“Dan, Lo serius ?” bisik Vidi, masih tidak habis pikir.
“Entah. Gue juga bingung, kenapa dia muncul lagi.” Abdan mengangkat bahunya pelan, berusaha tidak memikirkan hal ini, meski mustahil terjadi. Isi kepalanya sejak semalam hanya tentang siapa cewek yang menjadi ketua perkumpulan itu.
“Terus apa rencana Lo? “ tanya Vidi lagi.
“Gue mau liat siapa dia. Gue bakal jebak dia dan maksa dia buat bubarin perkumpulan gak jelas mereka.”
“Tapi gue gak yakin dia bakal datang.” David melihat ke arah bu guru terlebih dahulu, memastikan aman, sebelum menoleh kecil ke belakang.
“Tapi kali ini gue yakin dia datang.”
“Terus? Lo mau kita temenin atau gak?”
“Kalian liat aja dari jauh. Gue gak mau tuh cewek gak jadi datang karena liat kalian berdua.”
“Tuh cewek gak bahaya, kan? Gue takut dia ...”
“Kayaknya gak sih.”
“Tapi orang normal apa bisa-bisa kepikiran buat mantau seluruh aktivitas Lo? Dia gak normal. Lo harus hati-hati.”
“Dav, Lo jangan gitu dong. Buat gue jadi takut aja.”
“Gue cuma mengingatkan biar Lo gak lengah. Gue takut karena terlalu obsesi dia bisa berbuat diluar dugaan Lo.”
“Yang David omongin benar juga. Kita gak bisa menutup kemungkinan kalo tiba-tiba dia ngelakuin hal buruk. Secara diakan obsesi banget sama Lo. Selama ini dia selalu sembunyi terus kenapa cuma karena tantangan Lo dia mau gegabah nunjukin dirinya ke Lo.”
“s**l Lo berdua! Kenapa Lo pada malah buat gue jadi takut sih! Ck! “ Abdan melirik jam ditanyanya, sebentar lagi jam istirahat.
“Gue harus tahu siapa orang itu,” putus Abdan akhirnya.
‘Gue tunggu Lo di kantin, sesuai janji Lo.’ Ketik Abdan sebelum pergi ke kantin.
Di kantin, Abdan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin, mencari gadis yang mungkin terlihat berbeda. Abdan memperhatikan dengan teliti, cewek yang bergerak mencurigakan, tapi lima menit di sana, Abdan tidak mendapati apa-apa. Cowok itu mengecek ponselnya, tidak ada pesan yang cewek itu berikan.
“s**l! Dia bohong sama gue! “ gumam Abdan kesal, dia baru hendak beranjak saat tiba-tiba pesan masuk, gambar dirinya yang sedang duduk dengan wajah kesal.
‘Terima kasih sudah menunggu saya. Saya ada di dekat kamu.’
‘Buruan tunjukin diri Lo! ‘balas Abdan mulai merasa seperti sedang dipermainkan.
‘Sabar, di sini sangat ramai saya harus berjalan pelan-pelan dan menikmati keberadaan kamu dari jauh.’ Abdan melempar cepat pandangannya ke arah di mana banyak orang, Abdan memperhatikan dengan seksama, cewek yang berjalan ke arahnya, sialnya ternyata ada banyak, yang membuat Abdan tidak tahu mana orang yang dia cari.
‘Sepuluh langkah lagi.’
‘Satu.. ‘
‘Dua... ‘
‘Tiga.. ‘
‘Empat.. ‘
‘Lima ...’
“Dan, Lo di panggil Bu... Ke ruang Bk.” Tiba-tiba Vidi menepuk pelan pundak Abdan, membuat cowok beralis tebal itu teralihkan fokusnya dari layar ponsel dan depan.
“Gue dapat info, si buriik ngelaporin Lo ke BK,” tambah Vidi menjelaskan.
“Ha?” Mata Abdan mengerjap,
‘Sepuluh.’
Sudah hitung sepuluh. Itu artinya, cewek itu sudah ... lewat?
Abdan refleks kembali mengedarkan pandangannya, mengabaikan Vidi yang hendak memaksanya kembali ke kelas.
‘Senang bisa bertemu kamu. Saya harap kamu suka dengan hadiah yang saya berikan.’ Dan saat matanya tidak menemukan sosok gadis itu, mata Abdan malah mendapati ada kado di depan mejanya.
Bagaimana bisa semua ini terjadi dengan sangat cepat? Dia bahkan tidak menyadarinya sedikit pun ...
.
.
‘Lo nyari name tag milik Lo, kan? ‘
‘Gue tahu siapa yang ngambilnya.’
‘Temui gue di taman sekolah. Lo bakal dapat buktinya.’
“Apalagi sih ini?” Miftah menghela nafas panjang.
“Mereka mau jebak gue apa lagi sih Gue Cuma gak sengaja liat mereka nangis, kenapa kayak dendam banget sih sama gue,” gumam Miftah mengabaikan pesan yang kembali masuk ke ponselnya. Miftah hendak menyimpan ponselnya di dalam ponsel agar tidak lagi mengganggunya, tapi kembali ponselnya bergetar, nomor itu mengiri sebuah foto. Miftah jadi tergugah penasaran foto apa yang dia kirim.
“Abdan pelakunya.”
“Ini buktinya.”
Miftah memicingkan matanya, foto Abdan dengan memegang name tag miliknya.
“s**l Lo ya!! “
“Astagfirullah! “ Miftah tersentak kaget, spontan gadis bertubuh besar itu bangkit dari bangkunya. “Lo apa-apaan sih!? Kemarin Flo! “
“Lo pikir meja gue nih meja geprak apa, ya?” Miftah memicingkan matanya, Abdan nampak terlihat sangat marah, tangannya yang putih terlihat memerah karena menggerbak meja dengan sangat keras, tapi cowok bermata biru hazel itu sama sekali tidak memperdulikan rasa sakit yang mungkin menjalar di tangannya sekarang.
“Kasihan nih meja ...” gumam Miftah refleks mengelus permukaan meja.
“Kenapa Lo selalu aja buat gue kesal ?! Sehari aja Lo gak ganggu hidup gue emang gak bisa?! “
Miftah mengangkat kepalanya, antara tidak terima dengan statement Abdan barusan dan bingung apa yang kali ini Abdan klam sebagai menganggunya? Padahal sendari tadi Miftah bahkan tidak bergerak dari bangkunya.
“Gara-gara Lo rencana gue gagal !”
“Gue hampir aja nangkep orang itu, tapi gagal karena Lo ngelaporin gue ke BK ! Sebenarnya apa yang Lo mau! Kurang hukuman dari gue ha? “
“Tunggu dulu! “
“Lo bilang apa tadi? “
“Gue ngelaporin Lo?! “
“Gak usah sok b**o Lo! Gue tahu Lo mau ngelaporin gue, kan?! Lo bilang gue maling name tag punya Lo! “
“Ha?!”
“Tunggu dulu! “
“Jadi benar Lo yang ngambil name tag gue?! “
“Foto yang dikirim nomor ini, beneran foto Lo? Bukan editan?! “ Sekarang giliran Miftah yang naik pitam. Gara-gara Abdan, dia tidak bisa menikmati fasilitas kantin ! Makanan enak yang seharusnya bisa Miftah nikmati sepuasnya jadi hanya khayalan. Miftah harus banyak berpuasa gara-gara ulah nyebelin Abdan.
“Balikin name tag gue! “ pekik Miftah kesal.
“Gak! Gue gak akan balikin nomor name tag Lo! Ini hukuman buat Lo karena udah gagalin rencana gue! “
“Lo bilang apa?!”
“Balikin name tag gue sekarang! “
“Atau gue bakal ...”
“Bakal apa?! “
“Laporin Lo ke BK! “
Abdan tersenyum sinis. “Lo gak ada buktinya.”
“Gue ada ...” Miftah langsung membuka ponselnya, mencari foto yang tadi dikirim. Namun rupanya tidak ada, foto itu hanya foto sekali kirim yang akan hilang setelah dilihat.
“Lo gak akan bisa ngelaporin gue! Camkan itu! “ Abdan berbalik.
“Baliki name tag gue! “ teriak Miftah, refleks menarik baju belakang seragam Abdan, bermaksud menghentikan cowok bermata biru hazel itu. Namun diluar dugaan, tenaga yang Miftah letakkan terlaku besar.
Srek ...
Miftah tertegun, ditanyanya ada potongan seragam Abdan. Baju Abdan robek.
“Lo?! “ Abdan kembali berbalik.
“Eh, gue gak sengaja,” gumam Miftah, masih tidak percaya tangannya memegang potongan seragam Abdan yang terobek akibat tenaganya. Perasaan gue belum makan, kok tenaga udah banyak aja....
Abdan mendelik. “Lo sengaja! “
“Lo emang udah niat mau balas dendam sama gue, kan, gara-gara kejadian kemarin?!”
“Enak aja mulut Lo! Gue beneran gak sengaja. Lagian ini semua yang mulai Lo. Lo yang ngambil name tag gue! Balikin name tag gue! “ sahut Miftah, yang tidak ingin sepenuhnya dipersalahkan. “Coba Lo gak kabur, mustahil gue narik seragam Lo! “
“Bacot Lo!”
“Lo yang nyebelin! Setiap ketemu Lo, lemak tubuh gue rasanya mendidih terus!” Miftah mendengus melampiaskan rasa kesalnya .
“Mustahil Lo gak sengaja. Emang Lo pikir tangan besar Lo tuh bisa gerak sendiri?! Siapa yang gerakan tangan Lo, kalo bukan Lo?!” teriak Abdan.
Lagi-lagi keributan keduanya menjadi tontonan anak kelas. Miftah mulai terbiasa dengan ini. Gadis bertubuh gendut itu tidak lagi ambil pusing akan tatapan sinis dan tidak berpihak murid kelas.
“Ya .. tadikan, gue refleks aja,” gumam Miftah, sejujurnya merasa menyesal. Dia tidak bermaksud demikian.
“Gue gak mau tahu! Lo harus ganti baju gue. Sekarang!!!” putus Abdan.
“Mana ada uang gue sekarang. Lagian mana ada juga tukang jahit di sini. Gue ganti besok aja.”
“Gue mau seragam baru! “ sela Abdan.
Miftah menghela nafas berat . “Oke fine. Besok gue beliin.”
“Gue mau sekarang! “
“Sekarang? Lo gila ya?!” Miftah mulai ikut naik pitam. Pertengkaran ini makin membuat perut Miftah keroncongan. Kesal rasanya harus terus berhadapan dengan sosok nyebelin macam Abdan. Tidak bisakah dia berhenti membuat Miftah makin lapar?
“Lo yang gila! Buriik!”
“Lo! Dasar cowok playboy cap kaki bayi! “
“Apa Lo kata? “ tangan Abdan dengan cepat terangkat ke depan wajah Miftah, membuat semua murid serempak menahan nafas, ada yang mendukung Abdan, ada yang mencoba menahan Abdan.
Miftah mengerjap, tangan cowok berhenti tepat sepuluh inci dari wajahnya. Abdan mengepal keras tangannya sebelum membuangnya ke udara dengan kasar. Bagaimana pun Abdan tidak bisa mengubah prinsip untuk tidak main fisik pada perempuan.
Dalam keheningan itu, sosok yang paling ditakuti murid, muncul di ambang pintu, sembari memperbaiki posisi kacamata yang awalnya bertengger di ujung hidung, menjadi melingkar pas di mata cokelat tua yang mulai mengedar ke seluruh penjuru kelas. Mengintimidasi siapa saja yang tanpa sengaja berpapasan. Ekspresi terkejut dan takut dapat terasa dengan jelas dari raut para murid yang tanpa aba-aba menunduk dan langsung berhamburan kembali ke bangku masing-masing, sebelum pandangan wanita berusia lima puluh tahun itu terfokus pada dua pemeran utama dalam keributan yang terjadi.
“Kalian berdua ikut ibu, SEKARANG! “ titah bu Ingit, yang sangat mustahil untuk dibantah meski oleh seorang Abdan sekali pun. Bu Ingit merupakan guru BK senior yang tidak akan pandang bulu dalam menghukum bahkan mengeluarkan murid jika sudah masuk dalam buku hitam miliknya
“Gara-gara Lo gue jadi harus berurusan lagi sama bu Ingit. Emang nyebelin Lo jadi manusia! “geram Abdan.
.
.