4. Tertangkap Basah

1103 Words
Klik! Alexa menutup pintu dengan hati-hati setelah berhasil masuk ke dalam rumah. Dia berjalan sambil menunduk, mengendap-endap seraya memperhatikan ke beberapa sudut memastikan Halen, sepupunya, tidak berada di sekitar. "Syukurlah!" Terdengar hembusan nafas lega dari Alexa setelah memastikannya. Segera dia berlari kecil menaiki tangga, kemudian langsung menjurus ke kamarnya. Saat itu matanya melirik ke pintu kamar Halen yang tampaknya masih tertutup rapat. Senyum gadis itu kembali mengambang sembari menarik knop pintu kamarnya. "Untunglah dia masih tidur. Jika tidak ...." "Jika tidak, kenapa??" Halen tiba-tiba muncul dari dalam kamar Alexa. Berdiri memasang wajah galak sembari melipat kedua tangannya di depan d**a. Alexa mematung seketika. Tersenyum pahit sembari berusaha menutup kembali pintu kamarnya. Berharap dia memiliki kempunan untuk menghilang agar bisa pergi dari sana. "Tunggu! Kamu mau ke mana? Mau kabur?" Halen mengejar dan dengan cepat menangkap Alexa. Tidak berhenti di sana, Halen kemudian menarik Alexa masuk ke dalam kamar. "Oke oke- ... Aku salah. Aku minta maaf. Seharusnya aku pulang sebelum tengah malam." Alexa menghembuskan nafas sambil mengangkat tangannya. Namun ekspresi Halen masih tidak berubah seolah permintaan maaf itu tidaklah berarti apapun untuknya. "Apa lagi? Aku sudah minta maaf. Aku juga sudah pulang, kan? Kurang apa lagi?" tanya Alexa. Halen benar-benar kehilangan kata-kata saat mendengarnya. Dia membuka ponsel lalu melempar ke pangkuan Alexa agar melihatnya. "Lihat! Pergi ke mana kamu semalam, ha?!" Alexa masih bingung. Perlahan tangannya mengambil ponsel Halen dan menemukan beberapa foto dirinya yang sedang duduk di bar. Bukan hanya itu. Ada juga foto saat dirinya memeluk seorang pria. Terlihat sangat mesra seolah mereka sedang berkencan. "Dari mana kamu mendapatkannya?" tanya Alexa, menatap Halen. "Apa itu penting?" sahut Halen sambil merampas kembali ponselnya. "Sekarang foto-fotomu mungkin sudah tersebar luas di luar sana. Dan tidak lama lagi pasti akan sampai ke CEO." "Sial!" Alexa langsung menjatuhkan diri di ranjang sambil mengusap wajahnya. "Alexa! Jujur padaku sekarang. Siapa pria itu?" tanya Halen dengan menginterogasi. Walau bagaimanapun dia adalah seorang manajer. Tugasnya adalah memastikan artisnya tidak terlibat dalam scandal. Namun melihat foto-foto tersebut, dia ragu dapat menyelesaikan seperti masalah-masalah sebelumnya. "Aku tidak tahu," jawab Alexa. "Apa maksudmu tidak tahu? Kalian terlihat sangat dekat. Bagaimana mungkin tidak tahu?!" Alexa menarik tubuhnya berganti posisi duduk. "Aku bilang aku tidak tahu. Dia hanya seorang bartender di bar itu. Aku bahkan tidak tahu namanya. Kami baru bertemu kemarin malam." "..." Halen diam untuk beberapa saat. Ekspresi wajahnya seperti meragukan jawaban Alexa. "Kalian baru bertemu kemarin malam. Lalu bagaimana bisa kamu begitu akrab sampai memeluknya?? Apa semua ini masuk akal?!" Alexa memalingkan wajah ke arah lain menghindari tatapan Halen. Dia bergumam sangat pelan yang bahkan telinganya sendiri hampir tidak mendengar. "Aku mabuk." "Apa??" Dua mata Halen tampak membulat. Tangannya terbuka seperti ingin meraup kepala Alexa saat ini juga. Dia berteriak dengan gemas. "Alexaaa!! Berapa kali ku bilang, jangan minum terlalu banyak. Kamu peminum yang buruk. Dan setiap kali hilang kesadaran akhirnya selalu seperti ini." Saat itu, ponsel Halen tiba-tiba berdering. Halen mengintip sekilas untuk mencari tahu siapa yang sudah menelpon. "Siapa?" tanya Alexa yang ikut penasaran. "Siapa lagi? Kamu pasti tahu siapa yang akan menelpon di situasi ini." "CEO?" Halen tak mengatakan apapun dan hanya berbalik untuk menjawab telepon. Dia tampak bicara panjang lebar di sudut kamar. Berusaha menjelaskan situasi yang sebenarnya terjadi sambil mencoba mencari solusi. ___ Di tempat yang lain. Barra sedang menyantap sarapannya. Pria itu tampak menikmati makanannya sampai terdengar suara melengking dari seorang gadis muda yang berjalan di anak tangga. "Kak Barra!" Dia adalah Hera. Adik perempuan Barra satu-satunya. "Kak Barra kemarin tidur di mana? Kak Alfian baru saja menelponku dan bilang jika Kak Barra tidak menginap di tempatnya. Kak Barra tidur di mana?" Barra meletakkan garpu dan sendok di tangannya lalu menatap Hera. "Tidak mungkin tidur di rumah karena aku lihat Kak Barra baru sampai setengah jam yang lalu. Hayoo~ Kak Barra tidur di mana?" Gadis itu tiba-tiba memangut dagunya dan terlihat serius. "Jangan bilang ... Kak Barra sudah punya pacar?! Dan kemarin malam Kak Barra menginap di rumah pacar Kak Barra. Benar begitu, kan, Kak?" "..." Barra malah melamun mengingat kejadian semalam. Di mana dirinya benar-benar bertindak untuk seorang wanita yang bahkan baru pertama kali dilihatnya. Seperti bukan seorang Barra Agra yang dikenal banyak orang. Pria yang di kepalanya hanya ada ruang untuk pekerjaan. Namun kemarin malam dia sungguh tak bisa mengendalikan diri saat berada di dekatnya. Barra baru ingat jika sampai sekarang dia belum tahu nama wanita itu. Sayang sekali. "Apa akan ada kesempatan lain? Aku harap seperti itu." "..." Barra tersadar dari lamunannya saat mendengar suara getaran ponsel. Dilihatnya Hera yang membawa ponselnya tampak seperti berusaha menelpon seseorang. "Bukankah ini kabar baik? Aku harus menelpon papa mama untuk mengabari jika Kak Barra punya pacar." Mata Barra langsung berkedut. Tanpa menunggu lebih lama segera merampas ponsel itu dan mematikan panggilan telepon meski sebenarnya baru saja tersambung. "Kak Barra!!" pekik Hera menatap kesal kakaknya. Namun seolah tak terpengaruh dengan hal itu Barra hanya fokus melanjutkan sarapan. "Anak kecil jangan ikut campur urusan orang dewasa. Cepat makan sarapanmu lalu bersiaplah pergi ke kampus." Cih! Hera berdecak sebelum menarik kursi untuk dirinya. Memakan sarapan sambil terus melirik Barra yang ada di depannya. "Lihat wajah itu. Dia pasti menyembunyikan sesuatu." Barra menyadari jika Hera terus menatapnya. Namun dia memilih pura-pura tidak mengetahuinya dan fokus menghabiskan sarapan sebelum berangkat ke kantor. ___ Di jalan. "Maaf Tuan. Sepertinya pagi ini beberapa jalur dialihkan karena sedang ada perbaikan. Mungkin akan tiba di kantor lima belas menit lebih lambat." Barra mengangkat wajahnya sambil melirik ke arlojinya. "Jalan saja dengan benar." "Mengerti, Tuan." Saat itu mobil berhenti di sebuah persimpangan dengan lampu lalu lintas. Barra menaruh ponselnya untuk melihat ke luar jendela. Tanpa sengaja pandangannya tertuju ke papan reklame digital besar yang ada di seberang jalan. "Dia ...." Sosok model di papan reklame itu jelas sangat familiar. Barra sangat yakin jika dia adalah wanita yang sama dengan yang ditemuinya kemarin malam. Barra tersenyum tanpa alasan saat membaca pesan pada papan reklame itu. Dia terus memperhatikannya hingga membuat Fano, sopir sekaligus asisten pribadinya itu ikut memperhatikan. "Apa Tuan mengenal model iklan itu? Dia adalah Alexa Venatha, yang dikenal sebagai salah satu top visual artis di generasinya." Barra menurunkan pandangannya beralih ke Fano. "Sepertinya kamu cukup tahu banyak tentangnya." Fano lalu tertawa canggung. "Bisa dibilang seperti itu, Tuan. Kebetulan saya mengikuti beberapa drama yang dimainkannya dan merasa dia artis yang luar biasa." "Sudah cantik pandai akting pula. Saya rasa hampir tidak ada pria normal yang dapat menolak pesonanya." Barra hanya manggut-manggut sembari mengalihkan pandangannya kembali ke papan reklame di seberang jalan. Senyumnya makin mengembang saat gambar Alexa muncul untuk kedua kalinya. "Sekarang aku tahu namamu. Alexa Venatha. Dan cepat atau lambat kita akan bertemu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD