Adel melambaikan tangannya sebelum pergi dari kelas. Gadis itu sedikit terburu-buru karena jemputannya sudah menunggu di depan gerbang. Sepeninggal Adel, Key perlahan berjalan menuju meja Tristan.
"Siram aja pake aer," teman sebangku lelaki itu tergelak sebelum pergi dari sana. Salah satu sudut bibir Key naik. Dia mengguncang bahu Tristan hingga kedua mata lelaki itu terbuka.
"Mimpi indah, hm?"
Tristan nyengir. Dia segera membereskan bukunya dan pergi meninggalkan kelas bersama Key.
"Beuntung lo gak kena semprot, Tris. Habis lo ntar disuruh bersihin WC sebelum pulang." Key tergelak. Tristan ikut tertawa dan segera merangkul bahu Key. Mereka berdua menuruni satu per satu anak tangga.
Key mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan di sana.
To : Ravano
Gue pulang sama Tristan.
Helaan napas terdengar setelahnya. Key kembali memasukkan benda pipih itu ke dalam saku.
"Kayaknya bannya kempes." Tristan memperhatikan ban belakang motornya yang kempes.
"Oh, ya? Ya udah, gue nunggu di warung depan aja. Lo ke bengkel deket sini," ucap Key.
"Lo yakin mau nunggu?" Tristan meyakinkan.
Key mengangguk, "Gak masalah. Gue bisa nunggu. Kalo gitu gue ke depan duluan." Key menepuk bahu Tristan dan keluar dari parkiran. Gadis itu berjalan menuju sebuah warung yang berada tidak jauh dari sekolahnya.
Sambil menunggu, Key memainkan ponselnya dan membeli sebungkus camilan. Namun sudah lebih dari lima belas menit, Tristan belum juga kembali.
"Apa bannya bocor, ya? Lama banget perasaan." Key beranjak dari tempatnya dan berjalan ke tepi jalan, namun Tristan belum kunjung terlihat. Akhirnya Key mencoba menghubungi lelaki itu. Tersambung.
"Halo?"
"Lo di mana? Kok lama?"
"Bannya bocor. Jadi kayaknya agak lama. Bengkel yang deket sekolah juga tutup. Jadi gue terpaksa ke bengkel lain. Lo gak apa-apa? Atau pulang duluan aja sama Ravano, gue gak masalah."
Key mendengkus, "Gue nunggu lo aja."
Tidak lama kemudian panggilan pun ditutup. Key menghela napasnya dan pergi dari sana. Jika bengkel di dekat sekolahnya tutup, maka ada satu bengkel lagi yang letaknya tidak begitu jauh. Key mencoba menghubungi Tristan namun sebuah mobil berhenti di depannya.
Gadis itu mendengkus begitu melihat Silvi keluar dari dalam sana.
"Ngapain lo jalan kaki? Diputusin sama si Tristan?" Silvi tergelak.
"Bukan urusan lo."
"Mau bareng gue? Atau ... nunggu abang lo? Kayaknya gue lihat tadi dia masih di kelasnya." Silvi tersenyum miring melihat reaksi Key. Gadis di depannya itu masih saja tersinggung ketika ada orang yang menyebut Ravano dengan embel-embel kakak atau semacamnya.
"Bisa lo pergi? Gue muak lihat muka lo," sarkas Key dan langsung mendapat tatapan tajam Silvi.
"Jaga mulut lo ya!"
"Kalo lo pengin gue jaga mulut, harusnya lo juga bisa jaga kelakuan lo. Kakak kelas bentukan kayak lo pantesnya balik lagi ke kelas sepuluh. Modal tampang doang tapi otak nol. Ngejar-ngejar cowok doang bisanya." Key menatap Silvi penuh.
Silvi semakin menatapnya nyalang. "Lo—" ucapannya terputus saat melihat beberapa laki-laki yang berada di belakang Key.
Menyadari ada yang tidak beres, Key mengikuti arah pandangan Silvi dan dia berbalik ke belakang. "Kalian ... siapa?" Dia menatap tiga orang laki-laki di depannya bergantian. Ekspresi mereka sedikit tidak bersahabat, membuat Key sedikit memundurkan kakinya.
"Lo ceweknya Tristan?" tanya salah satu dari mereka.
"Kalian siapa?" Key menatap mereka semakin was-was. Perasaannya mendadak tidak enak.
"Lo kenal sama mereka, Key?" tanya Silvi.
Key menggelengkan kepalanya. "Ada perlu apa kalian nyari Tristan?"
Salah satu dari ketiga laki-laki itu tersenyum miring dan melangkah maju, hingga Key semakin mundur.
"Oh, jadi bener lo cewek yang sama Tristan waktu itu."
Kening Key mengernyit, dia mencoba mengingat wajah-wajah asing itu.
"Kalo lo masih pengin selamat, lo tinggal bilang di mana posisi Tristan sekarang. Dia masih punya urusan sama anak-anak Panca."
"Panca?" Kedua mata Key membulat. Gadis itu menelan ludahnya dan meremas pinggiran roknya kuat.
"Key, mereka siapa?" Silvi bingung sekaligus takut.
Ya Tuhan, jangan-jangan mereka yang waktu itu—
"Di mana Tristan?!" Lelaki itu bertanya dengan nada semakin meninggi.
"Non, ada masalah?" Seorang sopir yang berada di dalam mobil berujar begitu merasa ada yang aneh di belakangnya.
"Eh? Enggak, Pak." Silvi dengan cepat berbalik kembali menuju mobilnya. Key sempat menahan tangannya, gadis itu mulai ketakutan. Namun karena Silvi yang tidak mengerti apa-apa juga ikut takut, gadis itu dengan cepat melepas tangan Key dan meninggalkannya. Dia langsung kembali masuk ke dalam mobilnya.
"Pak, jalan!" titahnya.
"Loh, itu temennya Non Silvi gak diajak? Kayaknya ada yang gak beres."
Silvi menoleh ke belakang. Di sana Key sudah ditahan oleh ketiga lelaki itu. Silvi menggigit bibirnya, "Aku gak kenal sama dia. Langsung pulang aja, Pak!"
"Tapi, Non. Kayaknya anak-anak itu—"
"Cepet, Pak!"
"I-iya." Sang sopir segera menginjak gas dan melajukan mobilnya menjauh dari sana. Di belakang sana, Key mulai meronta. Namun tangannya ditahan oleh murid-murid dari Panca itu.
"Silvi!" Key mulai terisak dengan kedua mata yang berembun. Dia menatap mobil Silvi yang kian menjauh.
"Lo tinggal bilang di mana Tristan sekarang dan lo bisa langsung pergi." Cekalan di tangan Key semakin menguat. Gadis itu menggelengkan kepalanya. Ketiga lelaki itu tertawa mencibir.
"Lo ceweknya, pasti lo tahu!"
"Tunggu. Jangan-jangan Tristan pindah ke Pelita," sahut yang lain.
Key semakin menunduk begitu lelaki yang masih mencekalnya itu kian menatapnya. Dia menyeringai dan langsung mendorong tubuh Key hingga tersungkur ke aspal.
"Harusnya lo bilang dari tadi. Oke, kita cek ke sana."
"Tristan gak di sana! Orang-orang lemah kayak kalian gak akan pernah menang!"
Ketika lelaki itu kini kembali berbalik dan menatap Key nyalang. "Lo bilang apa barusan?"
"Kalian. Lemah." Key berkata dengan napas tercekat. Dalam hati dia berharap Tristan tidak segera menemukannya di sana. Apalagi Tristan hanya sendiri.
Jantung Key seakan hendak meloncat begitu kerah bajunya ditarik dengan kasar hingga dia terbatuk.
"Cewek lemah kayak lo gak pantes ngomong kayak gitu!" Bentak lelaki itu penuh amarah. Namun di detik berikutnya tubuhnya langsung terpental begitu seseorang menendangnya kuat.
Ravano menatap tajam orang itu dan membantu Key berdiri. Dia menarik Key agar berdiri di belakangnya.
"Gak usah ikut campur lo!" Salah satu dari lelaki itu berujar.
"Hanya pengecut yang memperlakukan cewek dengan kasar." Ravano berujar dengan nada dingin. Key dengan sigap menahan tangannya begitu Ravano mulai maju. Tangan Key bergetar hebat karena ketakutan.
"Lo tunggu di sini."
"Rav, tapi lo—"
"Kita gak ada urusan sama lo. Gue gak mau buang-buang tenaga. Urusan gue, sama cewek lemah yang ada di belakang lo—"
Bugh!
"Siapa pun yang berani hina Keanna, itu berarti dia hina gue. Siapa pun yang kasar sama Keanna, bakal berurusan sama gue."
Bugh!
Ravano kembali melayangkan pukulan ketika lelaki yang sudah tersungkur itu hendak bangkit. Kedua rekannya tidak tinggal diam.
"Ravano!"
"Keanna, pergi!" Ravano memukul dan menendang tubuh salah satu lelaki itu.
Kedua kaki Key perlahan mundur. Pipinya sudah sangat basah. Akankah dia pergi? Meninggalkan Ravano di sana sendirian?
"Ravano!" Dia semakin ketakutan begitu tubuh Ravano terjatuh ke permukaan aspal dengan kasar. Kedua kakinya hendak maju namun salah satu tangannya ditahan oleh seseorang.
"Harusnya tadi lo ikut gue." Tristan berujar tanpa ekspresi sama sekali. "Lo diem di sini. Jangan pernah berani maju kayak waktu itu."
"Tris, tapi—"
"Udah cukup gue libatin lo, Key!"
Tubuh Key tersentak begitu nada bicara Tristan meninggi. Lelaki itu maju ke arah Ravano dengan langkah lebar.
"b******k! Urusan kalian sama gue!" Tristan berlari dan memukul satu per satu murid-murid Panca itu dengan cepat. Keningnya berkerut begitu beberapa orang asing lainnya tampak berlari padanya. Dia menyeringai, "Pengecut lo semua! Sini maju! Gak usah sembunyi lagi dan gue pastiin kalian ngerayain kekalahan kalian sekarang." Salah satu sudut bibirnya terangkat.
Ravano terkejut begitu menyadari jumlah musuh di depannya bertambah. Dia langsung memukul satu per satu dari mereka, begitu juga dengan Tristan.
"Awas!" Tubuh Ravano terdorong. Tristan mengerang saat punggungnya dihantam oleh balok kayu.
"Tristan!" Kedua kaki Key hampir maju namun suara Tristan kembali menghentikannya.
"Diam di situ, Keanna!" titah lelaki itu. Dia kini terduduk dan mengusap salah satu sudut bibirnya yang berdarah, serta punggungnya terasa berdenyut hebat.
"Rav, lo bawa Key pergi dari sini." Tristan dengan cepat bangkit dan kembali memukuli lawannya.
"Lo gila? Lo bisa mati!" teriak Ravano. Namun Tristan malah tertawa di sela kegiatannya.
"Gue gak lemah. Cepat bawa Key pergi dari sini!"
Ravano berlari ke arah Keanna dengan cepat. Dia langsung menarik tangan Key.
"Sekarang naik," titahnya begitu menaiki motornya.
Kedua mata Key membulat dan dia menatap Tristan yang mulai limbung. "Tapi kita gak bisa tinggalin Tristan sendiri, Rav!"
"Gak ada waktu lagi, Key!" Ravano langsung menahan tangan Key begitu gadis itu hendak pergi. "Naik! Gue janji dia bakalan baik-baik aja!"
Kedua tangan Key mengepal. Dia segera naik ke atas motor Ravano dengan pandangan yang semakin buram karena air matanya.
"Tristan!!!" Kepalanya sempat menoleh ke arah Tristan. Lelaki itu mendengarnya dan tersenyum padanya. Namun tubuhnya langsung terjatuh. Kedua mata Key terpejam dan dia meremas pinggiran seragam Ravano kuat.
— To be continued