"Aku… suka sama kamu sejak dulu. Mau nggak jadi… pacarku?"
Mulutnya ternganga lebar mendengar pengakuan dari pria di depannya.
"S-serius?!" Bisiknya tidak mempercayai mata dan telinganya.
"Ya serius, lah! Gimana? Udah bagus belum? Udah meyakinkan? Kira - kira bakalan diterima nggak?"
Eh?!
"Gimana, Bang?"
"Itu tadi, Ra, kalo gue nembak Manda kaya gitu kira - kira bakal diterima nggak?" Wajah pria di depannya terlihat amat antusias. Berbeda dengab wajahnya yang kini berangsur mulai pucat.
"Manda? Kak Amanda?"
"Iya, Kakak lo, Si Manda."
"Tapi kok Abang… barusan…"
"Latihan, Ra. Biar nggak kagok pas realnya. Lo dukung gue jadian sama Manda, kan?!"
"Hah? Eh… iya…"
"Ini baru adek gue dan calon adek ipar gue! The best emang, lo!"
Yura tersentak bangun. Sejenak dia bingung berada di mana, sebelum akhirnya menyadari dia sedang berada di kamar kontrakannya dengan Nael yang bergelung rapat padanya di sisi kanan tubuhnya.
Dia menoleh pada jam dinding yang terkena pencahayaan remang - remang dari lampu jalan di luar lewat sela - sela lubang ventilasi rumahnya.
"Jam dua." Gumamnya pelan.
Dia mengucek matanya pelan. Masih terbayang mimpi barusan. Mimpi yang terus berulang nyaris setiap hari selama enam tahun ini. Otaknya seperti sedang memutar potongan film yang sama, dan akan memutar lanjutannya besok. Terus seperti itu.
Dia beranjak dari ranjangnya. Sudah jam segini, sekalian saja dia sholat malam. Hal itu meskipun sedikit, bisa membuat hatinya lebih tenang, merasa bahwa meskipun sedikit, dosa besarnya di masa lalu bisa terampuni.
Nael bergerak gelisah saat tidak menemukannya di sebelahnya. Dia buru - buru mendekat, menepuk punggungnya pelan sambil menggumam menenangkan.
"Maa di sini, Nak. Bobo lagi, ya , anak ganteng."
***
Pagi di rumah kontrakan kecilnya dimulai pukul setengah enam. Dia akan membangunkan Nael, menyiapkan sarapan sederhana untuknya yang sudah dia siapkan malam sebelumnya dan mengepack makan siang mereka. Dia akan membawa juga kalau ada sisa dari bekal Nael, kalau tidak, dia akan mengalah dan membeli entah apa di luar sebagai makan siangnya.
Setelahnya, mereka akan bersiap, bergantian mandi dan berangkat tepat jam tujuh pagi. Destinasi pertama adalah tempat penitipan anak sekaligus PG Nael. Hal ini sudah berlangsung selama empat tahun ini. Sebelumnya, dia menyewa jasa baby sitter untuk menemani Nael di rumah saat bekerja, tapi sepertinya Nael kurang suka sendirian hanya dengan pengasuhnya, jadi hanya berlangsung setahun saja.
"Maa nanti rembur?" Tanyanya polos.
"Lembur, Syang, pake L, lembur. Bukan rembur." Dia membenarkan pengucapan Nael yang masih berantakan. Bocah laki - lakinya itu memang baru bisa melafalkan R setelah lewat umur 4 tahun. "Maa usahain pulang on time, ya."
"Yeay, Maa pulang onteng! Jadi Nael nggak sendirian lagi di sini."
Dia menggeleng sambil tersenyum. Menimbang - nimbang untuk membenarkan pelafalannya lagi atau tidak. Salahnya juga yang mrnggunakan serapan kata dari bahasa asing, padahal anaknya tidak mengerti artinya.
"On time, Sayang. Artinya tepat waktu. Bukan onteng. Sini, cium Mama dulu, terus buruan masuk. Mbak Arum udah nunggu, tuh."
Nael segera memghambur memeluknya dan memberikan kecupan basah di masing - masing pipinya sebelum berjalan menjauh masuk ke dalam gedung sambil melambai.
***
Hari ini ada meeting triwulan. Meeting ini akan dihadiri oleh semua perwakilan devisi. Dan dia mendapat jadwal menggantikan Stevi yang ternyata resign akhir bulan kemarin.
Jefri melihat mejanya yang masih menyisakan beberapa tumpukan pekerjaan yang seharusnya dia selesaikan sebelum rapat. Tapi entah… entah cukup waktunya atau nggak. Ini sudah jam setengah dua. Rapat akan dimulai jam dua.
Memang nanggung. Sepertinya yang buat jadwal rapat tau betul kalau jam segitu adalah jam - jam ngantuk.
"Belum selesai?" Pria tinggi kurus dengan kulit cerah dan hidung mancung itu bertanya.
"Belum… masih sisa beberapa lagi."
"Tapi bentar lagi rapat dimulai."
Yura meringis. "Iya. Tapi mau gimana lagi."
"Kamu siap - siap deh. Aku kerjain yang ini." Katanya menumpuk kembali file yang digelar Yura di mejanya.
Front liner sedang agak sepi. Hanya beberapa yang mengantri di counter teller. Jadi ini saatnya bagi para CS untuk menyelesaikan laporan dan beberapa pekerjaan yang tertunda.
"Eh, Jef, jangan gitu. Kerjaan kamu sendiri kan juga nggak sedikit." Tolaknya panik.
Jefri adalah teman kantor yang sebaya dengannya. Mereka nggak terlalu dekat tapi lumayan akrab juga. Pria itu juga tau keberadaan Nael di hidup Yura. Bahkan, Jeffri kadang juga bermain bersama Nael saat dia terpaksa harus membawa anaknya itu ke kantor.
Yura bukannya nggak ngeh kalau Jeffri sepertinya ada perasaan khusus padanya. Tapi maaf sekali, dia sedang nggak tertarik untuk ke arah sana. Fokus dunianya masih Nael dan Nael seorang. Menjadi Ibu di usia 18 tahun membuatnya tidak sempay memikirkan keinginan remaja yang lazim untuknya seperti berpacaran, liburan ke tempat yang hits, menonton konser bias, atau sekedar nongki cantik sambil selfi - selfi untuk memenuhi feed social medianya.
“Nggak papa. Aku nggak banyak kok kerjaannya.” Pria itu membawa pergi tumpukan map - map tersebut tanpa menunggu jawabannya.
Dia melayangkan pandangannya ke sekeliling, beberapa teman sejawatnya memandangnya dengan pandangan menilai. Bukan hal yang baru baginya, tapi masih terasa menyakitkan.
Dia mengemasi barang - barang yang akan dibawanya untuk rapat nanti dan segera beranjak dari mejanya menuju ruang rapat. Well, toh di sini dia hanya untuk bekerja, bukan untuk mencari teman apalagi yang lainnya. Disini adalah tempatnya mencari sesuap nasi untuknya dan Nael.
“Permisi, Maaf, saya terlambat.” Katanya saat masuk ke dalam ruang rapat setelah mengetuk pintu kaca.
“Eh Yura, sini masuk dulu. Belum mulai, Kok. Pak GM juga belum dateng.” Salah seorang dr teman sekantornya, entah dari divisi mana, dan kebetulan Yura juga nggak ingat namanya, menegur, mempersilakannnya duduk. Lagi - lagi pria, dan lagi - lagi itu membuatnya jadi pusat perhatian yang kurang disukainya.
“Makasih Mas.” Balasnya agak kurang enak karena dia lupa nama orang tersebut.
Dia hanya diam saja di sana sementara teman - teman lainnya bercengkerama sebelum meeting dimulai. Suasana langsung hening saat pintu terbuka dan beberapa jajaran managerial hingga GM memasuki ruangan untuk rapat.
Meskipun sudah lumayan lama bergabung, tapi dia memang jarang ditunjuk untuk mengikuti rapat ini. Seingatnya ini adalah kali ketiganya, dan ketiganya sama - sama menggantikan seseorang.
“... Jadi karena sudah deal dengan Stevi tapi orangnya sudah resign, saya mau ada yang menggantikannya untuk follow up project ini. Hayura? Kamu take over, ya?”
Eh? Mendadak?
“S-saya usahakan sebaik mungkin, Pak.”
“Besok kamu bisa berangkat langsung ke sana, laporan saja sama manager kamu.”
“Baik, Pak.”
“Itu saja, untuk hari ini, Yura, saya tunggu updatenya paling lambat minggu depan. Rapat kali ini saya akhiri sampai di sini, selamat sore.”