Menang dan kalah

1603 Words
Miftah melirik sekitar sembari terus berjalan. Langkah Miftah yang semula cepat perlahan menjadi pelan. Kenapa semua orang tampak biasa saja? Mereka tetap memakai tas seperti biasa, berbeda dengan Miftah yang kini tampak seperti orang bodoh dengan ‘tas’ dadakannya. Bukannya ini hari tanpa tas? batin Miftah mengabaikan tatapan heran semua orang padanya. Miftah sama sekali tidak peduli dengan tatapan mereka, toh, yang terpenting apa pun yang Miftah lakukan sekarang, tidak merugikan atau mencelakai siapa pun. Jadi Miftah tidak akan ambil pusing soal hal semacam ini. “Dia kenapa sih? “ “Eh, dia orang yang dipindahi ke kelas rupawan kan? “ “Kenapa dia pake tas gituan? “ “Dia gak stres kan karena di mutasi ke kelas itu? Secara diakan pasti ‘berbeda' banget dari yang lain.” “Iya, mungkin dia tertekan.” Stres, tertekan, katanya? Miftah refleks menyoroti dirinya sendiri. Ember berwarna merah yang ditambahkan tali tambang tersampir di bahu kanan gadis bermata kecil itu. Apanya yang stres? Semudah itukah, mendiagnosis penyakit jiwa dari penampilan? “Miftah ..” panggil Sinty dari arah belakang. Gadis bermata almond itu, lantas berlari kecil begitu Miftah berhenti menunggunya. “Eh, tumben kamu baru datang jam segini ...”sapa Miftah. “Iya nih, tadi aku kesiangan.” Terlihat jelas raut wajah cemas Sinty yang perlahan mulai sirna seiring langkahnya menuju kelas. “Oh pantesan .... “ Miftah mengangguk samar. “Eh, tapi, biasanya kamu juga gak pernah datang jam segini? “ tanya Sinty yang tahu jelas bahwa Miftah bukanlah golongan siswi yang malas, itulah sebabnya meski punya otak yang pas-pasan, Miftah mampu bertahan selama dua tahun Miftah di kelas yang notabennya berotak cemerlang dan nilai gadis berpipi bulat itu tidak pernah sampai ke peringkat paling bawah. “Iya, tadi aku juga kesiangan. Kemarin maag aku kambuh, susah tidur pas malam. Jadinya baru tidur pas selesai salat subuh karena ngantuk banget.” “Kok bisa maag kamu kambuh?” “Ya, gitulah ....” “Eh, btw ... “ Sinty refleks menoleh ke samping dan mendapati dua orang siswa yang tertangkap basah melihat ke arah Miftah. Sinty baru sadar akan tas dadakan milik Miftah. “Mif, kamu kenapa ... ?” “Tas ini? Ceritanya panjang deh. Entar pas istirahat aja aku cerita. Kamu jadikan setiap Istirahat anter makanan ke gue, eh, aku? “ ralat Miftah. Sebenarnya gadis berwajah oval ini tidak terbiasa menggunakan kosa kata aku-kamu, Miftah menggunakannya hanya dengan Sinty, gadis berparas ayu dan tutur lembut itu tidak terbiasa dengan kata gue-Lo, meski Sinty lahir dan besar di kota metropolitan. Kedua orang tua Sinty yang merupakan orang Bandung asli, membiaskan anak semata wayangnya ini menggunakan kata yang lembut dan konotasi yang santun. Dan kata gue-lu terdengar ‘kasar' bagi mereka yang tidak terbiasa. “Iya, Insyallah jadi sih.” Sinty tersenyum tulus. “Oke kalo gitu. Gue mau buru-buru ke kelas sekarang,” pamit Miftah. Miftah sebenarnya sangat ingin sampai ke kelas untuk memastikan apa yang terjadi. Apa benar ‘hari tanpa tas sedunia’ itu tidak ada. Jika memang tidak ada lantas mengapa mereka begitu kompak membahas mengenai hari itu? Pasti ada dalang di balik semua ini. Gadis berpipi bulat itu, segera mempercepat langkahnya untuk segera sampai ke kelas. Langkah Miftah terhenti begitu sampai di depan pintu kelas yang di tutup. Maniak mata gadis itu melirik sekitar pintu, memastikan bahwa semua aman, tidak ada air, tepung atau apa pun—trik murahan dalam membully orang lain yang biasanya tampil di novel atau fi yang pernah Miftah baca dan tonton. Tidak ada apa pun di sana. Semua nampak aman. Miftah mengulurkan tangannya untuk mendorong pintu bercat putih itu. Miftah tidak tahu apa yang ada di dalam, tapi apa pun itu, Miftah akan berhati-hati. Krek... Pintu terbuka dan tiba-tiba, “Welcome to cewek buriik... “ teriakan itu disertai flash kamera yang sukses menyilaukan mata Miftah. Miftah macam hewan langkah yang baru saja dipamerkan dan harus segera di foto agar tidak ada satu detik pun yang terlewat. Miftah jadi tidak bisa melihat dengan jelas, orang-orang yang ada di depannya saat ini dan apa yang sebenarnya terjadi. “Udah buriik, aneh lagi ...” seru mereka kompak dan setelah itu flash kamera mulai reda menyilaukan mata Miftah. Miftah mengerjap sesaat setelah semuanya sirna. Sekarang wajah-wajah rupawan sebelas IPA satu—yang begitu mereka banggakan hingga menyampaikan hati kecil mereka sendiri, terlihat jelas di mata Miftah. Ekspresi mereka kompak, menatap geli Miftah bak objek bodoh dimata mereka. “Sekarang Lo tahu, sama siapa Lo berhadapan,” gumam Abdan lantas mengetik sesuatu di ponselnya. Tidak lama pesan dari Abdan dengan identitas nomor tanpa nama, masuk ke dalam ponsel Miftah. ‘Selamat menjadi orang bodoh, gadis b***k ...’ Mata Miftah spontan menyapu sekeliling kelas dan mendapati Abdan tersenyum miring ke arahnya. Cowok dengan netra biru hazel itu mengarahkan ponselnya di wajahnya, menunjukkan pada Miftah, bahwa dialah orang dibalik nomor itu. Miftah mendengus. Sudah ia duga, dalang di balik semua ini adalah Abdan dan dua sahabatnya itu. Tak akan Miftah biarkan rencana buruk cowok itu berhasil! Titik. Miftah langsung menerobos orang-orang yang masih setia menertawakanya. Dengan tampang masa bodo, Miftah duduk santai di bangkunya. Miftah terlihat sama sekali tidak malu atau kesal dengan semua yang terjadi, gadis bertubuh gempal itu malah tersenyum lebar sembari mengeluarkan buku miliknya dari ember merah, bersiap menyambut pelajaran yang sebentar lagi akan di mulai. Miftah bahkan dengan bangga meletakan tas embernya di atas meja. . Keacuhan Miftah rupanya membuat Abdan yang duduk di belakang kebakaran jenggot. Cowok beralis tebal itu, memicingkan matanya, merasa menang dan gagal secara bersamaan. Senyum lebar yang terpantri di wajahnya mendadak kecut dan masam. “Sudah gue bilang sejak awal, gadis itu, tidak selemah cewek biasanya,” bisik David pelan. Tiba-tiba Miftah menoleh ke belakang, masih dengan senyum lebar yang terpantri di wajah bulatnya. “Eh, Abdan. Ternyata nomor itu nomor Lo ya? Boleh gue save nomor Lo? Buat jaga-jaga, barang kali gue butuh ide ‘unik' Lo lagi. Soalnya di komplek rumah gue ada ibu-ibu PKK yang butuh ide-ide cemerlang macam ini.” Tangan Abdan refleks menggempal keras melihat senyum Miftah yang terkesan mengejeknya. “BTW, Makasih banget Loh ya, idenya. Kebetulan banget gue bosan pake tas kaya biasanya.” Abdan tersenyum sinis. “Tas ember itu emang cocok banget buat Lo. Sama-sama jelek.” “Tapi berguna,” sahut Miftah cepat. “Maksud gue gini, ember itu fungsinya banyak banget, bisa buat cuci baju, buat ngambil air bahkan bisa buat pukul kepala orang. Kalo Lo gunanya buat apa? Gak ada gunanya ya?” “ It’s okey. Terkadang memang ada benda yang hanya buat di pajang di etalase toko. Gak ada gunanya, kayak Lo misalnya.” Miftah mengakhiri kalimatnya dengan senyum lebar, kontras dengan kalimatnya yang sarat akan sindiran. Sial! Vidi dan David refleks saling pandang. Keduanya tidak pernah melihat Abdan semarah ini—mereka hanya pernah melihat Abdan seperti ini dalam dua kondisi, saat tanpa sengaja terjebak tawuran atau saat ada yang diam-diam merusak mobil kesayangannya. Namun mereka yakin betul, semarah-marahnya Abdan, cowok berwajah campuran itu tidak akan melakukan k*******n fisik pada cewek. Terbukti saat Abdan malah lebih memilih memukul meja di hadapannya untuk melampiaskan rasa kesalnya ketimbang melayangkan pukulan itu pada wajah gemuk Miftah. “Lo yang mulai peperangan ini! Dan gue gak akan lepasin Lo sebelum semua ini berakhir. Ingat itu! “ ujar Abdan sebelum berlalu pergi dengan tangan yang nampak tidak baik-baik saja, disusul Vidi dan David seperti biasanya. “Lo mau ke mana? Kita seharusnya ke UKS, tangan Lo berdarah gitu,” teriak Vidi yang mencoba menyelaraskan langkahnya dengan langkah lebar Abdan. “Gue gak mood.” Abdan membelok langkahnya ke arah terbalik dari UKS. “Terus Lo mau ke mana ?” tanya Vidi lagi. “Room.” “Emang di sana ada obat?! “ Vidi hendak menyetop langkah Abdan. Namun terhenti karena David mencegah cowok itu melakukannya. “Lo kayak gak tahu Abdan aja. Sekarang yang terluka bukan tangannya, tapi egonya. Jadi percuma kita paksa dia ke UKS. Lebih baik kita ikutin dia aja ke room,” saran David yang langsung disetujui Vidi. Keduanya dengan tenang mengiringi langkah Abdan di belakang. “Abdan ... “ langkah Abdan seketika terhenti. Sial! Di saat seperti ini kenapa Flo harus muncul sekarang?! “Minggir Flo!“ Abdan mengeram, mencoba menahan suaranya agar tidak terdengar begitu keras, mengingat dirinya masih punya hutang pada gadis bermata belok itu. “Flo tolong jangan sekarang ...,” jelas Vidi, berharap gadis itu mengerti kalo sekarang Abdan sedang tidak dalam keadaan yang bisa dengan sabar diganggu oleh Flo. Bukannya mengerti, Flo malah meneguhkan posisinya untuk menghalangi Abdan. Flores—sahabat karib Flo bahkan dengan cepat menahan Vidi yang hendak mengusir Flo. “Gak usah ikut campur Lo, cowok jelek! “ ketus Flores. Vidi mendengus, kenapa dia harus berhadapan dengan cewek macam Flores? “Tangan Lo kenapa? Kenapa berdarah gitu?” Flo heboh sendiri saat tanpa sengaja matanya menyapu tangan Abdan yang mengeluarkan sedikit darah. Gadis itu refleks hendak meraih tangan Abdan yang dengan secepat kilat Abdan tepis. “Kayaknya Abdan habis berantem deh,” bisik Flores, mulai menyadari ekspresi tidak biasa pada wajah tampan cowok itu. “Terus gue harus apa?” tanya Flo. “Mending biarin dia pergi dulu. Sekarang waktunya belum tepat,” bisik Flores lagi. Flo setuju, langsung menggeser sedikit posisinya membuka celah bagi Abdan untuk pergi dari sana dan dengan cepat Abdan menerobos pergi. “Dasar cewek-cewek genit! “ ketus Vidi sembari berlalu bersama David mengiringi langkah Abdan. “Ck! “ Flo berdesis kencang. Dia ingin sekali mengikuti langkah Abdan, tapi mendadak bel sekolah berbunyi nyaring yang spontan menghentikan langkah Flo. “Gue bakal cari tahu, kenapa tangan Abdan bisa kayak gitu!” tekad Flo. . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD