Masalah Orang Dalam

2372 Words
“Lo? “ “Lo? “ “Lo? “ Ketiganya sama-sama terdiam setelah aksi tunjuk-tunjuk kaget akan kedatangan masing-masing, dalam waktu yang hampir bersamaan. Mereka saling lihat satu sama lain, dan entah kenapa tawa mengudar dari mulai Vidi diikuti Abdan lalu David secara bersama. Bisa-bisanya mereka satu hati seperti ini. “Lagi ada masalah ?” tanya Vidi, setelah tawa mereka reda. “Lo juga? “ David menoleh pada Abdan yang sekarang sibuk membuka pintu room menggunakan kunci miliknya. Ketiganya memang memiliki kunci room masing-masing, sehingga mereka bisa datang kapan saja ke room ini. “Kenapa gak ngajak-ngajak ?” tanya Vidi lagi. “ Lo kenapa gak ngajak-ngajak juga?” sahut Abdan tidak mau kalah. “Kenapa tubuh Lo basah? Lo main hujan? “ Abdan menoleh ke luar jendela, udara luar masih terasa sangat dingin karena hujan yang baru saja reda. Rasa sedih dihatinya, membuat Abdan tidak sadar kalo untuk datang ke room dia juga menebus hujan yang turun meski tidak deras. “Lo juga basah. Habis main hujan? “ serang Vidi. Abdan baru sadar tubuhnya juga sedikit basah kuyup, begitu pun David—cowok bermata cokelat muda itu kini sedang menggosok rambutnya dengan sapu tangan yang sepertinya dia bawa sendiri, tidak ambil pusing akan perdebatan dua sahabatnya. “David ... ??” Vidi dan Abdan spontan menoleh pada David. Keduanya menuntut David dengan tanya yang sama. “Biasa.” “Masalah sama orang tua Lo? “ simpul Vidi, yang sangat tahu jelas apa probelm sahabatnya itu “Yap.” “Jadi sekarang Lo kabur?” tanya Abdan. David tertegun sesaat sebelum menggeleng pelan, membuat Vidi dan Abdan bisa bernafas lega. “Gak, cuma pengen ke sini aja. Besok sepulang sekolah gue gak bisa lagi nongkrong di sini. Gue harus langsung pulang.” “Eh, tapi tadi katanya Lo sakit?” Vidi teringat percakapan terakhir mereka di telepon saat David dengan santainya membatalkan nongkrong dengan dalil tidak enak badan, tapi sekarang, tuh cowok terlihat biasa saja. “Ya, gak lagi, udah sembuh,” jawab David enteng. Vidi mendengus tidak puas akan jawaban sahabatnya itu. “Lo juga, Dan. Katanya mau quality time sama orang tua Lo. Jangan bilang Lo emang sengaja gak mau datang ke kafe.” “Kayak biasa, mereka sibuk kerja.” Abdan menghela nafas panjang. “Banyak kerjaan katanya,” tambah Abdan berusaha sebaik mungkin menahan gejolak sedih yang melanda hatinya. “Lagian gak mungkin gue gak mau datang, orang gue yang ngajak kan?” sahut Abdan tidak terima dengan tatapan menelisik Vidi. “Iya sih, tapi, ck! Kalian tahu gak gue kaya orang b**o di sana, sendirian! Mana pas gue di jalan hujan lagi. Seharusnya kalian minta maaf ke gue.” “Ya gue minta maaf,” sahut Abdan enteng. “I’m too .... “ timpal David. “Sama sekali gak ada nada penyesalan,” gerutu Vidi. “Lain kali kalo kita nongkrong, gue bakal jadi orang terakhir yang datang. Ogah gue kejebak datang duluan lagi.” Abdan terkekeh. “Serius deh, gue minta maaf, ini beneran dari lubuk hari gue yang terdalam, dari empedu dan sekitarnya.” “s**l Lo!” “Eh, tunggu dulu, bukannya Lo bilang mau langsung pulang? Kenapa Lo malah ke sini? Dan ....” Abdan melirik David yang sendari tadi diam-diam menganalisis tampilan ‘tidak biasa' sahabatnya itu. “Dan tubuh Lo basah, Lo gak mungkin hujan-hujanan, kan?” sambung David. “Iya, secara, Lo bahkan rela ngumpet di goa selama dua abad ketimbang hujan-hujanan.” “Ceritanya panjang. Dan gue terpaksa hujan-hujanan.” “Berarti Lo udah sembuh dari trauma Lo? “ “Entahlah.” “Apa yang Lo rasain pas hujan-hujanan ?” “Gue gak tahu. Rasanya campur aduk. Gue bingung.” Vidi kembali teringat akan gadis bernama Ipeh itu, bagaimana keadaan gadis itu sekarang? “BTW, kalian udah pada salat ?” tanya Abdan. “Gue udah tadi di masjid sebelum ke sini,” sahut David. “Lo udah, Vi? “ “Udah.” “Hem, gue belum,” ujar Abdan. “Salat oi, dosa Lo gak salat.” David kalo sudah urusan agama, darah anak kyianya ngalir. “Iya gue tahu. Ini gue mau salat, tapi bingung mau salat di mana? “ Abdan celingak-celinguk mencari tempat bersih di room. Biasanya jika tidak musim hujan dan becek, sudut kanan room sering mereka jadikan tempat salat Dzuhur sepulang sekolah. Sudut itu selalu mereka bersihkan. Sudut itu sengat berguna, saat rasa futur melanda mereka, yang terkadang malas salat ke masjid. Yap, meski mereka anak yang sedikit nakal, tapi itu tidak menjadi alasan untuk meninggalkan salat. Salat tetap kewajiban, terlepas bagaimana mereka menjalani hidup, right? “ Yuk, temenin gue salat,” ajak Abdan pada David. “Eh, kalian pada pergi semua, masak gue sendirian di sini,” protes Vidi. “Lah, tadi emang Lo ke sini mau sendirian, kan? Apa masalahnya? Lo takut ada jurik? Yang ada jurik takut ketemu Lo. Takut di rosting.” David terkekeh pelan. “s**l Lo, Dan.” Vidi mendengus. “Gue gak mau. Gue mau ikut kalian aja sekalian mau beli makanan.” “Yuk, hujan juga udah reda.” “Jalan kaki aja ya, malas gue bawa motor. Ribet.” “Iya, kita jalan kaki aja. Gue juga malas bawa motor. Motor gue banyak lumpurnya,” setuju Vidi. “Ya udah, yuk,” sahut David setelah mengunci stang kanan motornya. “Vid, room gak Lo kunci ?” “Gak usahlah. Tutup aja. Lagian siapa juga orang bodoh yang mau ke sini.” “Maksud Lo? Kita orang bodoh?” sahut Abdan tidak terima dengan pernyataan terakhir sahabatnya itu. “Kecuali kita,” ralat Vidi, sebelum cowok bermata biru hazel itu ngamuk. Dari room ke masjid berjarak sekitar lima belas meter, biasanya jika malas, mereka akan lebih memilih salat di musholah sekolah yang memang dibuka untuk umum. Namun berhubung Vidi ingin membeli makanan, mereka sekalian memilih salat di masjid depan, yang kebetulan di sekitarnya banyak jajanan street food. “Eh, tunggu dulu ...” David menelaah sejenak pintu room, menghentikan langkah Vidi dan Abdan yang hendak membuka pintu room. “Kenapa ?”bingung Vidi. “Kok gue ngerasa posisi pintunya gak sama kayak tadi kita tinggalin.” “Maksud Lo? Tadi kan pintunya cuman di tutup doang, bentuk kan pintu ke tutup yang gitu doang. Mana ada yang berubah,” sahut Vidi. “Maksud gue itu, tingkat kerapatan pintu, coba Lo liat ....” Vidi mengikuti permintaan David memperhatikan pintu dengan cermat, meski dia tidak tahu apa yang harus diperhatikan, Vidi hanya mengikuti pergerakan kepala David yang nampaknya sangat serius memperhatikan pintu bercat putih s**u yang sudah lusuh. “Gak sama kayak yang tadi. Liat kayak agak ke buka dikit, kan?” ujar David. “Hem, gak ah, perasaan Lo aja kali.” Vidi kembali mengangkat kepalanya. “Emang pintunya gini, namanya juga pintunya udah sedikit reog makanya kayak kelihatan gak rapat. Udahlah yuk masuk, gue lapar nih.” Vidi dengan cepat mendorong pintu room, menggunakan satu tangannya yang tidak memegang kresek putih. Sebelum masuk Abdan menepuk pelan pundak David, meminta cowok bermata cokelat itu untuk tidak berpikir terlalu dalam dan ikut masuk. Mungkin memang dia yang terlalu berlebihan. “Hem, kita mabar game setelah makan, gimana? “ tanya David, sejak awal datang, cowok bermata cokelat muda itu sudah berencana untuk menghibur dirinya dengan bermain game online. “Setuju,” sahut Abdan, tanpa pikir dua kali. “Gue ngalur aja. Gue juga lagi suntuk banget. Tapi kita makan dulu aja ya.” Setelah ketiganya duduk bersilo di lantai yang berlapiskan tikar tua, Vidi dengan cepat membuka kantong kresek putih dan mengeluarkan “Iya, tahu, yang paling di lapar,” sahut Abdan yang dibalas senyum geli David melihat ekspresi tidak terima Vidi. “s**l Lo! “ dengus Vidi, meski kesal, tapi Vidi tidak berniat untuk melanjutkan kemarahannya, perutnya dari tadi sudah lapar dan minta segera di isi. “Gue tadi beli soto lamogan nih. Lo semua pada suka, kan? Cocok banget buat dimakan pas dingin-dingin kayak gini.” Kriuuu... “Eh, itu suara perut Lo, Vid? “ tanya David tiba-tiba. “Ha? “ “Perut Lo keroncongan? Tadi gue dengar suara perut keroncongan.” “Hem, gue emang lapar sih, tapi kayaknya gak sampai bunyi deh.” “Serius Lo ? Tapi gue yakin banget kalo gue dengar suara—“ Vidi memutar malas bola matanya. “Dav, gue lapar nih, kalo Lo terusan berteori kapan kita makannya? Lo salah dengar kali. Kita makan dulu ya. Entar kalo dah kenyang, baru deh Lo bebas mau ngapain.” Vidi menyerahkan .... pada David lalu dan Abdan. “Kalian pada suka soto, kan?” “Suka lah, apalagi gratis,” sahut Abdan, selengean. “Dasar Lo, mobil aja bagus. Sukanya yang gratisan.” “Suka gratisan gak tergantung kasta kali ... setiap orang berhak suka gratis.” “Bacot Lo. Udah makan aja. Kali ini gue yang traktir.” “Nah, gitu dong.” Abdan tersenyum puas. “Thank ya, crazy rich yang rich-nya hilang.” David terkekeh, terlebih lagi melihat wajah Vidi yang masak bodoh dan lebih memilih menikmati soto lamoganan miliknya. “Eh, Dav, btw, tapi udah malam loh ? Emang abi sama umi Lo gak marah, Lo pulang malam?” tanya Abdan. “Iya, Lo emang belum mau pulang ?” timpal Vidi, selagi menunggu soto lamongan miliknya tidak lagi panas. “Nanti aja. Gue mau main puas-puas buat malam ini.” “Mau sampai jam berapa? “ “ Jam dua belas, mungkin,” sahut David enteng. Entahlah, cowok bermata cokelat muda itu tidak berniat untuk membangkang peraturan orang tuanya, tapi kali ini David ingin sekali saja memenuhi keinginannya, sebelum semuanya kembali dikekang. David tahu ini salah ... ya, dia tahu ini salah. “Eh?” Abdan refleks mengangkat kepalanya. “Lo yakin? “ “Kenapa? Kalian mau pulang. Pulang aja. Gue nanti aja.” “Gak sih ... “ Abdan menghela nafas panjang, membayangkan rumah besarnya yang hanya berisi kesepian. “Gak ada siapa-siapa juga di rumah. Gak ada yang peduli juga gue mau pulang jam berapa. Jadi gue bebas mau pulang jam berapa.” “Lo, Vid? “ tanya Abdan. “Lo udah minta izin ke nyokap Lo? “ “Hem, entahlah, gue masih belum mau pulang.” Vidi merasa dirinya belum baik-baik saja untuk pulang ke rumah, dan berlagak kalo dia baik-baik saja. “Tapi tadii gue udah bilang izin sih, mau main. Jadi aman lah ...” “Kalian gak mau cerita kenapa tiba-tiba datang ke sini? “ Tiba-tiba Vidi membuka suara. “Biar gue cerita duluan.” “Hem, gue, gue berusaha lari dari masalah yang sebenarnya ada di dalam diri gue sendiri. Gue gak bersyukur. Gimana caranya gue bisa berdamai sama masalah gue? “ Hening. Ketiganya refleks tenggelam dalam masalahnya masing-masing. “Dan kalian, kenapa? Masih masalah lama? “ “Yap, masalah lama yang gak akan pernah selesai. Entahlah gue bingung, sampai kapan gue hanya jadi manusia yang punya suara tapi tidak bisa bersuara.” David menghela nafas keras, terlihat jelas pada wajah dinginnya rasa gusar dan sedih yang tidak mampu cowok itu jelaskan dengan benar. “Apa pun yang gue lakukan, gue gak berhak mengintrupsi atau kasih alasan kenapa gue ngelakuin itu. Setidaknya mereka dengar dulu, gue gak maksa mereka buat setuju sama apa yang gue lakukan. Toh, kalo salah, setidaknya gue udah lega dan bisa ngerti kalo yang gue lakuin itu salah.” Abdan menepuk pelan pundak David, meski wajahnya tidak menampilkan ekspresi apa pun, tapi Abdan sangat tahu David menyimpan sejuta sedih sama seperti dirinya. “Gue juga kisah lama. Masih soal, gue yang kesepian. Mereka sibuk. Gue rindu mereka. Udah gitu doang.” “Hidup emang gak seenak soto lamogan ... “ Vidi menyuapkan sendok terakhir soto ke dalam mulutnya. “Kita ada di sini, karena masalah yang beda-beda dan masalah sama yang sampai sekarang belum bisa kita selesaikan.” Entah kenapa, kalimat terakhir Vidi membuat seorang Abdan yang nampak sedingin es tiba-tiba menangis. Vidi yang sedang sedih hati, juga ikut larut dalam tangis Abdan. David tertegun, matanya memerah, tapi dirinya terlalu kaku untuk mengekspresikan perasaannya sekarang. Namun perlahan, air mata juga menetes dari mata cokelat mudanya. Mereka terisak bersama. Inilah sisi lain, yang orang lain tidak tahu dari ‘g**g tampan’. Sisi lain yang selalu coba mereka tutupi, kecuali antara mereka sendiri. . Brrttttt ... “Eh? “ Suara tangis Abdan spontan terhenti. Cowok bermata biru hazel itu mengangkat kepalanya, menyapu semua sudut ruangan tunggal tanpa skat. Ada suara kentut yang Abdan dengar. “Siapa yang ngentut? “ tanya Abdan, menghentikan suara tangis Vidi dan David. “Ngentut ?” Vidi bergumam bingung. “Eh, iya, kok bau kentut ya ?” tambah cowok berkulit kuning langsat itu, setelah menghembuskan semua ingus dari hidungnya. “Gue gak ngentut.” David menggeleng pelan, lalu menoleh pada Abdan yang masih tertegun. “Gue juga gak kentut.” “Terus kalo bukan kita bertiga ... “ Vidi menatap kedua sahabatnya bergantian. “Siapa yang kentut? “ Mata David menyapu ke seluruh room yang besarnya tidak seberapa dan tidak ada skat. Rasanya hampir mustahil jika ada orang lain di sini, karena semua sudut bisa mereka lihat dengan jelas. Hanya ada satu kemungkinan tempat yang tidak terjamak mata mereka. Belakang sofa. Abdan spontan langsung bangkit dengan gerakan sepelan mungkin, diikuti David dan Vidi di sampingnya. Ada gerakan kecil di belakang sofa lusuh yang baru ketiganya sadari. Sekarang mereka yakin seratus persen ada orang lain yang ada di room ini selain mereka. Bruk!!! Pintu tiba-tiba terbelalak lebar, menarik perhatian ketiganya, yang tanpa pikir panjang langsung berlari ke arah pintu. “Gak ada apa-apa ..” gumam Abdan, kesal “Eh ? Itu orangnya! “seru David tiba-tiba, saat ia tanpa sengaja menoleh ke belakang. Miftah spontan menoleh kaget, rupanya ia sudah tertangkap basah hendak kabur lewat pintu belakang. “Maaf, gue beneran minta maaf, gue gak maksud dengerin obrolan kalian. Gue tadi ke sini cuma buat cari name tag gue yang hilang,” pekik Miftah sebelum benar-benar menghilang di balik pintu belakang yang sudah reog. “Oi cewek buriik! Jangan kabur Lo!! “ teriak Abdan murka. “Sekali lagi gue minta maaf ya! Gue duluan ...” sahut Miftah , sayup-sayup terdengar makin menjauh. “s**l! Dia kabur! “ geram Vidi. “Aaassssh, dasar buriiik! “ . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD