Bu Ingit

1234 Words
“Ibu liat, Miftah yang buat baju saya sobek kayak gini! “ Abdan buka suara saat bu Ingit meminta menjelaskan dulu . “Apa itu benar Miftah?! “ “Hem ... itu bu, emang saya, tapi saya gak sengaja,” sahut Miftah, jujur. “Bu, mana ada penjahat ngaku. Aksinya banyak kok kalo dia yang narik seragam saya,” sahut Abdan, berusaha menyudutkan Miftah. Tapi yang terjadi bu Ingit malah menatapnya tajam, karena sekarang Abdan menyela pembicaraan seenaknya. Susah banget berhadapan sama nih guru ... dengus Abdan kesal. “Abdan, bisa gantian? Jangan menyela pembicaraan. Sekarang giliran Miftah yang menjelaskan. Ibu butuh tahu alasan dari kedua belah pihak,” sahut bu Ingit tegas. Abdan tidak bisa berkuti dan hanya ada satu pilihan. Diam. “Gak, bu, saya beneran gak sengaja. Saya gak akan cari masalah kalo Abdan gak duluan ganggu saya,” sambung Miftah tanpa sadar menautkan jari kelingkingnya, refleks saat dia merasa takut. Tatapan bu Ingit, jujur saja membuat Miftah takut sampai ketulang-tulang, rasanya lututnya lemas dan tangannya tremor tidak jelas di bawah meja. “Jelas-jelas tangannya gerak secara sadar,” sela Abdan lagi. Kali ini bu Ingit menghela nafas berat. Benar kabar yang beredar selama ini, kalo muridnya yang terkenal sangat tampan ini, memang sedikit sulit di atur dan mulutnya sepedas cabe. “Apa buktinya gue ganggu Lo?!” Miftah diam seribu bahasa. “Gak ada buktikan Lo. Bacot doang sih Lo! “ tembak Abdan, sudah merasa menang. Cowok bermata biru hazel itu, lupa kalo di depannya ada guru senior yang tidak akan mentolerin dirinya, meski Abdan sudah meminta maaf dengan senyum memikatnya. “Abdan, jaga bicara kamu! “ sentak bu Ingit, yang refleks bangkit dari kursi dengan keras, hingga mengeluarkan suara nyaring decitan yang berasal dari kaki kursi yang pergesekan dengan lantai. Suara itu makin mendramatis kemarahan bu Ingit. “Maaf Bu,” cicit Abdan, ragu. “Miftah coba jelaskan dengan rinci semua dari awal!” kata bu Ingit. “Dan kamu Abdan, ibu harap kamu berhenti mengerakkan mulut kamu sebelum ibu menanyakan apa pun pada kamu. Kamu ngerti?! “ Abdan mengangguk pelan. Pertanda setuju. “Kenapa kalian bisa ribut? “ Miftah mengatur nafas terlebih dahulu, berharap rasa gugupnya sedikit ternetralisasi, setelahnya gadis bertubuh tambun itu mulai menceritakan semuanya dari awal, berbeda dengan Abdan yang hanya menceritakan semuanya secara sepihak dan terus menyudutkan Miftah. Miftah mencoba untuk menjelaskan semuanya secara rinci, mulai dari Abdan yang tiba-tiba menggebrak meja sampai akhirnya terjadi seragam sobek. Merasa jadi peran antagonis di cerita Miftah, sontak membuat Abdan mendengus kesal, tidak berdaya untuk mengintrupsi, tapi tidak tahan terus mendengar cerita dari sudut Miftah. “Saya cuma mau name tag saya, Bu,” kata Miftah mengakhiri kalimatnya. Sekarang bu Ingit kembali menatap Abdan. “Abdan, apa benar name tag Miftah ada di kamu?” “Awalnya iya, Bu. Saya gak sengaja ketemu name tag dia yang jatuh.” “Terus? “ “Saya gak ngerasa itu penting. Dan saya buang.” “Apa?! Name tag gue Lo buang?! “ sahut Miftah tanpa sadar. Kini giliran Miftah yang mendapat tatapan tajam bu Ingit. Buru-buru Miftah menunduk dan meminta maaf atas ketidak sengajanya menyela percakapan bu Ingit. “Kamu buang ke mana? “ “Hem, saya lupa, Bu.” “Name tag...” Miftah mendengus sedih. Harus berapa lama ia puasa menikmati makanan enak di kantin. “Abdan kamu harus bertanggung jawab karena sudah membuang name tag Miftah. Dalam waktu dekat ini, sekolah tidak dapat mencetak name tag baru, karena selain panjangnya antrian name tag, mesin yang digunakan untuk mencetak name tag resmi juga rusak. Jadi sebagai bentuk tanggung jawab kamu, selama name tag Miftah belum ditemukan atau dibuat baru, kamu harus berbagi name tag dengan Miftah.” Kening Abdan berlipat, sejak kapan name tag yang bersifat individu itu bisa dibagi bersama? Abdan tidak pernah tahu mengenai peraturan ini. “Biar hal ini akan saya bicarakan ke pihak sekolah. Jadi Miftah bisa ke kantin, menaiki bus sekolah, dan masuk ke perpustakaan menggunakan name tag Abdan ...” Belum selesai bu Ingit menjelaskan, Miftah tidak bisa membendung rasa senangnya. Wajah murungnya mendadak hilang berganti senyum cerah, membayangkan kebahagiaan bisa kembali bertemu sapa dengan lezatnya makanan kantin. “Dan bersama Abdan.” Mendadak senyum Miftah lenyap tak tersisa. Apa-apaan ini? Hukuman macam apa ini?! Bukan hanya Miftah yang sangat tidak suka akan kalimat terakhir itu, Abdan yang duduk di sebelah Miftah juga mendelik kaget, membayangkan dirinya harus terus bersama gentong macam Miftah. “Bu, kenapa mesti sama saya. Cukup name tag saya aja,” protes Abdan, tidak tahan untuk menyela. “Kamu lupa? Mesin sensor name tag, membutuhkan sidik jari.” Abdan menghela nafas panjang. Untuk pertama kalinya, Abdan membenci teknologi yang sebelumnya sangat ia banggakan dari sekolah elit ini. “Lalu bagaimana dengan keadilan untuk saya, Bu? Baju saya robek karena di burii—hem, Miftah.” “Miftah kamu harus mengganti baju seragam Abdan.” Miftah mengangguk pelan. Teringat akan celengan ayam miliknya di kamar, beruntung Miftah mengindahkan nasehat bundanya untuk selalu menyisakan uang jajan untuk ditabung. Saat-saat seperti inilah uang tabungan sangat berguna untuk dialokasikan menutupi harga seragam khusus sekolah yang terbilang cukup mahal, bekisar dua ratus ribu. Nominal yang besar untuk seorang pelajar macam Miftah. “Tapi bu, saya gak bawa uang sekarang,” gumam Miftah jujur. “Terus gimana bu? Saya gak mungkin pulang dengan seragam gini,” sahut Abdan, masih sangat berambisi untuk menyudutkan Miftah. Padahal jika pun Miftah tidak bisa mengganti seragam miliknya, Abdan masih bisa pulang dengan penampilan yang tetap keren. Seorang bad boy mana mungkin meninggalkan jaket jeans yang selalu jadi benda wajib. “Kalo gitu, apa kamu punya seragam ganti di loker?” tanya bu Ingit tiba-tiba. Miftah mengingat-ingat sejenak, lalu mengangguk pelan. Miftah baru ingat kalo dia tadi membawa baju seragam ganti, untuk jaga-jaga jika dia dijahili seperti kemarin. “Iya, Bu. Ada di loker saya.” “Bagus kalo gitu, tolong kamu ambil.” “Eh?! “ Miftah beranjak pergi, tanpa sempat Abdan hentikan. Cowok bermata biru hazel itu, entah mengapa merasa tidak baik dengan ide bu Ingit yang tiba-tiba meminta Miftah mengambil seragam gantinya. “Ini bu bajunya.” Sepuluh menit berlalu, Miftah kembali masuk dengan nafas yang berusaha ia atur agar tidak berantakan karena berjalan cepat dari ruang BK ke ruang loker. “Kenapa diserahkan ke saya? “ “Eh? “ Sekarang Miftah yang kebingungan dengan ide yang ada di kepala bu Ingit. Bu Ingit mengangkat dagunya, menunjuk Abdan yang duduk di depannya. “Kasih Abdan. Dia akan pulang dengan seragam milik kamu.” “APA?! “ sahut Abdan dan Miftah kompak. Untuk pertama kalinya, kedua anak manusi ini satu pemikiran. Abdan mendengus, tidak suka jika dirinya memiliki satu kesamaan apa pun dengan cewek buriik macam Miftah, sekalipun dalam hal kaget. “Saya gak mungkin pake baju burii—hem Miftah.” Abdan memutar bola matanya, lidahnya sudah terbiasa menyebut Miftah b***k, itu nama paten gadis itu baginya. “Kenapa tidak? Baju Miftah pasti muat buat kamu. Toh sekilas seragamnya kelihatan sama. Hanya beda di bagian panjang lengannya saja,” sahut bu Ingit enteng. “Sekarang Kanu pake. Pake di toilet BK sekarang.” “T-tapi bu ...” “Kamu menuntut tanggung jawab, kan?” Bu Ingit mengangkat sebelah alisnya. “Sekarang sudah terpenuhi jadi apa lagi alasan kamu?!” “Pake sekarang seragamnya! Kalian harus mendapatkan hukuman atas keributan tadi,” titah bu Ingit, tidak membenci sedikit pun celah pada Abdan untuk menyelah . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD