When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Hari demi hari berlalu cepat, tindih-menindih antara siang dan malam. Pekan berganti pekan, musim demi musim silih berganti. Sudah dua purnama berlalu, ketika seorang pria renta dengan tongkat kayu besi di tangannya, tampak berjalan tertatih mendekati Padepokan Tapak Suci. Angin pagi yang semilir, mengiringi langkah kakek tua ketika menjejakkan kaki di kaki bukit. Kedatangan pria tua yang tak lain adalah Ki Lodaya itu disambut penuh kelegaan oleh Ki Serayu. Sedangkan Panji Panuluh masih terdiam. Ia belum pernah melihat Ki Lodaya sebelumnya. Dalam pikirannya tak terlintas kalau Ki Lodaya adalah sosok renta yang mungkin usianya lebih dari seratus tahun. Namun, Panji Panuluh sama sekali tak melihat sosok itu lemah. Justru ia melihat paras sang kakek yang berseri, walau berkerut di sana-sini.