Bab 1 Manusia Serigala
Nyi Rumbini gelisah. Berkali-kali ia mondar-mandir keluar masuk rumah berdinding anyaman bambu. Kepalanya melongok ke arah jalan setapak yang sepi. Kemudian mulutnya meracau. Petang sudah mulai turun menyelimuti kampung kecil di tepi hutan itu. Kegelisahan semakin tergambar di paras wajahnya yang mulai keriput. Sudah menjelang malam, namun putra semata wayang tak kunjung bersua. Siang tadi putranya pamit akan berburu burung di hutan bersama Raden Mas Kumbara, teman sepermainannya yang juga putra dari Raden Taruno, Kepala Kampung Ringin Sewu. Tetapi, mengapa mereka tak kunjung pulang? Bukankah hari sebentar lagi gelap?
Nyi Rumbini mencoba untuk duduk, mencoba menenangkan perasaannya. Kegelisahan wanita paruh baya ini bukan tanpa alasan. Semenjak muncul berita mengenai manusia serigala yang bergentayangan di Kampung Ringin Sewu, ia selalu merasa cemas. Kabarnya manusia serigala itu tak hanya mengincar binatang ternak, tetapi juga mulai merenggut nyawa manusia untuk dihisap darahnya. Sudah ada korban jatuh beberapa hari yang lalu. Seorang petani meregang nyawa dengan perut terobek-robek. Nyi Rumbini selalu mewanti-wanti agar Panji Panuluh, putranya, agar selalu hati-hati dan waspada ketika berburu.
Nyi Rumbini sangat mengkhawatirkan putranya semenjak Ki Turonggo, sang suami meninggal karena suatu penyakit yang tak bisa disembuhkan. Penyakit aneh yang belum pernah diderita siapa pun di Kampung Ringin Sewu. Bahkan Ki Jagad Sewu, seorang tabib kenamaan dari dusun sebelah juga tak bisa menyembuhkan penyakit suaminya. Sang suami menghembuskan napas terakhir saat Panji Panuluh masih berusia dua tahun. Nyi Rumbini sangat terpukul dengan kepergian suaminya. Ia berjuang keras menghidupi putra satu-satunya.
Kini, sepuluh tahun tahun berlalu, Panji Panuluh tumbuh menjadi anak laki-laki yang pemberani, pintar dan tangguh. Nyi Rumbini sangat berharap agar putranya kelak bisa menjadi orang terhormat yang bisa mengangkat derajat keluarganya.
Malam mulai datang menjelang. Kampung kecil itu makin hening. Tak ada seorang pun berani menampakkan diri atau sekedar bercengkrama di luar rumah. Pintu-pintu tertutup. Suara jangkrik berderik sahut-menyahut. Angin dingin berdesir hebat, menjatuhkan ranting-ranting dan menerbangkan daun-daun kering. Nyi Rumbini masih gelisah, terduduk di depan jendela. Pikiran buruk mulai menyelinap di otaknya. Ia takut kalau-kalau ada hal buruk terjadi pada putranya. Awan hitam menggantung, pertanda hujan akan mulai turun.
Blaaar!
Suara geledek menyambar.
Dalam kegelisahan, Nyi Rumbini mengambil obor dan memberanikan diri keluar rumah ke jalan setapak kecil menuju hutan. Beberapa langkah ia berjalan, suara kentongan bertalu-talu dari arah lain. Ia menghentikan langkahnya. Beberapa penduduk berlarian mencari sumber suara. Ia semakin didera rasa cemas. Dengan cepat ia mengikuti warga yang lain mendatangi sumber suara yang datangnya dari tanah lapang di selatan kampung. Tanah lapang sudah dipenuhi warga. Suara kentongan berhenti. Darah Nyi Rumbini terasa berhenti saat melihat dua sosok tubuh pria yang terbujur kaku di tengah tanah lapang. Tubuh tersebut dalam keadaan tidak utuh dan penuh darah. Nyi Rumbini bergidik.
“Saudara-saudara ... kampung kita mulai tidak aman! Manusia serigala bergentayangan mencari mangsa. Lihat ini! Dua laki-laki ini telah tewas dimangsa oleh manusia siluman itu. Tutuplah rumah-rumah kalian dan lindungi anak-anak kalian. Para laki-laki akan melakukan ronda malam untuk meringkus makhluk iblis itu!” pekik Raden Mas Taruno, kepala kampung yang disegani.
Raden Mas Taruno sosok bertumbuh tambun, bermuka garang dengan kumis hitam melintang. Tak menunggu lama, warga kampung segera membubarkan diri. Mereka menutup rumah-rumah mereka dan mematikan lampu. Kampung Ringin Sewu menjadi sepi. Ketakutan menyebar di penjuru kampung. Nyi Rumbini segera masuk ke dalam rumah. Tetapi alangkah terkejutnya saat dia melihat bocah laki-laki kecil tengah duduk di bilik sambil melahap makanan yang telah disediakan sejak tadi sore. Nyi Rumbini merasa marah, tetapi juga bersyukur karena putranya pulang dalam keadaan selamat. Bagaimanapun juga, ia tetap memarahi putranya karena telah membuat Nyi Rumbini cemas.
“Kau kan tahu kalau kampung kita tidak aman. Bagaimana kalau manusia serigala itu menangkapmu?” tanya Nyi Rumbini dengan gusar.
“Aku tidak takut!” Panji Panuluh tidak peduli. Kelaparan telah menguasai otaknya, sehingga ia harus menghabiskan makanannya dalam sekejap.
“Jangan sembarangan bicara! Jangankan anak kecil ... sudah banyak para laki-laki menjadi korban keganasannya,” gusar Nyi Rumbini.
“Iya Biyung, aku mengerti. Aku dan Kumboro sering berlatih main pedang pada Paman Aryoseno ... jadi jangan terlalu khawatir.”
“Kamu masih sering berpetualang dengan Raden Mas Kumboro? Ingat dia itu putra kepala kampung. Jangan terlalu sering bersamanya. Nanti kalau ada apa-apa kita juga yang disalahkan!”
“Jangan khawatir, Biyung. Kumboro itu sahabatku. Kami akan baik-baik saja.”
Nyi Rumbini menghela nafas. Bagaimanapun kegundahan masih merayapi perasaannya. Setelah makan, Panji Panuluh tertidur di atas bilik. Nyi Rumbini mengusap dahi semata wayangnya dengan penuh rasa sayang. Malam berlanjut. Sunyi dan sepi. Nyi Rumbini tak bisa memejamkan mata malam itu.
***
Malam yang hening, Raden Mas Taruno berlari diikuti puluhan anak buahnya menerobos hutan. Selain membawa anak buahnya, Raden Mas Taruno juga membawa anjing-anjingnya yang berjumlah lima ekor. Suara anjing-anjing itu menyalak bersahut-sahutan memecah keheningan di hutan yang terletak di utara Kampung Ringin Sewu. Hutan itu selalu gelap, penuh dengan pohon besar. Konon di dalamnya terdapat aliran sungai jernih yang menghubungkan dengan tempat asing yang sangat indah. Menurut cerita warga, orang yang menyeberangi sungai itu tak akan pernah kembali ke kampungnya. Mereka selalu hilang entah kemana. Ada pula yang bercerita di seberang sungai ditinggali kerajaan jin wanita yang suka menyamar menjadi wanita cantik. Jin wanita ini suka menculik para pria untuk dijadikan pengikutnya. Demikianlah cerita yang beredar di kalangan penduduk.
Raden Mas Taruno tidak peduli dengan cerita itu. Ia menerobos semak yang lebat, semakin jauh ke dalam hutan. Tiba-tiba ia mengisyaratkan pada para prajuritnya untuk tenang. Di balik pepohonan besar, ia melihat sebuah gubuk reot terbuat dari kayu-kayu lapuk. Halamannya tak terawat, dipenuhi semak belukar. Bau busuk menguar dari gubuk, sudah tercium dari jarak beberapa kaki. Raden Mas Taruno mulai curiga. Suara burung gagak di atas pohon menambah suasana semakin mencekam. Semua anak buahnya bersiaga.
“Aryoseno! Coba kau dekati gubuk itu. Sepertinya kita sudah mendekati buruan. Aku yakin, gubuk itu tempat persembunyian si manusia serigala!” bisik Raden Mas Taruno kepada Aryoseno, salah seorang anak buah kepercayaannya yang paling jago bermain pedang.
Aryoseno ditemani dua anak buahnya yang lain mulai mengendap mendekati gubuk itu dengan sangat perlahan. Suara daun kering dan ranting bergemerisik terinjak oleh kaki-kaki mereka. Aryoseno menghentikan langkahnya. Perasaannya tidak enak, seolah kehadiran mereka sudah diketahui oleh penghuni gubuk misterius itu. Di saat nyalinya menciut, ia kuatkan lagi tekadnya. Ia kembali melangkah, memutari gubuk itu. Dua orang temannya tampak ragu, tetapi ikut juga dengan Aryoseno. Ketika mereka sudah mulai dekat, terdengar suara mendengkur yang sangat jelas. Suara dengkuran itu mirip suara dengkuran binatang buas. Belum lagi hilang rasa terkejut, tiba-tiba balik semak muncul makhluk hitam tinggi besar yang tingginya melebihi manusia!
“Graaah!”
Makhluk itu berbulu lebat dengan kepala anjing buas berwarna merah dan gigi taringnya yang runcing. Sontak teman-teman Aryoseno lari terbirit-b***t ketakutan, sedangkan Aryoseno masih berdiri tegak melawan rasa takutnya. Makhluk buas itu berdiri layaknya manusia sambil mengaum nyaring.
“Graaah!”
Sementara Raden Mas Taruno dan anak buahnya yang lain melihat dari kejauhan dengan hati gentar dan cemas. Anjing-anjingnya menggonggong dan melengking ketakutan. Binatang itu tampak gelisah mondar-mandir, tetapi tidak berani untuk maju.
“Dasar pengecut! Ayo tunggu apa lagi! Bantu Aryoseno!” Raden Mas Taruno memerintahkan pada anak buahnya untuk maju.
Sayangnya, semua anak buahnya tampak ketakutan. Mereka belum pernah melihat seekor serigala sebesar ini. Tetapi karena mereka juga takut akan hukuman dari Raden Mas Taruno, mereka nekat untuk maju membantu Aryoseno. Puluhan anak buahnya maju dengan posisi menyerang dan segera disambut oleh suara menggelegar dari serigala jadi-jadian. Serangan secara tak terencana itu berakibat fatal! Bagaimanapun makhluk itu sangat tangguh. Tangannya menyambar, merobek-robek tubuh para penyerangnya.
“Aaaahhh!”
Craaat!
Suara pekikan kengerian melengking memenuhi hutan. Sekejap saja, tubuh-tubuh yang hancur bergelimpangan. Darah terpercik kemana-mana. Suasana makin mencekam. Aryoseno masih terpaku melihat satu persatu temannya mati sia-sia dalam keadaan mengerikan. Karena keadaan makin tak terkendali, Aryoseno mengumpulkan segala nyalinya, ia keluarkan pedang dari sarungnya dan menyerang. Rupanya gerakannya kalah cepat, tangan si serigala sudah terayun, sehingga kuku-kukunya yang tajam menggores dadanya. Aryoseno roboh!
Raden Mas Taruno menyadari kalau keadaan akan semakin buruk kalau ia tetap bertahan di tempat itu. Ia segera mengambil langkah seribu keluar hutan, diikuti dua anak buah yang tersisa dan anjing-anjingnya! Sayangnya, langkahnya tak terlalu cepat. Setelah merobohkan Aryoseno, serigala jadi-jadian itu mengejar tanpa ampun. Para anjing berusaha melawan, tetapi malang juga yang didapat. Tubuh anjing-anjing itu terpelanting ke udara dalam keadaan tidak utuh.
Raden Mas Taruno tercekat. Dua anak buahnya hendak mengambil langkah seribu, namun cakar makhluk buas itu terlebih dahulu mencengkeram bahu, menghempaskan keduanya dalam keadaan hancur. Kini hanya tinggal Raden Mas Taruno, menatap semua kejadian itu dengan perasaan takut luar biasa!
***