"Gue bisa anter kalian."
"Gak usah. Gue kan sama Tristan. Lagian gak bakalan lama kok," ucap Key.
"Oke, asal ntar pulangnya lo gue jemput."
Key berkedip dua kali. Dia langsung melirik Tristan tidak enak. "Nanti pulangnya gue bisa naik ta—"
"Gue bisa nganterin Key pulang," potong Tristan cepat hingga Ravano kembali menatapnya. Lelaki itu membuang napasnya pelan.
"Hm." Ravano sedikit membuang pandangannya. Pada akhirnya dia lebih memilih untuk mengalah, karena dia tidak mau mengambil risiko jika Key kembali kesal padanya. Bagaimana pun, hubungannya dengan Key sedang di fase 'baik-baik saja', meskipun perasaan canggung masih sesekali terasa.
Senyuman Key kian melebar. Dia langsung menatap Tristan senang.
"Tapi kalian harus kembali sebelum malam."
Tristan tersenyum tipis dan mengangguk.
***
"Beneran gak apa-apa?" tanya Tristan ketika motornya melaju menjauhi parkiran. Matanya menangkap pantulan Ravano yang masih berdiri menatap kepergiannya di belakang.
Key yang berada di belakangnya mengangguk. "Gak apa-apa. Lagian ini kan tugas gue."
"Ravano itu ... Kayaknya protektif banget ya?" tanya Tristan tiba-tiba. Pertanyaannya tidak langsung dijawab oleh Key karena gadis itu terdiam selama beberapa saat.
"Cuma akhir-akhir ini doang," jawab Key pada akhirnya dengan diiringi helaan napas.
Tristan diam-diam memperhatikan perubahan ekspresi wajah Key lewat spion. Lelaki itu tersenyum tipis. "Tapi sebagai seorang kakak, sikap Ravano itu terbilang wajar kok. Lo pergi sama murid baru yang belom lama ini terlibat tawuran. Dia pasti khawatir. Dan gue udah tahu semuanya kok. Jadi santai aja."
Kening Key berkerut mendengar ucapan Tristan. "Lo kok— tahu dari mana?"
"Banyak yang kasih tahu gue sih. Dan gue nanya-nanya juga. Soalnya pas pertama kali ketemu sama Ravano di rumah sakit, gue ngerasa kayak ada sesuatu yang beda. Lo bilang kalo kalian itu temen, tapi yang gue lihat, tatapan kalian itu beda." Tristan menjeda ucapannya selama beberapa saat sebelum melanjutkan, "sori karena malah bahas ini. Tapi sekarang gue jadi paham kok. Ravano pasti sayang banget sama lo. Begitu juga lo, iya kan?"
"Bisa lo berhenti bahas itu?" Key berkata dengan suara yang tertahan. Tristan sempat melirik spion dan lelaki itu cukup terkejut saat ekspresi Key berbeda dari yang tadi. Gadis itu terlihat teramat sedih.
"S-sori, gue gak seharusnya bilang gitu." Tristan mendadak merasa tidak enak hati. Seharusnya dia bisa menghindari topik pembicaraan seperti itu saat bersama dengan Key. Obrolan semacam itu pasti sangatlah sensitif untuk gadis itu.
"Iya, gak apa-apa."
Tristan menggigit bibirnya. Lelaki itu sedikit merutuk dalam hati menyadari apa yang dilakukannya barusan.
Selang beberapa menit kemudian, Tristan memberhentikan motornya di depan sebuah toko.
Key turun dari motor dan langsung mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku rok.
Key mengabsen satu per satu bahan yang dibutuhkan. Tristan melepas helm yang dikenakannya dan ikut melihat daftar bahan praktik yang ditulis Key.
"Lah? Ini doang mah di rumah gue juga ada," celetuk Tristan.
Key memutar kedua matanya. "Nih, aquades sama tawas. Emangnya di rumah lo ada?" Ucapannya membuat kening Tristan berkerut, dan lelaki itu tersenyum lebar. "Enggak sih," ucapnya dengan cengiran.
Mereka berdua pun masuk ke dalam toko. Key langsung bertanya pada penjaga toko dan menanyakan bahan praktik yang dia butuhkan. Tidak lama kemudian wanita penjaga toko itu pun pergi untuk mencari benda yang Key sebutkan.
"Pasir nyari di mana, ya?" gumam Key seraya memperhatikan kembali daftar bahan.
"Pasir apaan?" Tristan ikut nimbrung.
"Bebas, yang penting pasir." Mereka berdua tampak berpikir. Lalu tiba-tiba Tristan berkata, "udahlah, pasir biar gue yang urus. Hm ... Lo ini aja nih, garam dapur sama s**u cair. Gampang, gak usah muter-muter nyari."
Salah satu alis Key terangkat. "Lo yakin mau nyari pasir? Gak butuh bantuan gue?"
"Gak usah. Biar gue aja. Lagian praktiknya juga masih dua hari lagi." Tristan lalu menatap penjaga toko yang sudah kembali.
"Jadi berapa, Mbak?" tanya Key.
"Biar gue aja yang bayar."
Key langsung menatap Tristan. "Ini kan kelompok, Tris. Masa lo doang yang bayar. Patungan aja."
"Udah, gapapa. Santai aja kali."
"Tapi—"
"Makasih, Mbak." Tristan mengambil kantung kresek berukuran sedang yang ada di atas etalase. "Nih, lo yang bawa."
Key menerima kresek yang berisi bahan praktikumnya. "Bener nih? Nanti jangan tiba-tiba nagih ya." Kedua mata Key memicing. Dia dan Tristan lalu tergelak. Lelaki itu mencubit pelan salah satu pipi Key.
Tepat ketika mereka keluar, ponsel milik Key berbunyi. Gadis itu merogoh saku roknya dan menatap nama Ravano di layar ponselnya.
"Siapa?" tanya Tristan.
"Ravano." Key membuang napasnya pelan sebelum mengangkat panggilan itu. "Kenapa?"
"Di mana?" Terdengar suara Ravano dari seberang sana.
"Baru beres beli bahan praktik." Key melirik Tristan yang sudah mengenakan helm dan menaiki motornya.
"Irina pengin camilan yang waktu itu lo beliin."
Salah satu alis Key naik. "Yang rasa keju?"
"Iya— belinya yang bungkusnya paling besar ya Kak!"
Kedua mata Key berkedip saat suara Ravano tiba-tiba berubah menjadi suara Irina. Key tersenyum tipis, "Siap, Bos!"
"Irina gak boleh bilang gitu. Nanti Kak Key marah lagi gimana?"
"Gak bakalan!"
Key terkekeh pelan mendengar keributan kecil itu. Dia pun segera memutuskan panggilannya dan memasukkan kembali ponselnya.
"Kenapa?" tanya Tristan.
"Gue kayaknya harus ke minimarket dulu. Irina nitip jajan."
"Irina?"
"Adiknya Rav— maksud gue, adik gue sama Ravano. Lo pulang aja duluan, gue kayaknya bakalan lama."
Tristan tersenyum tipis. "Lo mau lihat gue diamuk sama Ravano? Gue tadi bilang ke dia kalo gue bakalan nganterin lo pulang. Apa jadinya kalo dia lihat lo pulang sendirian? Lagi pula gue juga gak tega kalo lo sampe pulang naik angkot lagi kayak waktu itu." Dia terkekeh pelan. "Udah, naik aja. Gue anter ke mana pun."
Key tergelak dan segera naik ke atas motor milik Tristan. Mereka berdua langsung pergi ke sebuah minimarket terdekat.
Key mengambil beberapa bungkus camilan, termasuk camilan favorit Irina. Saat dia sedang sibuk memilih, tiba-tiba sebuah tangan menyodorkan es krim padanya. Tristan tersenyum tepat ketika Key menatapnya.
"Buat gue?" tanya Key.
"Ya iyalah."
"Uwu~ thanks, ya." Key menerima es krim pemberian Tristan dengan senyum lebar. Mereka berjalan menuju meja kasir begitu selesai. Tristan dengan cepat meraih keranjang di tangan Key dan memberikannya pada kasir.
"Loh kok— eh, gak usah! Ini kan punya gue." Key langsung menahan tangan Tristan saat lelaki itu hendak mengeluarkan dompet.
"Gak apa-apa. Itung-itung jajanin lo," ucap lelaki itu santai. Namun tangannya kembali ditahan oleh Key.
"Gak usah, Tris. Lo kan udah bayarin yang kelompok tadi. Kalo lo mau, bayar es krimnya aja. Sisanya kan punya gue."
"Udah, biar gue yang bayar. Buat adik lo juga, kan?" Tristan langsung memberikan sejumlah uang kepada kasir. Dia memberikan kresek yang berisi beberapa bungkus camilan itu kepada Key.
Key menggigit bibirnya dan menatap Tristan yang sudah berjalan keluar. "Tris, gue jadi ngerasa gak enak sama lo. Lo ikhlas, kan?" ucap Key setibanya di luar.
Tristan kembali tergelak. "Kalo gak ikhlas, sejak awal mungkin gue gak mau ikut lo nyari bahan praktik. Santai aja kali. Gue juga sering gini ke temen-temen gue."
Tidak mau memulai perdebatan, akhirnya Key memilih menyerah dan memasukkan kantong keresek tadi ke dalam tasnya hingga terlihat sedikit menggembung. Gadis itu lalu naik ke atas motor Tristan setelah mengucapkan terima kasih. Mereka berdua pun segera pulang. Sesekali mereka berdua mengobrol dan bercanda. Di belakang Tristan, Key tengah sibuk memakan es krim cokelat pemberian lelaki itu.
Motor Tristan tiba-tiba berhenti saat sebuah motor tiba-tiba menyeberang tepat di depannya. Dia langsung melirik spion. "Lo gak apa-apa?"
"I-iya, tapi Tris—" Key mengelap bibirnya yang sedikit belepotan karena cokelat. Kedua matanya tampak membulat.
"Kenapa?" Tristan sedikit menoleh ke belakang.
Key menggigit bibir bawahnya. "B-baju lo jadi kotor. Sori, gue bener-bener gak sengaja." Wajahnya mendadak berubah jadi panik.
"Oh, ya? Ya udahlah, cuma cokelat, kan?" Tristan kembali melajukan motornya.
"Tapi—"
"Udahlah, Key. Ntar juga hilang pas dicuci. Lo gak usah sepanik itu." Tristan tertawa pelan saat melihat ekspresi Key. Gadis itu masih berusaha menghapus noda di bajunya.
— To be continued