Abdan terpaksa memakai baju milik Miftah. Satu sekolah hampir heboh dibuatnya, apalagi para cewek yang mengetahui itu seragam Miftah yang terlihat over size di tubuh Abdan, mereka mengira Abdan melakukan itu karena mereka hubungan spesial.
“Ih beruntung banget tuh buriik, bajunya bekas Abdan.”
Miftah mendengus sebal, kenapa semua yang berhubungan dengan Abdan seolah selalu menarik di mata mereka. Bisik-bisik yang mereka lakukan, apa tidak tahu kalo suara-suara itu sampai di telinga Miftah yang mulai bega dengan semua ini.
“Iya ih, kenapa gak pake baju gue aja. Gue banyak kok stok baju di loker.”
“Kenapa tuh buriik selalu beruntung sih?! "
Mereka sebenarnya tahu definisi bisik-bisik gak sih? Minimal pahami dulu kira-kira berapa volume yang tepat buat bisik-bisik ?
“Mau pake baju apa aja, Aban tetap ganteng ya.”
Mendengar pujian yang masuk ke telinganya, refleks membuat Abdan tersenyum kecil. Dia memang tampan. Jadi sekali pun pake baju gembel, dia tetap tampan ...
“Besok Lo harus ganti seragam gue!” Abdan langsung mengubah ekspresi wajahnya begitu Miftah tanpa sadar melihat kearahnya. “Jangan pikir, seragam Lo ini bagus! Seragam Lo keliatan bagus itu karena gue yang pakai. Camkan itu.”
“Lagian siapa juga yang bilang seragam gue bagus. Orang bentuknya sama aja kayak yang lain.” Miftah memutar malas bola matanya. Tidak mau berlama-lama mendengar suara Abdan dan bisikan-bisikan itu, Miftah mempercepat langkahnya menuju lapangan belakang, membiarkan Abdan tenggelam dalam pujian semunya.
Miftah dan Abdan dihukum membersihkan daun-daun kering di lapangan belakang sekolah, yang sialnya ada pohon beringin besar di sana. Setiap angin berhembus kencang, daun-daun kering kembali memenuhi lapangan. Miftah sudah kewalahan menyapu, sedangkan Abdan—playboy cap kaki bayi itu dengan liciknya memaksa Miftah menyetujui pembagian wilayah secara sepihak. Abdan memilih tempat teduh dan jauh dari pohon, sedangkan Miftah di tempat sebaliknya.
Miftah mendengus, ini namanya tidak adil ! Gadis berbadan gemuk itu berjalan cepat ke arah Abdan yang tengah bersantai di pinggir lapangan, sok tampan.
Abdan tahu jelas, beberapa adik kelas diam-diam mencuri pandang ke arahnya, tapi mereka tidak memiliki keberanian, terlebih saat melihat lima siswi kakak kelas dua belas menghampiri Abdan. Dengan sok kenal, mereka memberi berebut memberi minum pada Abdan. Abdan mau tidak mau Abdan jadi harus berbasa-basi riang dengan Merek.
“Ini gak adil! “ protes Miftah setelah berhasil berdiri di depan Abdan dengan jarak satu meter. “Gue mau tukar wilayah! “
Abdan refleks bangkit. “Eh, buriik, Lo emang gak bisa ya liat gue santai dikit, sehari aja! Gue udah bagi wilayah, masih aja Lo ganggu gue! “
“Gue mau tukar wilayah. Sekarang gantian Lo di sana,” sahut Miftah tidak ingin berlama-lama beradu argumen.
“Gue gak mau! “ Abdan bersikeras.
“Lo harus mau!” tekan Miftah. “Lagian sejak awal gue emang gak setuju pembagian wilayah yang gak adil gini !”
“Eh, Lo, jangan ganggu Abdan.” Tiba-tiba kakak kelas yang sedari tadi menatap sinis Miftah, mendorong pelan bahu Miftah. Menyadarkan Miftah bahwa ada orang lain selain mereka.
“Maaf, Kak. Tapi saya gak ada urusan sama kakak,” sahut Miftah sopan.
“Urusan Abdan juga urusan kita! “ sahutnya, yang langsung mendapat anggukan cepat teman-teman sejawatnya.
“Tapi maaf kak, saya lagi ada urusan sama Abdan.”
“Idih nih orang berani banget !” seru salah seorang dari mereka, padahal sejak tadi Miftah sangat menjaga nada dan tutur katanya, meski ekspresnya tidak bisa sesantai kalimatnya.
“Lo melawan sama kita ?! Ha? Lo gak tahu siapa kita?! “
“Maaf, kak, tapi ...”
“Gak usah banyak tapi-tapi, mending Lo pergi dari sini.”
Miftah memutar malas bola matanya. “Abdan buruan ganti wilayah.”
“Eh, Lo! “ seru mereka tidak terima atas tindakan Miftah yang memilih mengabaikan mereka.
“Dia, Miftah, orang yang selalu buat Abdan kesal,” bisik salah satu di antar mereka pada cewek yang sekarang menatap tajam Miftah.
“Oh jadi Lo orangnya?! “ kata cewek itu dengan dagu terangkat dan mata menatap sinis.
Ck! Kenapa manusia jenis Flo banyak banget di sekolah yang katanya berbasis internasional ? Miftah mendengus kesal.
“Abdan, kamu mau kami apain nih cewek belagu?! “ tanya mereka sombong.
Abdan menghela nafas berat dan beralih pada Miftah. “Oke. Lo mau ganti wilayah, kan? “
“Oke,” putus Abdan.
Abdan langsung bergerak berjalan ke wilayah bagian Miftah, tentunya diiringi kakak kelas yang terus mencoba menarik perhatian Abdan. Mereka melakukan apa saja, mulai dari menawari makan, minum tidak henti-henti sampai modus yang hendak menggelapi keringat Abdan. Astagfirullah, ukhti... Ingat dosa woi...
“Abdan, biar kita bantuin aja gimana? “ mereka menawarkan diri. Ide cemerlang untuk terbebas daru hukuman.
“Emang kakak-kakak semua gak ada pelajaran ?” tanya Abdan berbasa-basi.
“Lagi kelas kosong nih,” kata salah satu perwakilan mereka. Entahlah mereka benar apa gak.
“Oh gitu ...” Abdan mengulas senyum di wajahnya.
“Kamu duduk aja di sana, pasti kamu capek kan? “ kata mereka lagi.
Jelaslah capek ... pake acara nanya. Dasar ukhti akhir zaman...
“Eh, tapi nanti ketahuan b Ingit gimana? “
“Tenang aja, gak bakal kok,” sahut mereka percaya diri.
“Kita kan niatnya saling membantu. Dalam agama Islam juga dianjurkan saling membantu.”
Alasan ...
Karena semua alat kebersihan sudah diambil alih mereka, Abdan jadi bisa bersantai di bawah pohon rindang. Abdan melempar senyum miring ke arah Miftah, yang sedang menyekat keringat dari wajahnya. Apa pun kondisinya good looking selalu lebih beruntung. Begitu kira-kira tatapan songong yang Abdan lemparkan. Miftah menyesal sudah mengangkat kepalanya kearah mereka. Pemandangan tidak layak untuk matanya.
“Miftah ...” Sinty menoleh kecil ke arah Abdan, saat berlari menuju Miftah. “Lelah ya?”
“Menurut kamu?” Miftah mengangkat sebelah alisnya, bukan bermaksud marah. “Kamu kenapa bisa keluar? Jam kosong ya? “
“Gak, tadi ada kuis dadakan, jadi siapa yang bisa tebak, boleh keluar kelas buat istirahat.” Miftah mengajak Sinty duduk menepi di pinggir lapangan.
“Oh iya, ini aku bawa minum dan roti buat kamu.”
“Wah, makasih.”
“Iya, sama-sama.” Sinty tanpa sadar menoleh ke arah Abdan yang sedang terlihat berbincang akrab dengan beberapa kakak kelas, entah kenapa hari Sinty terasa panas melihat hal itu. Dia cemburu, tapi siapa dia yang berhak cemburu?
Sinty spontan menghela nafas panjang, dirinya hanya salah satu dari siswi yang diam-diam menyukai seorang Abdan yang memiliki tatapan dan mata yang memikat. Hanya itu.
“Gue gak ngerti, kenapa akhir-akhir ini banyak banget orang yang dapat nomor gue,” gumam Miftah setelah menelan kunyahan roti pertamanya.
“Maaf ....”
“Kok kamu minta maaf sih? “ bingung Miftah.
“Ya, mungkin awalnya gara-gara aku ngasih nomor ke Abdan, terus dia nyebar nomor kamu.”
“Hem, bisa jadi. Tapi ya udahlah, kamu gak usah minta maaf. Lagian kamu gak ada niatan jahat. Emang Abdan aja yang jahat.” Miftah mendengus, membayangkan betapa songongnya tatapan cowok bermata biru hazel itu.
“Dia gak jahat tahu, Mif. Buktinya dia tulus muji hasil foto aku.”
“Dia gak tulus muji kamu. Kamu ingatkan kemarin aku mencret-mencret, itu ulah mereka. Gue dengar langsung.”
“Oh itu, iya, aku tahu. Dia bilang, itu cuma obat pelangsing yang sehat buat tubuh.”
“Sehat dari mana coba? Aku sambil bolak-balik ke kamar mandi. Terus lagi kamu tahu, aku ngentut di depan guru. Malu banget rasanya.”
“Serius? “ Sinty refleks tertawa pelan, mata almondnya menyipit karena hal itu.
“Udah lah aku keki banget kalo ingat itu.”
“Oh iya, Btw gimana kursus berkuda sama memanah kamu ?”tanya Sinty mengalihkan percakapan.
“Alhamdulillah semua lancar aja. Bentar lagi ada pendaftaran baru. Kamu mau ikut? “
“Hem, nanti aja deh. Aku tanya bunda dulu.”
Miftah tanpa sengaja melihat sesuatu di tangan Sinty. “Eh, itu kamu bawa apa? “
Sinty refleks langsung menyembunyikan tangannya dari jangkau mata Miftah meski itu tidak ada gunanya.