Prolog
Suara murotaal Al-Qur'an terdengar menggema di seluruh penjuru rumah yang berasal dari kamar bertuliskan, ‘Warning, daerah Miftah.
Murotaal Al-Qur’an itu merupakan suara alarm dari gadis yang sekarang tengah menggeliat di atas kasurnya. Gadis itu tersenyum menatap langit-langit kamar. Ia mengucek pelan matanya lalu seperti biasa duduk di sisi ranjang seraya bergumam membaca doa bangun tidur.
Setelah itu, ia beranjak dari kasur. Berjalan gontai menuju kamar mandi. Ia berhenti di depan kaca, dan langsung tersenyum lebar.
“Masyaallah, bidadari kok bisa ada di bumi? “gumamnya seraya tersenyum lebar. Ia lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.
Gemercik air terdengar dari kamar mandi. Gadis itu keluar dengan wajah basah. Ia habis mengambil wudu. Langkahnya kembali terhenti di depan kaca. Gadis itu tersenyum di depan kaca seraya menatap wajahnya yang basah setelah mengambil wudu.
“ Masyallah tambah cantik aja, Neng.” Gadis itu cengegesan, ia lalu berpose seolah di depannya ada moncong kamera yang siap mengambil posenya. Tubuh tambunnya berpose bak selebgram.
Pose kepala pusing,
Satu...
Dua..
Ckrek.
Pose pura-pura buta,
Satu
Dua
Ckrek.
Pose kepala pusing sambil liat kaki,
Satu
Dua
Ckrek.
Dan masih banyak pose yang ia lakukan dengan tubuh langsing menurut standarnya. 70 Kg adalah kelangsingan yang haqiq baginya.
"Kok gue kurusan ya? " gadis itu menatap kembali pantulan cermin. Ia mendekatkan wajahnya di cermin. "Pipi cabi gue kenapa kecil?”
Gadis itu tergopoh-gopoh, mengambil timbangan di bawah kasur.
"OMG, BADAN GUE BERATNYA CUMAN 60 KG."
"OMG, INI BAHAYA! "
"OMG, INI BENCANA! "
"OMG, KEMANA SEMUA LEMAKKU! " pekiknya histeris sendiri.
Gadis itu nangis bombay selama lima menit.
"Oh iya, belum salat tahajud. Salat dulu, entar nangisnya sambung lagi setelah salat," putusnya. Ia memang sedih, tapi ia tidak ingin banyak menyia-nyiakan waktunya. Ia membentang sajadah dan salat tahajud. Dua menit ia telah selesai dengan salatnya.
"Fixs, gue harus makan empat sehat 7 sempurna. Gue gak mau kalo badan gue kurus kayak tiang bendera."
***
“Kak Sinty udah punya pacar belum?”
Gadis berwajah imut itu tersenyum malu seraya menggelengkan kepalanya.
“Masak sih, cewek secantik kakak gak ada yang punya... “
Sinty tersenyum simpul. “Gak ada yang suka mungkin.”
“Mustahil. Teman sekelas aku aja diam-diam pada suka sama, Kakak. Kakak udah cantik, pintar lagi. Siapa cowok yang bisa menolak pesona, Kak.”
Sinty hanya menanggapi perkataan adik kelasnya itu dengan senyum tipis. Ia tahu ada banyak cowok di sekolah yang mencoba mendekatinya tapi... di hatinya sudah ada seseorang yang tanpa diprediksi masuk memenuhi hatinya.
“Atau diam-diam kakak suka sama seseorang ya? “ tambah gadis itu.
Wajah Sinty seketika merona, malu. Ia buru-buru pamit dan berjalan kembali ke kelas. Di lorong kelas, pupil mata Sinty menangkap sosok yang membuat pipinya merona hanya karena mengingat namanya.
Sosok itu berdiri di ujung koridor bersama ketiga temannya, berbincang ringan sembari berjalan ke arahnya.
Sinty ragu untuk meneruskan langkahnya, ia terlalu malu untuk sekadar berpapasan dengannya.
Sinty ingin memutar langkahnya, tapi kehadirannya di ujung lorong, sudah diketahui ketiga cowok itu. Sinty menarik nafas dalam-dalam, ia harus berani. Kabur dari sana hanya akan membuat dia terlihat aneh. Sinty tidak ingin terlihat aneh di hadapan dia.
.
.
“Miftah, Lo kan sahabatan sama Sinty, bagi nomor Sinty buat kita doang.”
Miftah memicingkan matanya, menatap tajam gerombolan cowok yang menghadangnya di depan pintu masuk kelas.
“BIG NO! “
“Pelit amat si Lo!”
“Minggir gue mau masuk! “
“Bagi nomor Sinty dulu. Entar kita gak akan gangguin Lo lagi.”
Miftah menyentak kakinya. “MINGGIR, GAK?! “
“Nomor dulu. Mumpung Sinty belum dilirik g**g cowok tampan, ini satu-satunya kesempatan emas kita-kita dapat cewek cantik.”
Miftah melotot. Mereka pikir Sinty sejenis piala yang dijadikan rebutan.
“Kalo gak minggir gue injek kaki kalian satu persatu. Gue hitung, satu, dua, t-ti... “
“Oke fiks. Lebih baik kita minggir, biarin si daging berjalan masuk.”
Miftah tersenyum lebar setelah mendapatkan akses masuk ke kelas. Ia melangkah ringan masuk ke dalam, meski diiringi sumpah serapah, caci maki dan tatapan iri dengki. Miftah tidak peduli.
“Miftah...,” panggil Sinty. Miftah menoleh, Sinty sedikit berlari agar bisa masuk ke kelas bersama Miftah.
Melihat Sinty, gerombolan cowok di ambang pintu langsung merubah wajah mereka yang tadinya seperti sinetron azab menjadi sinetron doraeman. Sok imut.
Rasanya Miftah ingin muntah, melihat pemandangan yang tidak rama lingkungan. Ini tidak baik bagi kesehatan mata Miftah. Miftah buru-buru masuk ke kelas setelah Sinty berada di sebelahnya. Miftah tidak ingin matanya mengalami kerabunan, jika berlama-lama melihat pemandangan yang jauh dari kata worth it.
Help please! Ia butuh hand sanitizer untuk membunuh kuman pada matanya.
Sinty yang tidak enak hati, membalas senyum mereka dengan terpaksa saat melewati segerombolan cowok yang masih setia nangkring di sisi pintu.
“Mereka ganggu kamu lagi? “tanya Sinty, sudah paham betul dengan gelagat mereka dan wajah dongkol Miftah.
“Ya, biasa orang cantik emang suka direbutin.”
“Kamu nyindir aku? “ bibir mungil Sinty, mengerucut. “Maaf.”
Miftah mengangkat sebelah alisnya. “Idih geer. Yang aku maksud itu diri aku sendiri. Aku cantik, no debat.”
“Pulang sekolah mau ke mana? “tanya Sinty, mengalihkan topik. Ia tidak ingin membahas apapun mengenai fisik. Bagi Sinty semua orang memiliki kecantikannya sendiri. Entah itu diakui oleh semua orang atau hanya orang tertentu.
“Mau olahraga panah,” sahut Miftah.
“Loh, katanya kamu mau program penggemukan badan. Tadi pagi, kamu bilang berat badan kamu hilang sepuluh ons, terus kenapa malah olahraga bukannya makan?”
“Ada dua alasan. Alasan pertama, setahu aku, orang yang habis olahraga itu capek. Capek bisa meningkatkan nafsu makan. Aku jadi semangat buat makan.
“Alasan kedua, kata abi olahraga panah hukumnya sunnah, sunnah artinya dikerjakan mendapatkan pahala. So, lumayanlah buat nambah-nambah pahala biar bisa masuk surga firdaus.”
“Ini namanya trik jitu, sekali dayung dua pulau terlampaui.”
Sinty menganggut-manggut, setuju.
“Mau ikut gak? “tanya Miftah.
“Hem, nanti aku kabarin deh.”
“Okheg. “ Miftah mengangkat dua jempolnya.
Tiba-tiba ada notif masuk di ponsel Sinty, Sinty menyapu layar ponselnya. Awalnya dia melihat layar ponselnya dengan alis yang hampir meet and great. Dua menit kemudian, alis menjadi terangkat dan senyum lebar terpapang di wajahnya. Mengadakan Show dan jumpa temu dengan pipi chabi, si gadis berjilbab itu.
“Dapat notif dari kang paket? Bahagia banget.”
Tidak ada sahutan. Sinty masih sibuk menatap layar ponselnya dengan senyum yang mulai over side.
Miftah menggeleng, iba. “Kasihan mana masih muda lagi.”
Miftah berdecak pelan lalu bergumam memberikan doa terbaik untuk sahabatnya itu.
“Aamiin.” Miftah mengusap wajahnya dengan telapak tangannya. “Apapun yang terjadi semoga kamu ikhlas menerimanya, Sinty....”
Miftah menyentuh pundak Sinty. Sentuhan Miftah menyadarkan Sinty, ada makhluk lain di setelahnya. Miftah.
“Miftah, aku senang banget hari ini.” Sinty bersorak riang, responnya.
Lima menit tidak ada sahutan dari Miftah. Sinty menatap Miftah heran. “Kok kamu gak nanya sih, kenapa aku bahagia?”
“Oh iya, lupa dialog. Aku harusnya bilang, emang ada apa? “
“Aku bahagia, karena...”
Miftah memikirkan banyak snack yang ada di rumah Sinty. Sinty bahagia mungkin karena bundanya selalu mengirim paket makanan setiap dua pekan sekali ke kosan Sinty.
“Abdan mengkonfirmasi pertemanan aku di instagram.”
Ekspentasi Miftah seketika terbang bersama angin. Di mana letak bahagianya? Itu malah terdengar seperti musibah.
“Itu artinya kamu harus banyak-banyak baca doa. Jangan lupa dzikir pagi-petang biar terlindungi dari gangguan jin dan sejenisnya.”
“Eh, dia juga menyukai postingan aku,” heboh Sinty lagi, mengabaikan perkataan ngawur Miftah.
Untuk pertama kalinya gadis yang terkenal kalem, anggun, penuh kelembutan bertingkah sebar-bar ini. Sepertinya penyakit Miftah menular pada Sinty. Penyakit bar-bar. Fix, faktor lingkungan memang berpengaruh penting dalam kepribadian seseorang. Valid.
“Kok kamu bahagia banget sih, jangan bilang kalo kamu suka sama Abdan...” praduga Miftah. Ia berharap Sinty menggelengkan kepalanya, tapi wajah Sinty malah merona. Ia mengangkat kepalanya dan..
Menganggukkan.
“Innalillahi wainnailaihi rojiun, turut berdukacita.” Respon pertama Miftah yang kali ini tidak bisa di kategorikan tindakan lebai. Ini memang bencana.
“Aku suka sama dia, Mif.”
“Jadi orang yang kamu maksud senin kemarin itu, manusia bernama Abdan. Manusia yang hidup mengandalkan good looking, minus akhlak?”
Sinty mengangguk.
Miftah menghela nafas keras. Sinty menyukai Abdan. Siapa yang tidak kenal Abdan. Reputasi Abdan sudah mengagum di mana-mana. Mustahil jika ada manusia yang hidup di sekolah dan tidak mengenali nama legenda itu. Seantero sekolah mengenal siapa Abdan.
Abdan Katsra, playboy cap kaki bayi. Bukan hanya itu prestasinya, Abdan tidak pernah gagal dalam menaklukkan hati cewek, ia selalu berhasil membuat cewek-cewek menyukainya hanya satu kali kedipan mata. Wajahnya yang tampan, rupawan bak pangeran berkuda adalah faktor pendukung paling utama.
Abdan memiliki dua sahabat yang tidak kalah rupawan, mereka bernama David dan Vidi. Mereka melebeli diri mereka sebagai cowok tertampan di sekolah. Selain itu orang-orang mengenal mereka dengan sebutan si tampan bermulut nano-nano.
Di duga geng itu memiliki agenda rahasia yang hanya bisa diketahui mereka bertiga dan tentunya Allah semata. Rahasia itu tersimpan di dalam room yang mereka sebuat ‘tongkrongan’. Mereka sering ke sana saat sepulang sekolah, tempatnya tidak terlalu jauh dari sekolah. Hanya, hem, sejengkal dari pagar sekolah.
Abdan adalah ketua geng cowok tampan. Ia menempati urutan pertama dalam ketampanan, lalu David yang kedua dan Vidi terakhir.
Wajah Abdan perpaduan antara Eropa, Asia, dan timur tengah. Tatapan matanya bisa terlihat sangat tajam dan bisa juga terlihat begitu lembut. Senyumnya melebih manis madu, matanya berwarna biru hazel sangat matching dengan kulit putih pucatnya, ia beralis tebal dan memiliki hidung mancung yang pas, tidak berlebihan.
David berwajah Eropa yang bercampur apik dengan wajah sunda. Hidungnya macung bak prosotan TK, matanya berwarna cokelat muda serta rahang yang tegas dengan kulit putih s**u.
Vidi satu-satunya yang berwajah asli Indonesia. Perpaduan antara darah betawi dan Aceh. Tatapan matanya terang. Jika ia tersenyum, maka akan mendapat bonus lesung pipi di kedua pipinya. Vidi satu-satunya yang berkulit sawo matang. Sedikit terlihat kontras tapi ia tetap tampan dengan pesona manis.
Ketampanan ketiganya memang, no kaleng-kaleng, jika saja akhlak mereka tidak nyusup di angka -100. Mereka tampan tapi tidak menawan bagi Miftah. Bagi Miftah, mereka hanya seonggah manusia yang terlalu bangga atas apa yang Allah titipkan pada mereka.
“Mif, aku gak bisa cinta dalam diam. Aku mau ungkapin perasaan aku sama Abdan. Menurut kamu gimana ?”
Double bencana.
“Jangan, Ty. “ Miftah menggeleng-geleng dramatis. “Buat apa kamu ungkapin perasaan kamu sama manusia itu? Kamu ngarep dia juga punya rasa yang sama?”
Dengan wajah tersipu, Sinty mengangguk. “Meskipun nanti ternyata hasilnya, dia gak suka aku, gak masalah kok. Yang penting aku udah lega.”
“Terus, kalo ternyata benar dia punya rasa yang sama, kalian bakal pacaran gitu?”
“Hem, iya.”
“Idih, dosa tahu Ty.”
“Tapikan aku pacaran sehat.”
“Eh, dikira sayuran, sehat. Pacaran apa yang sehat? Mau makan ingat doi, mau tidur ingat doi, mau ini itu ingat doi. Kapan ingat Tuhannya? Tunggu malaikat pencabut nyawa bertamu? “
Bibir Sinty mengerucut. “Kata-kata kamu serem banget deh.”
“Mending serem di dunia, ketimbang di akhir. Kamu mau masuk neraka? “
“Tapikan, aku gak ngapa-ngapain. Kita mungkin cuman berbagi kasih, cinta. Bukannya cinta itu fitrah, ya? “
“Iya, fitrah kalo yang punya cinta sadar diri. Emang ada cinta suci yang dibangun dari ikatan yang dibenci. Allah udah jelas-jelas bilang, jangan dekati zina. Eh ini gadis lugu, malah mau mencebur.” Miftah membalik tubuhnya sepenuhnya menghadap Sinty.
“Kamu mikirnya kejauhan, Mif. Mana mungkin Abdan suka sama aku. Abdan gak suka sama cewek jelek kayak aku.”
Miftah menyipitkan matanya, menatap Sinty dengan radius mode nyinyir. Jelek katanya? Sungguh merendah untuk meroket. Apa yang tidak cantik, hidung mancung, kulit putih, mata belok, bulu mata lentik dan bibir merah alami. Apa itu bukan standar gadis cantik menurut semua orang?
“Terserah apa pun itu, Ty. Kalo kata aku, jauh-jauh dari pintu zina. Gak usah dekat-dekat meski cuman mau ngintip doang.”
“Hem, sebenarnya aku juga gak akan berani ngomong soal ini sama Abdan.” Sinty menunduk sedih.
***