EMPAT

1231 Words
Dia sudah siap untuk menjalani harinya hari ini. Nael sudah diantar ke play group, menejernya juga sudah memberi ijin untuk langsung menuju tempat nasabah tersebut tanpa harus mampir ke kantor dulu. Tinggal berangkat saja. Tapi entahlah. Perasaannya berkata ada yang tidak beres. Dia tau, dia tidak seharusnya mempercayai kata hati yang tidak berdasar seperti ini. Dan lagi, ini merupakan tugas penting dari kantor untuknya. Tapi entahlah, ada yang terasa berat dan mengganggu meski dia tak tahu apa itu. Dia berhenti di pinggir jalan. Duduk di atas motor maticnya memandangi hamparan sawah hijau yang membentang di jalur hijau kota ini. Daerah yang tidak boleh di bangun dengan bangunan permanen untuk menjaga ekosistem dan kelestarian lingkungan menjadi tetap seimbang. Sudah hampir sepuluh menit dia begitu. Jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan. Dia harus berangkat. Manajer di pabrik tersebut menunggunya jam delapan lewat lima belas menit.  Dia  menarik nafas panjang dan dalam beberapa kali sebelum akhirnya memakai kembali helmnya, men starter motornya dan melajukannya ke tempat tujuannya hari ini. Dia sampai di salah satu gudang mebel terbesar yang pernah dia lihat. Megah dan menawan. Showroom nya dipenuhi dengan berbagai mebel bergaya Victoria, tradisional maupun minimalis modern. "Selamat pagi, permisi. Saya ada janji dengan Bu Retno? Boleh saya tolong dibantu?" Tanyanya ramah dan sopan. Salah satu pekerja yang sedang mengampelas kaki kursi itu berdiri, mengibas debu kayu dari celananya dan menurunkan sedikit maskernya. "Bu Retno?" Dia mengangguk cepat. "Dengan Mbak siapa?" "Yura. Dari Bank daerah." "Ooo orang Bank! Bentar ya Mbak, ditunggu dulu." Dia mengangguk masih sambil tersenyum. Lalu duduk menunggu di bangku kayu yang tersedia di sana, sedikit lebih jauh dari para pekerja. Bukan apa - apa, debu kayunya bikin batuk. Mereka pakai masker, dia kan nggak pakai. Di kota tempatnya mengadu nasib dan menggantungkan hidup ini memang terkenal dengan kerajinan mebelnya. Hampir di sepanjang jalan utama kota, dan di setiap sududtnya, showroom, studio, gudang, bahkan workshop pengrajin mebel mudah sekali ditemukan. Dilihatnya pekerja yang tadi kembali bersama seorang wanita yang tampilannya lebih necis dan rapi. Mungkin dia bekerja di bagian back officenya. Bukan bagian produksinya. “Mbak Yura dari Bank daerah?” Mendengar namanya dipanggil, dia segera berdiri, memakai senyum profesionalnya dan menyambut uluran tangan yang diarahkan padanya. “Betul, Saya Yura dari Bank daerah.” “Selamat datang di showroom sekaligus gudang kami. Saya Retno. Mari silakan masuk ikut saya ke dalam. Di sini banyak debu, nanti Mbak Yura batuk - batuk. Kebetulan berkas yang diminta Mbak Stevi siapkan dulu sudah saya siapkan juga di dalam.” Yura mengangguk, lalu berjalan mengikuti perempuan yang mengaku bernama Retno tadi setelah menggumamkan terimakasih pada pekerja yang membantunya memanggilkan.  Mereka berjalan melewati berbagai post pengrajin. Di depan tadi pengampelasan, lalu ada pengejog an, lalu ada finishing, baik semprot maupun oles, lalu perakitan dan tang terakhir adalah dapur dan musholla yang bersebelahan dengan ruangan yang lebih besar dan tertutup. Yang ternyata adalah kantor back office dimana marketing, admin, PIC dan finance berkantor. “Silakan masuk, Mbak Yura.” Dia melepas sepatunya, karena melihat retno juga melakukan hal yang sama. Menaruh sepatunya di rak yang telah di sediakan dan berjalan masuk lebih jauh ke dalam mengikuti Retno. “Permisi,” Bisiknya saat melewati beberapa pekerja yang sedang serius menatap layar komputernya. Ruangan Retno ada di lantai dua. Dia masuk ke ruangan kecil yang lebih private daripada di bawah tadi. “Duduk dulu Mbak Yura. Mau minum apa?” “Wah ngerepotin jadinya. Apa aja boleh, Mbak Retno.” “Oke, sebentar ya,” dia mengutak utik ponselnya sebentar sebelum duduk tegak menghadap Yura kembali. “Jadi gini Mbak Yura. Seperti yang sudah saya dan Mbak Stevi dulu obrolkan, jadi yang mau dibukakan rekening itu nggak semua pekerja. Tapi hanya back office, mandor dan supplier saja. Ini untuk memudahkan kami dalam bertransaksi dan mendistribusikan gaji saja.” Yura mengangguk paham. Memang biasanya di sini begitu, sih. Pekerja harian lepas jarang mau dibayar non cash. Mereka mintanya selalu dibayar cash mingguan. Itu kebiasaan di sini. Jadi semua investor yang dari luar kota maupun luar negeri pun harus menyesuaikan dengan ini. Maklum saja, itu peninggalan turun temurun sejak dulu.  Dan biasanya juga gaji mereka tidak dibayarkan di akhir minggu melainkan di hari kamis. Makanya, di sini lazim menyebut hari gajian dengan kemisan. Banyak hal - hal yang menarik yang dia temui di sini. Tentang kehidupan dan kearifan lokal. Ittu yang membuatnya betah di sini. Betah dalam artian, serindu apapun dia pada kampung halamannya, dia masih selalu pulang ke sini lagi dan lagi, tidak mencari tempat lain untuk pulang. “Iya, saya juga dapat infonya seperti itu, Mbak. Tapi ini nanti setelah saya isikan formulirnya, dan sebelum saya input datanya, saya perlu tanda tangan pemilik rekening nantu untuk aktivasi. Kira - kira bisa tidak, ya?” “Oh, bisa mbak bisa. Tapi mungkin nanti setelah jam dua belas. Apakah tidak apa - apa?” “Boleh. Ini saya kerjakan dulu saja. Takutnya nanti sudah pada datang saya nya yang belum selesai kan, nggak enak.” “Oh silakan, silakan. Perlu saya ambilkan meja lagi?” Tanyanya karena melihat bawaan Yura yang luat biasa banyak. Di bawa ke lantai dua sini? “Nggak usah Mbak. Kalau ada sih, saya pakai saja ruang meetingnya?” “Ada kok, di bawah tapi.” “Permisi.” “Ah, kebetulan, Jo. Kamu bantuin Mbak Yura pindahin barang - barangnya ini ke ruang meeting di bawah ya. Biar dikerjain di sana.” “Baik, Bu.” *** Setelah beberapa kali mendapat gangguan kecil seperti ada yang salah masuk, ada yang antar makanan, ada yang baru mengumpulkan KTP, akhirnya Yura dibiarkan bekerja dengan tenang. Nggak lama sebenarnya kalau cuma input data untuk pembukaan rekening baru. Apalagi ini hampir semua kolom di formulir bank untuk pembukaan rekening baru hampir semuanya terisi. Jadi dia tinggal memindahkan datanya saja pada database bank nya. Dia akhirnya selesai jam dua belas lebih lima belas menit. Setelah melapor pada Retno, mereka menggelar pengumpulan tanda tangan untuk ditempel pada buku rekening nantinya. Tanda tangan ini langsung dibubuhkan di atas stiker jejak yang nanti akan dia bawa pulang dan di proses pembuatan buku rekeningnya ke Bank. Semua staff pegawai dan juga supplier bekerja sama dengan amat baik sehingga tidak perlu waktu lama untuknya menyelesaikan tahap pertama pembuatan rekening berskala besar seperti ini. Ponselnya berdering. Menejernya menelpon? “Ya Bu?” “Yura sudah selesai di sana?” “Ini lagi kemas - kemas Bu. Sebentar lagi saya sampai kantor.” “Okay, kalau begitu. Saya baru saja mau kirim bala bantuan siapa tahu kamu kewalahan ngerjain semuanya di sana sendirian. Kerja bagus, Yura.” “Makasih, Bu.” “Sampai nanti di kantor.” “Baik, sampai nanti di kantor, Bu.” Panggilan terputus. Dia bersiap lagi untuk kembali ke kantor. Setelah siap, dia tolah toleh kebingungan di lorong. Apakah harus naik lagi untuk berpamitan pada Mbak Retno, atau cukup sama yang di bawah saja? Sepertinya keberuntungan masih berpihak padanya, karena dia melihat Mbak Retno baru saja keluar dari salah satu ruangan di ujung. Ruangan yang sepertinya sangat dihindari oleh pegawai sini. Dia tahu itu karena tadi saat mengantar makan siang mereka sampai suit, yang kalah yang harus mengantar ke dalam. Memangnya bos mereka semengerikan itu? Dia tersenyum bersiap memanggil Mbak Retno. “Mbak Retno….” Dan senyumnya langsung lenyap begitu saja saat melihat siapa yang keluar mengikuti Mbak Retno di belakang. Dia tarik kata - katanya. Bosnya ternyata memang semengerikan itu. “Yura?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD