Motor milik Tristan perlahan memasuki halaman sebuah rumah. Lelaki itu langsung bisa melihat Ravano yang tengah bermain dengan seorang anak kecil. Begitu melihat motornya berhenti, anak itu langsung berlari menghampiri Key dengan senyuman lebar. Namun langkah kakinya mendadak berhenti saat menyadari kalau Key tidak pulang sendiri, melainkan bersama seseorang. Irina menatap Tristan dari atas hingga bawah.
"Kakak ini siapa, Kak?" tanya gadis itu. Key mengikuti arah pandang Irina dan dia tersenyum.
"Namanya Kak Tristan. Ayo, salam dulu." Key menuntun Irina agar menyalami Tristan.
Tristan tersenyum dan mengusap kepala Irina. "Nama kamu Irina, ya?" tanyanya, membuat Irina mengangguk.
"Kok aku gak pernah lihat Kakak? Biasanya Kak Key kalo pergi ke mana-mana sama Kak Ravano terus."
Key dan Tristan sama-sama terdiam dan sempat menatap ke arah Ravano yang berdiri tidak jauh dari Irina. Tristan pada akhirnya tertawa pelan, "Kakak temen barunya Kak Key."
"Oh, pantesan. Eh, iya! Mana pesenan aku, Kak?" Kedua mata Irina langsung berbinar saat Key mengeluarkan sebuah kantung kresek dari dalam tasnya. Gadis itu berseru saat Key memberikan itu padanya.
"Makasih, Kak Key." Irina tersenyum lebar.
"Mau mampir dulu, Tris?" tanya Key.
Tristan sempat terdiam dan melirik Ravano sekilas. "Nggak usah. Lain kali aja deh, udah sore."
"Oke deh. Makasih, ya." Key menepuk pelan bahu tinggi Tristan. Lelaki itu kembali menaiki motornya.
"Dadah, Kak Tristan~" Irina melambaikan tangannya. Tristan tersenyum dan balas melambai padanya sebelum benar-benar pergi dari sana. Key menggandeng tangan Irina dan mengajaknya masuk ke rumah. Pandangannya sempat bertumbuk dengan pandangan Ravano namun dia langsung memutus kontak mata mereka.
Irina duduk di sofa dan mengeluarkan camilan favoritnya. Pandangannya lalu terfokus pada TV yang menayangkan film kartun.
Dengan langkah lebar, Ravano langsung mengejar Key yang sudah menaiki tangga menuju kamar.
"Keanna," panggilnya pelan hingga langkah Key berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya. "Kenapa?"
"Ada sesuatu yang pengin gue omongin sama lo."
Helaan napas terdengar, Key lalu mengangguk.
"Gue gak bermaksud ngelarang lo, tapi sebaiknya lo jangan terlalu deket sama Tristan." Ucapan Ravano membuat kedua alis Key bertaut. "Kenapa?"
"Key, lo tahu sendiri kan? Tristan itu baru-baru ini terlibat di tawuran minggu lalu. Dia pasti di-DO dari Panca dan pindah ke sekolah kita. Musuh-musuhnya pasti masih pada nyariin dia. Gue gak mau lo terlibat lagi."
"Rav, Tristan mungkin di-DO dari sekolahnya. Musuh-musuhnya mungkin masih punya dendam sama dia. Tapi apa dia bakalan ngelakuin hal yang sama lagi? Dia gak seburuk yang lo pikir, Rav," ucap Key.
"Gue gak berprasangka buruk sama dia. Gue cuma takut lo kenapa-kenapa, Key. Cukup minggu lalu dan jangan lagi. Jadi gue minta lo jangan terlalu deket sama dia."
"Lo takut sama hal yang gak seharusnya lo takutkan, Ravano. Ini urusan gue dan Tristan sekarang temen gue." Key berbalik dan hendak membuka pintu namun Ravano dengan cepat menahannya.
"Key! Ini semua demi kebaikan lo!"
"Cukup, Rav. Lo gak perlu ikut campur, ini urusan gue." Key berusaha melepaskan cekalan tangan Ravano namun tidak berhasil.
"Urusan lo berarti urusan gue, Key!"
"Oh, ya?" Key lantas menatap Ravano. "Gue gak pernah ngelarang lo deket sama siapa pun dan lihat? Lo justru ngelarang gue deket sama Tristan. Bisa kan kita jalanin hidup masing-masing tanpa ada yang ikut campur?"
"Gue kakak lo dan gue berhak atas lo!" Nada bicara Ravano kian meninggi.
"Kakak, kakak, kakak! Apa lo tahu seberapa kecewanya gue pas tahu semuanya?! Pas tahu kalo ternyata Papa jatuh cinta sama nyokap lo dan mereka memutuskan buat nikah!"
Ravano terdiam. Kedua mata Key mulai berembun dan gadis itu membuang pandangannya ke arah lain. Ravano masih ingat, saat Key memintanya bertemu di suatu tempat dan gadis itu memberitahu tentang rencana pernikahan kedua orang tuanya. Key semula terlihat biasa saja, bahkan gadis itu masih mampu tersenyum meskipun Ravano tahu kalau itu pura-pura. Dunia Ravano seakan rubuh saat itu juga. Dia berusaha menguatkan dirinya, bahkan menguatkan Key. Namun Key seakan sudah terlanjur kecewa dan tidak mau sejalan lagi dengannya. Mereka berdua bertemu di pernikahan dengan keadaan yang memilukan, dengan senyum yang dipaksakan. Sangat disayangkan karena kisah mereka harus berakhir dengan begitu tragis.
"Gue selalu berusaha buat nerima semuanya, Rav. Gue udah berusaha semampu gue. Tolong, biarin gue lupa sama lo. Dan semuanya bakalan seperti semula lagi."
Perlahan Ravano melepaskan cekalan tangannya dan membiarkan Key masuk. Gadis itu menutup pintu lalu menangis di baliknya.
***
Tristan berjalan memasuki rumahnya setelah dia memasukkan motornya ke dalam garasi. Mamanya terlihat sedang mengobrol dengan asisten rumah tangganya yang tengah mengelap beberapa frame foto.
"Baru pulang, Tris?" tanya mamanya saat menyadari kedatangan Tristan. "Kok telat?"
"Habis nyari bahan-bahan buat praktik, Ma."
"Oh, ya udah. Sana ganti baju, Mama udah siapin makan." Mamanya menatap Tristan yang berjalan menaiki tangga. Keningnya mendadak berkerut.
"Tris?" panggilnya hingga langkah Tristan terhenti dan lelaki itu menoleh.
"Kenapa, Ma?"
"Bisa ke sini sebentar?"
Tristan perlahan kembali turun dan menghampiri mamanya. "Kenapa?"
"Loh, Mas? Kok bajunya kotor?" Sang asisten rumah tangga menatap sebuah noda di seragam majikannya itu.
Tristan menyentuh bagian bajunya yang sedikit basah, tepat di bawah kerah seragamnya . "Ah, ini? Iya, tadi temen aku makan es krim. Aku sempet berhenti mendadak tadi jadi es krimnya kena ke baju." Tristan tertawa pelan begitu teringat wajah panik Key. "Emang banyak banget, ya?"
Sang asisten rumah tangga berkedip dua kali dan menatap ibu dari anak itu. Tubuh Tristan secara perlahan diputar hingga memunggungi mamanya.
"Beneran temen kamu?" tanya wanita itu. Kedua alis Tristan bertaut. "Iyalah, Ma. Kenapa sih?"
"Kok ada noda lip tint di sini?" Mamanya menunjuk ke bagian yang dimaksud. Sebuah noda pink menempel di dekat noda es krim.
"L-lip tint?" Kedua mata Tristan membulat dan dia berusaha melihatnya langsung, namun tidak bisa karena itu tepat di belakang.
"Kamu tadi sama perempuan, ya?"
"Eh? Itu temenku kok. Kita kebetulan sekelompok. Kayaknya tadi dia gak sengaja deh." Tristan meletakkan tasnya di meja dan membuka seragamnya. Benar saja, noda lip tint samar-samar terlihat di sana. Tristan kembali tertawa pelan.
Pantesan tadi dia panik banget. Ternyata gara-gara ini.
"Bi, tolong cuciin ya." Tristan meletakkan bajunya dengan sembarangan di sofa dan mengambil tasnya. Dia lalu berjalan menuju kamar.
"Loh? Enak aja disimpen di sini. Taruh di mesin cuci. Tristan!"
Tristan sama sekali tidak mengindahkan teriakan mamanya dan terus melangkah. Di bawah sana, mamanya hanya bisa menarik napas panjang dan kembali melihat noda di baju putranya itu.
— To be continued