Nael malam ini terlihat bahagia sekali karena bisa makan malam di rumah bersama Ibunya. Waktu seperti ini tidak setiap hari mereka dapatkan. Apalagi karena sejak dulu Yura selalu sibuk dengan kegiatannya menyelesaikan pendidikan dan terlalu fokus bekerja untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua sehingga jadi sedikit mengabaikan kebutuhan Nael.
“Maa goreng nugget kesukaan Nael. Maa juga potong Mangga buat Nael. Dimakan dulu, Sayang, sayurnya bentar lagi mateng, terus kita bisa makan malem.”
Perkataannya disambut dengan anggukan bersemangat dari Nael. Segera pria kecil itu meraih garpu buah, menusukkannya pada potongan mangga dan mengangsurkannya pada Yura.
“Maa aaa.”
“Buat Maa? Kenapa nggak buat Nael aja?”
“Maa masak. Nggak sempet makan buah. Maa aaa.”
Yura menurut. Membuka mulutnya dan Nael berseru senang karenanya. Hal kecil seperti ini sudah membuatnya bahagia. Tapi mengingat bagaimana mereka bisa sampai ke titik ini, kesedihan perlahan menyusupi dadanya. Perjalanan mereka amat terjal dan tidak mudah.
Sendirian datang ke kota ini hanya berbekal ijazah SMA, beberapa potong baju dan uang tabungan seadanya, tanpa keluarga dan tanpa seorang pun. Sejak orang tuanya mengetahui tentang kehamilannya, mereka marah besar dan menyuruhnya pergi dari rumah.
Flashback
“Bukannya kuliah di tempat ini itu impian kamu dari dulu?” Papanya bertanya. Papa kandungnya.
Mamanya meninggal saat dia berusia sepuluh tahun. Tidak terlalu jelas, cerita orang - orang. Mereka bilang Mamanya sakit, tapi seingatnya dia tidak pernah melihat Mamanya tergeletak kesakitan sebelumnya. Dan satu tahun setelah kematian Mamanya, Papanya menikah lagi dengan perempuan yang sekarang dia panggil Mama. Hatinya ingin menolak, tapi mereka berdua memaksa.
“Yura daftar ke kampus lain aja, deh, Pa.” Katanya pelan.
Di persyaratan beasiswa, disana tertulis bukan untuk mahasiswa yang sudah menikah dan tidak sedang hamil. Dia memang belum menikah, tapi dia sekarang sedang berbadan dua. Dia tidak ingin ada masalah ke depannya, jadi lebih baik mundur saja. Dia kebetulan dianuggrahi dengan otak yang encer. Jadi, dia memilih untuk mencoba peruntungannya di kampus lain saja.
“Yura coba kampus lain aja, Pa.” Katanya pelan sambil menunduk. Dia tidak berencana untuk memberi tahu Papa dan Mama tentang kehamilannya. Belum. Dia belum siap. Dia baru mengetahuinya seminggu yang lalu dan masih membiasakan diri dengan perubahan tubuhnya.
“Tapi kenapa?” Tuntut Papanya.
Yura kebingungan. Dia nggak memersiapkan alasan apapun untuk ini. Biasanya Papanya amat tak acuh padanya. Mamanya apa lagi. Amanda adalah anak kesayangan mereka. Segala keingannya seperti titah bagi orang tuanya. Ya biarkan saja, mereka berdua punya cara asuh yang berbeda sejak kecil.
Tapi saat Papanya bertanya begini, dia jadi tergagap - gagap.
“Ada yang nggak memenuhi syarat.”
“Maksudnya?” Mama yang bertanya kali ini.
“Bukannya kamu sudah lolos beasiswanya? Tinggal datang untuk registrasi saja?” Sejak kapan Papanya jadi kritis begini? Biasanya mereka amat tak acuh padanya, nyaris seperti anggota keluarga yang nggak terlihat malah. Tapi kenapa malam ini berbeda?
Dia bergerak gelisah di kursinya. Menelan ludah pahit. Di rumah hanya ada mereka bertiga. Kakaknya tadi dijemput pacarnya, yang ironisnya adalah orang yang bertanggung jawab atas janinnya juga.
“Syarat apa yang nggak terpenuhi?”
“Eh…”
“Yura, kalau ditanya sama Mama kamu, jawab!”
Mama Yura udah mati! Ingin rasanya dia berteriak seperti itu pada papanya. Tapi nyalinya tidak sebesar itu. Jadi dia hanya menunduk saja. Dia bertekad untuk diam saja sampai mereka bosan sendiri.
Tapi ternyata mereka kali ini tidak berencana untuk menyerah apalagi merasa bosan.
“Syarat apa Yura?”
“Kamu sembunyiin sesuatu dari kami?”
Deg!
Dia mulai berkeringat dingin. Jantungnya berdentam amat kencang dan tangan yang ada di pangkuannya mulai bergetar tak karuan.
“Yura…”
Akhirnya dia menyerah.
“Maaf, Pa, Yura hamil.” Lirihnya.
“Kamu bilang apa?!”
Yura bungkam lagi. Sengaja tidak ingin mengulang kalimatnya. Dia tau mereka berdua mendengan dengan jelas apa yang baru saja dikatakannya.
“Siapa?” Tanya Papanya. Kan, mereka mendengae dengan jelas apa yang tadi dia bilang. “Siapa Yura?!”
Dia berjengit saat Papanya menggebrak meja dengan keras di depannya. Dia nggak boleh bilang. Nggak boleh. Dia nggak bisa membayangkan reaksi Papanya yang lebih marah dari ini kalau tau siapa Ayah dari calon bayinya.
“Kamu tau kamu sudah mencoreng nama baik Papa?! Nama baik keluarga?!” Suara Papanya yang berteriak menggelegar terasa seperti remasan tangan tak kasat mata di hatinya. Dia juga sakit. Dia takut. Tapi sepertinya tidak ada yang peduli pada keadaannya.
“Maaf, Pa.”
“Kalau tau itu salah kenapa masih kamu lakukan?! Sampai jadi seperti ini pula!Kalau sudah begini kamu mau jadi apa?!”
“Siapa, Yura?!” Mamanya yang sudah pulih dari keterkejutannya kini ikut bertanya. “Bilang sama kami sehingga kami bisa menuntut pertanggung jawabannya!”
Apa?! Nggak! Nggak boleh!! Dia menggeleng kuat tak ingin menuruti Mamanya. Air mata mulai membasahi kedua pipinya. Dia takut sekali. Dia nggak ingin merusak hubungan kakanya dengan Bang Rama. Dia hanya ingin dilindungi.
“Bilang sama Papa, atau kamu keluar dari rumah ini. Tapi ingat. Sekali kamu keluar dari rumah ini, kamu keluar juga sebagai anggota keluarga Papa!”
“Papa….”
Falshback end
Dan begitulah, akhirnya dia memilih pergi. Karena menurutnya itu hal yang paling benar untuk dilakukan pada saat itu untuk melindungi lebih banyak hati. Walaupun hatinya sendiri saat itu remuk luar biasa.
***
“Nael ada PR?” Tanyanya saat mencuci bekas makan malam mereka baru saja.
“Ada.”
“Nael kerjain sendiri dulu, ya. Maa selesein ini terus nyusul Nael.”
Tapi bukannya menuruti perkataannya seperti biasanya, bocah lima tahun itu malah menyangga dagunya di atas meja, masih dengan posisi yang sama seperti dia meninggalkannya di sana untuk mencuci piring tadi.
“Nael?”
“PR Nael itu nemenin Maa, Jagain Maa. Ini Nael lagi ngerjain PR Maa.”
Anaknya ternyata pintar menggombal. Siapa yang ngajarin?