tidak jauh darinya. Kinn berjalan ke tengah lapangan dan bergabung bersama yang lain. "Gue ... mau ke kantin. Adel sama Tristan udah nunggu di sana." Key berdiri dari posisinya. Ravano memberikan botol minumnya pada Key. "Minum," titahnya tanpa menatap Key. Kedua matanya tampak menatap lurus ke depan, tepatnya ke lapangan. Key segera menerimanya dan meminumnya sedikit. "Makasih," ucap gadis itu dan segera pergi. Ravano memasukkan kembali sesendok nasi ke dalam mulutnya. Dia menoleh ke arah Key yang berjalan menjauh. Sementara itu Key kini berjalan menuju kantin. Sesampainya di sana, dia segera menghampiri meja Tristan dan Adel. "Lama amat, Key." Adel berujar di sela kegiatan mengunyahnya. Key hanya tersenyum tipis dan mendudukkan dirinya di sebelah Tristan. "Habis makan dulu?" tanya Tristan. "E-Enggak kok. Biasalah, ribut dulu sama Kinn." Key mengambil sebungkus keripik di depannya. Tristan tersenyum tipis, "Oh, ya?" Dia lalu mengusap salah satu sudut bibir Key. Gadis itu mengerjap begitu melihat ada sebutir nasi yang tertinggal di sana tanpa sepengetahuannya. Adel yang melihat adegan di depannya seketika tersedak. Gadis itu terbatuk hingga wajahnya memerah karena menahan perih yang menjalar dari tenggorokan ke telinganya. "Del, lo gak apa-apa?" tanya Key begitu melihat Adel yang langsung berlari menuju kulkas dan mengambil sebotol air dingin. beberapa orang bahkan sampai menatapnya. Tenggorokan gadis itu terasa sedikit lebih baik dari sebelumnya. Adel menghela napasnya lega. Dia lalu kembali ke tempatnya. "Kerja bagus, Tris." Adel mencibir seraya melirik Tristan yang kini sibuk memakan makanannya. Kedua bahu lelaki itu diangkat, tampak tak acuh. "Harusnya lo sekalian ajak Ravano makan di sini. Biar gue puas lihat lo bertiga perang dingin," sarkas Adel. Dia kembali meminum minuman yang dia ambil barusan. "Adel!" tegur Key seraya melirik ke arah Tristan yang tampak masih sibuk dengan makanannya. "Udah cukup sama kasus Andra waktu itu. Gue gak mau lagi." "Kenapa sih? Lo takut gue cemburu, hm?" Key berkedip dua kali begitu Tristan menarik pelan salah satu pipinya. "Ravano itu kakak lo. Kenapa gue harus cemburu?" Tristan merebut bungkusan keripik yang masih berada di tangan Key dan membukanya. "Ajak aja Ravano sama Kinn. Bukannya sebelum gue pindah ke sini juga kalian sering makan bareng?" Tristan berujar dengan santai. "Tris, lo gak homo, 'kan? Lo serius gak cemburu? Key sekarang cewek lo," ucap Adel. "Amit-amit, Del. Kalo gue homo mana mungkin macarin Keanna. Ravano kan kakaknya dia, ya wajar kalo mereka deket. Gue gak peduli sama masa lalu. Yang sekarang ya jalanin aja, gak usah peduliin yang udah lewat." Adel mendadak kehilangan kata-katanya, begitu pula dengan Key. Gadis itu bahkan tidak menyangka kalau Tristan benar-benar serius dengan ucapannya. "Gue gak permasalahin perasaan. Kalau pun Key sama Ravano masih punya rasa yang sama, tugas gue ya ngilangin perasaan itu, tanpa bikin mereka jauhan. Perasaan itu bisa berubah kapan aja." Tristan menambahkan. Kedua gadis yang duduk di dekatnya saling menatap satu sama lain seolah tengah bertelepati. Adel bahkan tidak habis pikir karena Tristan akan mengatakannya dengan begitu blak-blakan, apalagi di hadapan Key langsung. "Kalo gue pengen dapetin hati adeknya, gue harus dapetin hati kakaknya juga. Gue gak mau muka gue babak belur tiap hari karena dihajar sama Ravano. Lagian gue bukan tipe cowok posesif kok. Gue ngikut aja apa yang dilakuin Key selama itu bikin dia seneng." Tristan menoleh ke arah Key yang menatapnya tanpa berkedip seolah tidak percaya dengan semua yang dikatakannya. Tristan tertawa pelan dan mengacak pelan puncak kepala gadisnya. "Bikin orang jatuh cinta itu gampang. Yang gak gampang itu, pertahanin rasa cintanya. Salah dikit, perasaan bisa langsung berubah," lanjut Tristan. Dia kembali memakan makanannya hingga habis. "Tris, gue speechless," ungkap Adel hingga Tristan tergelak mendengarnya. "Pujian atau cibiran lagi nih?" ucap lelaki itu. "Gue pegang kata-kata lo barusan. Kalo sampe gue lihat Key nangis gara-gara lo, jangan harap lo balik lagi ke Pelita." Adel menunjuk wajah Tristan dengan garpu yang dipegangnya. Kini giliran Key yang tertawa, "Udah dong. Lo masih gak cukup aja tiap hari berantem sama Kinn?" "Ya habisnya si Tristan pinter banget ngomong. Gue jadi gemes sendiri." Adel tidak kunjung melepas pandangannya dari Tristan. Lelaki itu mengangkat salah satu sudut bibirnya, "Cuma para pengecut yang gak bisa pegang omongannya." Tristan meminum minumannya dan kembali melanjutkan, "dan gue bukan bagian dari mereka." Di detik itu juga, kedua sudut bibir Key membentuk lengkungan ke atas tanpa dia sadari. *** Suasana kelas begitu hening ketika jam terakhir berlangsung. Semua murid tampak sibuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Tristan mengalihkan pandangannya dari buku. Dia menatap Key yang tampak serius mengerjakan soal. Entah kenapa dia senang sekali memandangi wajah gadis itu ketika sedang serius. Pertemuannya dengan Key di dalam angkot rupanya tidak berakhir begitu saja. Mereka kembali bertemu, namun dengan situasi yang berbeda. Untuk pertama kalinya dia berusaha melindungi seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya hingga kepalanya terluka. Dan untuk pertama kalinya, ada seorang wanita selain ibunya yang rela berdiri di depannya untuk melindunginya. Padahal Key jelas-jelas ketakutan saat memukul siswa Panca dengan balok kayu. Tangan gadis itu bahkan bergetar cukup hebat. Gadis itu malah memilih kembali, di saat Tristan menyuruhnya pergi. Di dunia ini, memang tidak ada yang namanya kebetulan. Haruskah dia berterima kasih kepada Ravano? - To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD