Permainan Basket

2680 Words
“Gue yakin baju olahraga yang dia punya, ditampal dengan dua baju, secara ukuran badan dia kan sebesar tedmon rumah gue, mana ada seragam yang muat.” Cibiran itu terdengar menggema di luar pintu ganti perempuan. Miftah yang sudah berdiri di depan pintu, menghentikan langkahnya. Niat Miftah yang semula ingin segera masuk ke ruang ganti, memilih mengundurkan niatnya sebentar, menunggu sedikit sampai obrolan cewek-cewek itu selesai mengenai dirinya. “Yap! Gue juga yakin, jilbab yang digunakan itu bukan jilbab biasa tapi taplak meja.” “Kok ada ya manusia sebesar dia? Gue ngeri banget kalo dia jalan, miring-miring keberatan tubuh.” “Bukan berat tubuh, tapi kebanyakan lemak! “ “Dia pasti makan sehari lima kali. Udah kayak minum obat. “ Miftah mendengus, kenapa mereka tidak kunjung selesai ? Apa topik tentang dirinya sebegitu menariknya? Mereka sampai tidak bisa berhenti. Dasar! Meski telah mendengar semuanya. Miftah lebih memilih untuk masuk ke dalam ruang ganti pakaian dengan tampang pura-pura tidak tahu. Beberapa gadis yang semula sedang mencibir dirinya juga mendadak senyap, mungkin kaget akan kehadiran Miftah yang tiba-tiba. “Hari ini kita olahraga materi basket, kan? “tanya Miftah berbasa-basi. Namun, seperti yang Miftah duga, beberapa gadis berwajah cantik itu masih memilih hening dan malah saling pandang. Seolah yang sedang mengajak mereka bicara adalah makhluk dari dunia lain. Abaikan mereka! batin Miftah bersuara. Terkadang tidak selamanya niat baik, dibalas baik, Miftah harus ingat itu, yang terpenting dia sudah berusaha. Untuk terakhir kalinya, Miftah mencoba melempar senyum kepada mereka sebelum masuk ke bilik, yang tentunya kembali dibalas oleh mereka dengan mata memicing dan alis terangkat, mereka saling sikut sesaat, sebelum senyum tidak tulus terbit di wajah mereka secara serempak. Miftah tahu itu bukan senyum, melainkan cara mereka mengejek Miftah. Terbukti setelah Miftah masuk ke bilik, samar-samar suara tawa kembali terdengar dari mereka. “Dasar, udah buriik, sok kenal lagi.” “Iya ih, pas dia ngomong gue rasanya pengen ketawa. Pipi berlemaknya itu naik-turun kayak bola.” “Kok ada ya orang sejelek itu? “ “Iya. Dasar cewek buriik ...” “Btw gue gak sabar deh, liat bola main bola. Pasti lucu banget.” “Sama, gue juga gak sabar liat gadis buriik itu malu di lapangan.” “Apalagi, tadi gue liat Abdan dan yang lain balik ke kelas. Abdan pasti senang banget liat tuh gadis buriik dipermalukan oleh dirinya sendiri.” “Iya, biar tahu rasa tuh cewek buriik! “ Miftah mendesah kesal. Gadis itu tidak peduli dengan semua cibiran mereka, Miftah kesal lantaran mereka tidak kunjung pergi dari sana, padahal jika Miftah bisa keluar sepuluh menit lebih awal, Miftah bisa menghabiskan puding dari Sinty terlebih dahulu sebelum pelajaran di mulai. Tapi karena mereka yang tidak selesai juga dengan gibahnya, waktu sepuluh menit Miftah jadi terpotong lima menit. Miftah berkemungkinan tidak bisa makan puding sekarang. “Ck! Dasar tukang Gibah. Gak tahu apa, Gibah itu dosa. Biarin aja entar di akhirat makan daging bangkai berlemak gue!“ gumam Miftah. Tidak lama dari aksi protesnya itu, terdengar langkah ramai gadia-gadis itu keluar dari ruangan ganti. Miftah tersenyum sumringah. Akhirnya mereka keluar juga. Miftah buru-buru keluar setelah dua menit jeda dari kepergian mereka. Karena waktunya sudah sangat mepet, Miftah memutuskan untuk langsung ke lapangan . Semua pandangan menatap ke arah Miftah, lagi, Miftah di soroti bak manusia purba yang langkah keberadaannya. Tapi Miftah sekali lagi tidak peduli. Sangat tidak peduli. Gadis itu asal saja duduk bergabung dengan rombongan gadis yang sebenarnya tidak mau Miftah duduk di dekat mereka. Ini lapangan miliki sekolah, jadi siapa saja berhak duduk di sini, kenapa gue mesti takut sama mereka? Miftah membalas tatapan tidak suka gadis di sebelahnya dengan tatapan menantang. Akhirnya gadis itu memilih mengabaikan Miftah dan membiarkan Miftah duduk dengan tenang di barisan, mendengarkan dengan khidmat pelajaran dasar tentang basket. “Untuk itu kita akan membentuk kelompok. Satu kelompok terdiri dari dua orang, kalian akan bersama-sama melatih lemparan bola basket seperti yang bapak ajarkan tadi. Setelah itu, baru kita ambil nilai perseorangan.” “Pak, apa boleh saya pilih kelompok saya sendiri?” Tiba-tiba ketua g**g cowok tampan—Abdan mengangkat tangannya tinggi, sontak menarik semua sorot mata kearahnya, kecuali Miftah, yang tentunya sangat malas melihat cowok beralis tebal itu. “Biar kalian santai, bapak akan biarkan kalian memilih pasangan sendiri.” Yang disahut antusias oleh semua murid. “Kalo gitu apa boleh saya berpasang dengan Miftah, pak? “ tanya Abdan lagi, kali ini spontan membuat gadis berwajah bulat itu menoleh dengan mata membesar—setidaknya lebih besar dari mata aslinya yang terlihat sipit akibat tergencet pipi. “Ya, tentu saja boleh.” Serempak tatapan iri siswi langsung terarah pada Miftah. “Pak, tapi saya tidak bersedia,” sahut Miftah spontan, gadis itu juga segera bangkit meski dengan susah payah. Kini sorot pandangan semua orang terbagi ke arah Miftah dan Abdan secara bersamaan. Sebagian siswi menatap sinis Miftah, yang bisa-bisanya menolak kesempatan untuk dekat dengan prince Abdan—hal yang sangat mereka impikan. “Memangnya kamu mau sama siapa?” tanya pak guru, seketika membuat Miftah terdiam. Miftah lupa kalo di kelas ini, dia tidak punya teman satu orang pun. “Hem, itu ...” belum mengatakan apa pun, Miftah sudah di tolak mentah-mentah semua orang yang tanpa sengaja berkontak mata dengannya. “Ya sudah, kamu sama Abdan aja,” putus guru berusia paru baya itu, karena Miftah yang tidak kunjung menyahut. “Terima kasih, Pak,” sahut Abdan, bersemangat. Miftah yakin ada yang Abdan rencanakan dibalik senyum lebarnya itu, tapi bukankah, Miftah tidak boleh berburuk sangka dulu, barangkali Abdan memang ingin mengajarinya atau membantunya— meski hal itu terdengar seperti dongeng belaka. Seorang Abdan seperti itu ... tidak mungkin. “Senyum dong, jangan cemberut gitu,” sindir Abdan sembari memainkan bola basket yang ada di tangannya. Miftah mendengus, gadis itu masih berharap ada orang yang tidak memiliki pasangan sehingga dia tidak perlu repot-repot berurusan dengan Abdan. “Nih tangkap bolanya !” Miftah menoleh kaget. Dia belum siap. Bug. Bola tiba-tiba menghantam keras lengan kanan Miftah. “Makanya Lo harus fokus, jangan lirik sana-sini,” sinis Abdan dengan wajah tanpa bersalah sedikit pun. Miftah mendengus kesal, dia memang belum siap dan juga belum ada aba-aba dari pak guru. “Santai aja, itu namanya pemanasan. Bukannya kita butuh pemanasan? Apalagi tangan Lo banyak lemak, jadi butuh banyak pemanasan,” ujar Abdan sambil tersenyum miring dan Miftah memilih mengabaikannya. “Sudah semua, kan?” “Iya, Pak ....” sahut murid itu serempak. Semua berjalan normal pada awalnya, Abdan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia memiliki rencana busuk untuk mengerjai Miftah. Miftah juga mulai berpikir kalo cowok itu tidak memiliki celah untuk mengerjainya, secara pak guru mengawasi mereka dengan seksama, jadi Miftah aman sekarang. Namun semua itu seketika berubah, saat guru berusia paru baya itu tiba-tiba di panggil ke kantor TU. Saat itulah Abdan mulai menunjukkan taringnya. Bug! Abdan sengaja melemparkan bola dengan kencang, agar gadis itu tidak mampu menangkapnya. Bug! Abdan kembali melempar bola dengan sangat kencang dan cepat membuat Miftah lagi-lagi gagal menangkap bola berwarna belang-beling itu. “Lo gimana sih? Masa tangkap bola gitu aja gak bisa?!” cibir Abdan sembari diiringi tawa semua murid yang geli melihat Miftah kerepotan menangkap bola yang Abdan sengajakan melenceng jauh. “Ayo dong tangkap, Lo bisa tangkap bola, kan? “ejek Abdan. “Itu bolanya ditangkap dong!” “Lo bisanya apa sih?” “Bisanya cuma makan doang ya? Nangkap bola gitu aja gak bisa.” “Gimana sih, buruan ambil bolanya! “ “Makanya jadi orang tuh, jangan perut aja yang dibesari, tapi otak juga digedein. Lemparan semudah itu aja gak bisa ditangkap.” “Skill gini doang gak bisa.” “Dasar gak guna.” “Udah b***k, gak guna lagi.” “Gak bisa apa-apa.” Miftah dijadikan bak badut yang lari ke sana-ke sini untuk mengambil bola yang Abdan sengaja lemparan dengan keras agar bisa mempermalukan Miftah. Cowok beralis tebal itu kini tersenyum puas setelah berhasil mengerjai Miftah, sama sekali tidak ada perasaan bersalah sedikit pun sudah membuat gadis berpipi bulat itu hampir memutari lapangan seluas lapangan bola kaki dengan matahari yang seolah berada di atas kepala, terik dan menyengat. Beruntung Miftah bukan gadis lemah yang bisa tumbang seperti gadis di novel-novel picisan. Miftah mengatur nafasnya yang berantakan akibat ulah Abdan. Akhirnya latihan selesai. Pak guru juga sudah datang dan Abdan tidak bisa lagi mengerjainya lagi. “Waktu latihannya sudah selesai. Sekarang buat barisan, kita akan langsung ambil nilai.” “Wah, ambil nilai nih ...” Abdan sengaja mengatakan hal itu saat berpapasan dengan Miftah. “Gue gak sabar banget liat bola main bola.” Abdan melempar senyum mengejek pada Miftah yang hanya memandangnya masak bodoh. “Eh, kalian berdua harus rekam pas bagian Miftah. Kita harus abadikan semua momen memalukan gadis buriik itu.” Abdan tersenyum sinis, benaknya bergemuruh tidak sabar menunggu gadis yang sangat ia benci dipermalukan di depan semua orang. Abdan sangat yakin, kalo kali ini Miftah akan kehilangan senyum percaya dirinya itu. “Pak, boleh saya ambil nilainya paling terakhir? “tanya Miftah dengan nafas masih tersengal-sengal. Sepertinya Miftah akan mempertimbangkan saran abangnya itu untuk menurunkan sedikit berat tubuhnya, agar kerja jantungnya lebih baik. Yap, cuman sedikit, mungkin setengah ons? Miftah tetap mencintai berat badannya sebanyak apa pun itu. Pria paru baya itu nampak iba melihat Miftah yang sepertinya sangat kelelahan dan akhirnya mengangguk setuju, mengindahkan permintaan Miftah. “Terima kasih, Pak ...” Miftah menarik senyum dari wajah penuh pipinya dan setelahnya bergegas kembali ke barisan. Satu persatu nama murid dipanggil, benar dugaan Miftah selain tidak aktif di dalam kelas, murid-murid sebelas IPA satu juga tidak pandai dalam olahraga. Mereka benar-benar sangat ‘perhatian’ dengan fisik mereka, mereka begitu takut wajah cantik dan tampan mereka agar tidak terpapar sinar matahari. Padahal sebelum olahraga Miftah melihat mereka semua—siswi-siswa bersama-sama memakai sunblock, tapi tetap saja mereka nampak tidak maksimal dalam mengambil nilai karena takut pada sinar matahari. LDari semua nama yang dipanggil, tidak ada satu pun yang mendapat nilai sempurna. “Coba kalian serius! Ini ngambil nilai! “ gumam pak guru, nampak frustasi setelah melihat siswi berkulit putih porselen yang nampak sedikit memerah karena sinar matahari, memasukkan bola ke dalam ring asal-asalan tanpa melihat kearah ring. “Seharusnya kita ambil nilainya indoor aja, Pak ...”sahut gadis itu, tidak terima karena sinar matahari terus menyengat kulit putihnya. Gadis itu tidak peduli akan nilainya yang sudah anjlok diangka lima. “Kalian ini sejenis vampir atau apa sih?! Liat kearah ring itu, jangan nunduk kayak orang lagi berduka aja,” sahut pak guru lagi. Yang tentu saja dianggap angin lalu oleh gadis itu yang ingin buru-buru kembali ke barisan dan bersembunyi dari sengatan matahari seperti yang lainnya. “Selanjutnya ... Abdan.” Dari arah kanan lapangan, Abdan bangkit berjalan ke tengah lapangan. Berbeda dari murid yang lain, Abdan dan dua sahabatnya—Vidi dan David, memilih duduk di barisan yang terjangkau sengatan matahari, alhasil saat berjalan ke tengah lapangan, wajah Abdan sudah setengah basah oleh keringat. Namun anehnya keringat yang menetes dari dahi Abdan ke sisi kanan-kiri wajahnya malah memberi aura baru bagi cowok berdarah campuran itu. Alis tebalnya yang terlihat makin menawan karena setengah basah, tatapan mata yang silau terlihat tajam bak pisau saat menatap ring dan rahang kokoh yang terpahat sempurna saat diangkat. Abdan terlihat makin manly dan cool. Pemandangan itu, memancing teriak tertahan para siswi yang tidak pandai menjaga pandangannya. Mereka saling berbisik heboh di belakang Miftah, karisma kuat yang dimiliki Abdan membuat cowok berdarah campuran itu terlihat berbeda dari cowok tampan yang lain. “Tuh mata apa keranjang sih, jelalatan banget. Dosa weh, ingat dosa,” gumam Miftah pelan. Miftah ingin sekali menoleh, melihat bagaimana ekspresi kesal mereka mendengar kalimat sendiriannya barusan, tapi Miftah mengurungkan niat karena teralihkan oleh senyum puas guru paru baya yang sejak tadi hanya cemberut ditambah lagi tepuk gemuruh beberapa siswa-siswi sembari menatap lurus ke arah Abdan. Abdan berhasil memasuki bola dengan teknik yang sudah diajarkan dalam tiga kali kesempatan. Hal itu sangat mudah bagi seorang Abdan yang memang handal memainkan bola pantul itu, ditambah tubuhnya yang tinggi juga menjadi nilai tunjang yang baik dalam setiap lemparan ciamik yang Abdan lakukan. Meski memiliki modal skill sebaik itu, Abdan memutuskan untuk tidak bergabung di tim basket sekolah—meski berkali-kali ditawarkan, baik oleh ketua kapten atau langsung dari guru pembimbing ekskul itu. Alasannya, karena Abdan sudah tampan. Dia tidak butuh menjadi bintang di lapangan. Abdan lebih suka pujian tanpa embel-embel apa pun, selain tentang dirinya saja. Dilemparkan keempat, Abdan melemparkan tatapan songongnya. Senyum tidak simetris itu seolah mengatakan, ‘liat nih, Lo pasti gak bisa kayak gue.’ Namun di lemparan kelima karena kesombongannya, Abdan gagal memasukkan bola pada kesempatan itu. Benar kalo sombong itu membuat kehancuran pada diri sendiri. Abdan gagal mendapat nilai sempurna, tapi sejauh ini nilai Abdan paling besar di antara yang lain. Itulah yang membuat senyum sombong Abdan tidak pudar begitu kembali ke barisan. “Gue yakin Lo gak akan bisa nandingin gue,” ujar Abdan berbangga. Miftah lagi-lagi hanya diam saja. Dia harus menyimpan tenangnya untuk bisa maksimal saat mengambil nilai nanti. “Iya, kah?” sahut Miftah tenang. Abdan terkekeh pelan. “Yap!” “Nangkap bola aja gagal terus, apa lagi masukin bola ke dalam ring. Mustahil. Atau gini aja, kalo seandainya Lo bisa ngalahin rekor gue, empat masuk. Gue bakal gantiin Lo pake tas ember norak Lo itu selama satu bulan.” Miftah menoleh. Tidak berniat menjawab sebenarnya, toh apa yang Abdan tawarkan itu sangat mirip seperti taruhan dan itu dosa. Sebagai seorang hamba, Miftah tidak berniat untuk melanggar apa yang Tuhannya larang. “Gimana? Tapi kalo Lo yang gagal, Lo harus jadi badut selama satu bulan. Gimana deal ?” desak Abdan bertepatan dengan nama Miftah yang dipanggil. “Duh buang-buang waktu aja, gadis selebar dia mana bisa masukin bola basket.” “Iya nih, buang-buang waktu banget. Mana panas lagi.” “ Tapi gue gue sabar liat badut main bola.” Dan masih banyak cibiran lainnya yang mengiringi langkah Miftah sampai ke tengah lapangan. Miftah jadi ingat lirik lagu dari SMSH. Tak peduli, ku dibully, omongan Lo gue beli, caci Lo, gue cuci dengan semangat prestasi... Yap! Miftah tidak peduli pada penilaian mereka. Toh, mereka bukan hakim yang bisa mengadili siapa Miftah. Miftah memegang erat-erat bola itu, pandangan kecil matanya terarah fokus ke ring. Bissmillah ... Bola di lempar. Dan masuk! Miftah tersenyum senang. Tidak sia-sia dia belajar basket di bawa guyuran hujan. Satu.. Dua... Tiga... Empat.. Empat kesempatan Miftah isi dengan keberhasilan. Bola basket itu selalu masuk ke dalam ring, semua murid yang semula menatapnya penuh ejekan, mendadak jadi terdiam dengan mulut mengangga. “Kesempatan sekali lagi. Kalo kamu berhasil memasukkan bola ini ke dalam ring, kamu bakal dapat nilai sempurna,” ujar pak guru, Miftah mengangguk khidmat dengan senyum secerah matahari siang. Berbanding terbalik dengan Abdan yang langsung berdiri setelah mendengar perkataan gurunya itu. Bissmilah ... Miftah hendak melempar bola. Namun dengan liciknya Abdan sengaja memanggilnya membuat Miftah refleks menoleh dan lupa kalo tangannya sudah melempar bola ke udara. Alhasil bola yang Miftah lempar jadi tidak terfokus. “Dasar licik! “ batin Miftah, sedikit pesimis jika kali ini lemparan ya akan masuk ke dalam ring. Ya Rabb semoga masuk .... Doa Miftah. Abdan tersenyum miring, berpikir bola yang di lempar asal itu mana mungkin masuk ke dalam ring. Namun diluar dugaan, doa orang tertindas memang mujarab. Miftah yang merasa dicurangi Abdan mendapat keadilan. Secara kebetulan, bola itu entah bagaimana terpantul di dahan ringkih pohon yang sepertinya terlihat mustahil bisa memberikan tekanan yang kuat pada bola basket untuk kembali terpantul, tapi ... yap! Masuk ring. Senyum seketika langsung mengembang di wajah bulat Miftah, bukan merasa senang karena berhasil mengalahkan Abdan, tapi senang karena bahagia akan pertolongan Allah yang begitu dekat. Berbanding terbalik dengan senyum Abdan yang mendadak berubah menjadi kaku dengan mata membelalak, bayangan tentang dirinya memakai ember merah norak milik Miftah berputar di kepalanya. Abdan tidak percaya kalo sekarang Miftah memenangkan taruhan sepihak yang dirinya lakukan sendiri. Bagaimana semua ini bisa terjadi... “Dan ... Lo gak kenapa-napa, kan?” Vidi kaget mendapati wajah badan mendadak bias. “Kenapa tiba-tiba muka Lo pucat banget? “ . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD