Tekad Sebulat Telur

1164 Words
“Aku minta maaf Ya, Mif. Aku gak tahu kalo Abdan minta nomor kamu buat jahilin kamu. Makanya aku kasih aja.” Sinty menunduk dalam. Dari sorot mata almondnya terpancar jelas perasaan bersalah pada Miftah, padahal semua ini bukanlah kesalahannya. Sinty memang hanya orang naif yang berpikir bahwa semua orang sebaik dirinya. “Iya, gak papa kok. Santai aja,” sahut Miftah menenangkan Sinty. “Tadinya aku cuman heran aja, kok bisa tiba-tiba mereka punya nomor aku dan langsung di invate ke grup kelas. Aku pikir, ya, mungkin, mereka udah terima aku. Tapi ya, gitu, ternyata buat ngerjain aku.” “Kenapa sih mereka jahat banget sama kamu? Padahal kamu gak buat salah apa-apa,” gumam Sinty. “Bisalah. Aku kan cantik, iri mungkin mereka,” sahut Miftah sembari melahap burger pemberian Sinty. Sinty spontan tertawa, tapi bukan menertawakan pernyataan Miftah barusan yang secara tampak mata memang berbanding terbalik dengan kenyataan, melainkan salut karena sahabatnya itu sama sekali tidak mengambil pusing untuk apa yang terjadi. Dia tetap menjadi Miftah yang seperti biasa, ceria dan penuh percaya diri. “Kamu tadi gak sarapan ya karena kesiangan?” tanya Sinty, yang merasa sahabatnya itu masih nampak lapar setelah menghabiskan dua potong burger dan satu botol air mineral. “Sarapan sih, mana boleh aku berangkat sekolah sebelum sarapan bisa ngomel tuh bang Faud, kayak mak-mak komplek. Tapi ya, gitu, bang Faud kasih makanan ala anak kambing. Penuh serat aja. Gak ada lemaknya.” “Kamu ada-ada aja.” Sinty kembali terkekeh. Miftah ikut tertular suara tawa gadis itu. “Eh, cewek burrikk! Lo apain my prince gue Ha?! “ suara melengking cewek dari luar kelas seketika menghentikan tawa renyah kedua cewek itu. Miftah mengangkat malas kepalanya. Makhluk aneh lagi! batin Miftah. Sebenarnya tanpa melihat pun, sebenarnya Miftah sudah tahu siapa yang tengah melabraknya sekarang. Siapa lagi kalo bukan Flo. Gadis yang selalu membuat sensasi bukan prestasi di sekolah dan selalu selamat karena peran orang tuanya sebagai donatur tetap di sekolah. “Jawab gue! “ Flo menggebrak meja dengan sangat keras. Miftah sama sekali tidak kaget, dan sepertinya mulai terbiasa dengan kehidupan barunya ini. Orang-orang seperti Abdan dan Flo hanya pandai menggertak dan menindas orang lemah! Sinis Miftah dalam benak. “Lo tuh seharusnya ngaca dong! Udah jelek, Sok-sokan buat masalah.” “Lo gak tahu, siapa yang Lo hadapin sekarang?! “ “Tahu,” sahut Miftah tenang. “Anak manja yang hanya bisa memanfaatkan kedudukan orang tuanya, iya kan? “ “Eh, tutup mulut s****n Lo itu! “ pekik Flores yang berada tepat di belakang Flo. “Opps, maaf. Terkadang kenyataan memang pahit ya. Jadi santai aja gak perlu melotot gitu sih. Lo gak takut, wajah ‘cantik’ Lo mendadak jadi wajah nenek sihir?” Flores refleks meraba wajahnya. Flores si gadis yang begitu mendambakan fisik sangat takut mendengar kalimat semacam itu. “Eh, cewek burriik—“ “Nama gue Miftah, btw. Lo pasti udah tahu nama gue, kan? Secara Lo kan yang buat gue di mutasi ke sini ?” Flo nampak kaget mendengar perkataan Miftah barusan. Wajah cantik Flo mendadak sedikit berubah. Namun gadis itu tetap berusaha menampilkan wajah mengintimidasinya. “Abdan yang nyuruh Lo buat ngelakuin itu, kan? Lo berdua emang sengaja buat nindas gue, kan?” Flo memicingkan matanya. “Kalo iya kenapa? Lo gak bisa apa-apa, gadis buriik! “ “Kata siapa gue gak bisa apa-apa? Emang Lo gak liat badan gue sebesar ini? Sekali gue pegang tangan Lo aja, tuh tangan mungkin bisa krek ... gak berguna lagi. Lo mau? “ “Lo ... Lo gak akan mungkin bisa ngelakuin itu! “ “Gak percaya? “ Miftah menjulurkan tangannya. “Eh, eh, jauhi tangan berlemak Lo dari tangan gue.” Flo tiba-tiba panik sendiri, perkataan Miftah barusan memang tidak bisa dipercaya seratus persen benar, tapi Flo tidak ingin ambil resiko membiarkan tangan indahnya patah di tangan kuat Miftah. Flo segera menarik langkahnya ke belakang menjauh dari jangkauan tangan Miftah yang mengarah padanya. Bahkan Flores yang sejak tadi setia di belakang Flo, sudah melarikan diri duluan. “D—dasar cewek buriik! “ pekik Flo sebelum ikut berlari keluar dari kelas mengejar Flores. “Dasar cewek gak jelas.” Miftah terkekeh pelan mengiringi kepergian dua gadis yang di sumbangkan sebagai ‘gadis cantik’ di sekolah oleh beberapa murid yang begitu memuja kecantikan fisik. Kemudian setelahnya Miftah menoleh kembali pada Sinty yang malah bengong memperhatikan dirinya. “Ty, gak kesambet jin kelas ini, kan? Gak lucu kalo cerita ini berubah jadi cerita horor.” Miftah menyentuh pelan pundak Sinty, dan berhasil membawa sahabatnya itu kembali sadar dari lamunan panjangnya. “Andai semua manusia punya kepercayaan diri dan keberanian kayak kamu, gak akan ada orang yang bisa ditindas,” gumam Sinty setelahnya. “Setiap orang pasti punya sifat ini, Ty. Tinggal gimana kita ngelolahnya aja. Jangan sampai rasa takut yang lebih besar kita kelola ketimbang kekuatan semacam ini. Kita gak boleh lemah ngadepin orang-orang yang berusaha buat nginjak kita.” Miftah tersenyum lebar. Tanpa Sinty tahu untuk bisa sampai di titik ini sebenarnya bukan hal yang mudah bagi Miftah. Gadis itu juga jatuh-bangun memupuk semua keberanian dan rasa percaya diri yang Sinty liat sekarang. Dan seorang yang sudah sering menghadapi masalah, tentu tahu cara tenang saat masalah datang berkunjung. . . “Lo beneran mau bolos lagi ?” tanya Vidi, memastikan. Jika ketahuan kali ini, sudah bisa dipastikan nama mereka akan kembali tercatat di buku hitam milik bu Imel. Abdan menoleh malas, sudah barang tentu jawaban cowok beralis tebal itu ‘ya’. Kekalahan dan kemenangan tadi pagi masih menjanggal di benak Abdan. Abdan tidak terima kekalahan ini. “Padahal habis ini ada pelajaran olahraga, materi basket,” gumam Vidi lagi. “Oh iya, gue lupa!” Abdan spontan bangkit dari sofa. “Kalo gitu, kita balik lagi ke sekolah.” “Sekarang?” David mengangkat kepalanya. Cowok berwajah dingin itu kepalang nyaman dan malas kembali ke kelas. “Iya. Ayo, buruan,” ajak Abdan dengan wajah cerah, sangat berbanding terbalik dengan ekspresi cowok bernetra biru hazel dua menit yang lalu. “Oke.” Vidi langsung bangkit mengikuti Abdan. “Dan, Lo gak mau kembali ke kelas? “ “Sebenarnya gak mau. Tapi ... gak enak di sini sendirian,” sahut David jujur. “Ayo, kita balik ke kelas.” David beranjak dengan malas. “Kenapa Lo mendadak jadi semangat gini? Gue yakin bukan karena ini pelajaran yang Lo suka, tapi karena yang lain,” tanya Vidi. Akhir-akhir ini karena gadis gemuk itu, Abdan selalu penuh dengan teka-teki. “Yap! Lo berbakat buat baca pikiran.” “Gue semangat karena gue mau buat gadis itu mati kutu! “ “Caranya? “ “Abdan pengen liat kepercayaan gadis itu hancur,” sahut David yang kembali pandai menganalisis keadaan. “Kemungkinan dengan tubuh tambunnya itu, gadis itu seperti bola bulat yang gak tidak berguna.” “Kalian berdua kayaknya layak dapat reward. Tanpa gue ngomong, kalian udah langsung tahu.” Abdan tersenyum samar. “Buruan guys, jangan sampai tontonan berharga kita hilang.” . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD