The poor

2443 Words
Awalnya Vidi tidak terlalu kesal akan kedua sahabatnya yang tiba-tiba membatalkan janji secara dadakan, tapi kekesalannya itu menjadi tambah besar saat tanpa sengaja mendongka melihat langit yang dipenuhi awan hitam. Vidi refleks memacu motornya dari semula kecepatan sedang menjadi sangat cepat. Fokus cowok itu jadi sepenuhnya pada jalan yang mendadak dipenuhi orang yang terburu-buru melaju cepat agar tidak terjebak hujan, tapi hujan tetap mengguyur bumi meski semua orang nampak enggan akan kedatangan di siang hari yang menjadi waktu tersibuk semua orang. Buru-buru Vidi menepi dan berhenti di sebuah restoran berkonsep prasmanan, guna menghindari dirinya dari hujan, dari arah belakangnya banyak orang yang juga mengikuti jejak Vidi. Restoran yang semula sepi tiba-tiba menjadi sangat ramai, beruntung Vidi masih bisa mendapatkan kursi dan bangku yang hanya tersisa beberapa saja dan sekarang sudah penuh. “Maaf, sebelumnya, t-tapi ini kursi saya,” intrupsi suara cewek dari belakang Vidi. Vidi refleks menoleh dan mendapati gadis berjilbab putih dan jaket merah yang padu padankan dengan rok berdasar jeans, dari gayanya itu Vidi berkesimpulan jika gadis itu berusia sebaya dengannya, setidaknya lebih muda satu tahun atau lebih tua sedikit. Di tangannya terdapat nampak makanan, gadis itu seperti baru saja selesai mengambil makanan. Gadis itu menunduk, namun pandangannya terarah pada kursi kosong di sebelah Vidi. Vidi refleks kembali mengikuti arah pandang gadis itu, dan baru sadar, ternyata ada tas ransel di sana. “Ini tas kamu?” tanya Vidi sopan. “Iya, Kak ...” Gadis itu mengangguk pelan. “Maaf sebelumnya, tapi tidak ada kursi yang kosong lagi. Apa boleh saya duduk di sini?” Gadis itu nampak bingung, dari gerak-geriknya sepertinya dua tidak terlalu nyaman jika harus semeja dengan lawan jenis. Terlihat sendari tadi gadis itu tidak mengangkat pandangannya. “Hem, kalo kamu gak boleh, gak masalah kok.” Vidi hendak bangkit dari kursi, namun terhenti saat terdengar kembali suara pelan gadis itu. “Eh, gak papa kak, saya gak keberatan kok. Lagian sudah gak ada kursi kosong di sini,” gumamnya pelan. Vidi tersenyum lebar. “Terima kasih.” “Hem ... “ Gadis mengangguk pelan, sebelum duduk di kursi miliknya. “Ada yang mau kamu pesan lagi? “ tanya Vidi yang berniat sekalian ingin mengambil makanannya. “Atau mau saya ambilin dessert ? Kali ini biar saya yang traktir sebagai ucapan terima kasih. Gimana? “ “Ha?” Gadis itu nampak bingung, taoi juga tidak tahu cara menolak tawaran Vidi. Dengan malu-malu gadis itu mengangguk kecil, mengiyakan tawaran Vidi. “BTW, nama kamu siapa? Nama saya Vidi. Kamu bisa panggil saya Vidi aja, gak perlu pake embel kak.” Vidi tersenyum ramah. “Nama saya ... hem, panggil saja Ipeh.” “Oh oke kalo gitu, saya mau pesan dulu,” Vidi beranjak dari kursi. Menu yang ada di meja prasmanan terbilang sederhana ala masakan rumahan, ada sambal telur balado, opor ayam, sayur nangka, ikan bandeng presto dan masih banyak lagi menu yang bisa-bisa menguras kocek Vidi. Beruntung Vidi segera menyudahi semua wisata matanya itu, dan memutuskan mengambil sambal telur balado, sayur nangka dan ikan bandeng. Tidak lupa Vidi mengambil dessert berupa puding dan soas s**u yang sepertinya enak dimakan setelah makanan berat yang Vidi ambil. Vidi berjalan hendak kembali ke mejanya, tepat di depan pintu masuk restoran, entah kenapa cowok bermata terang itu menoleh ke sana. Sepintas yang Vidi liat dari balik kaca tebal yang sedikit berembun hanya beberapa orang yang berdiri di teras restoran menunggu hujan reda, tidak terlalu jelas. Vidi ingin melanjutkan langkahnya, tapi mendadak kembali berhenti setelah menyadari orang yang berada di luar seperti tidak asing baginya. Ada gadis menggunakan jilbab putih dan jaket merah, seperti milik... “Itu bukannya Ipeh ? “ gumam Vidi, bingung. Matanya refleks memicing agar bisa lebih melihat dengan jelas. Ada beberapa gadis seumuran mereka yang berdiri di sisi kanan dan kiri Ipeh. Seperti tadi, Ipeh hanya menunduk dalam, tapi sekarang ada yang sedikit berbeda. Bahu gadis itu bergetar—jelas bukan karena kedinginan. Vidi mendekati langkahnya, sekarang terlihat jelas keadaan Ipeh sesungguhnya. Jaket warna merah yang Ipeh pakai, terdapat banyak noda lumpur, yang Vidi yakini bukan hanya terkena cipratan genangan air tanpa sengaja, bahkan di jilbab putihnya, kini sudah berubah menjadi sedikit cokelat. “Makanya, jadi orang gak usah sok cantik!” “Lo pikir, Lo hebat, ha?” “Ini cuma peringatan kecil. Kalo Lo belaga sok cantik lagi di sekolah. Gue gak akan segan-segan buat Lo jadi kayak lumpur ini! Jelek dan bau.” “Lo Cuma gadis buriik yang gak jauh beda sama lumpur.” “Ingat itu! “ “Dasar buriik!” Vidi menatap nanar hujan yang masih enggan berhenti seolah tengah memeriahkan suara tawa kedua teman gadis itu. . . “Bi, mama dan papa ke mana? Mereka belum pergi, kan? “ tanya Abdan begitu panik saat tiba-tiba tersentak dari tidurnya. Abdan kaget saat matanya tanpa sengaja menyapu jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul empat sore. Azan ashar sudah berkumandang sejak setengah jam yang lalu. “Maafin bibi, Den. Nyonya sama tuan baru aja pergi setelah salat ashar tadi. Dari tadi bibi coba bangunin den Abdan, tapi Den gak bangun-bangun. Nyonya dan tuan gak punya waktu buat nunggu.” “Gak punya waktu? Sedikit pun? “ ulang Abdan, getir. Setelah sekian lama mereka tidak pertemuan, apa sangat sulit bagi mereka menyisakan dua menit saja untuk dirinya. “Kenapa gak bibi siram aja aku pake air? Satu ember kalo masih tetap gak bangun.” “Den, bibi minta maaf ya, seharusnya bibi bangunin aden sampai bangun, tapi tadi bibi juga gak tega liat den Abdan pules banget. Kayak capek gitu.” Bi Siti menunduk dalam, tak kuasa melihat sorot kecewa yang terpancar jelas pada wajah tuan mudanya— yang sudah ia anggap layaknya anak sendiri. Sorot mata Abdan yang semula begitu terang bak bulan purnama mendadak layu dan redup, membuat siapa saja yang melihatnya seolah mampu merasakan kepedihan yang cowok beralis tebal itu rasakan. Bahkan tanpa berkata-kata sekalipun, Bi Siti dapat mendengar rintihan pilu dari hati seorang anak yang merindukan dekapan hangat kedua orang tuanya. Kepala Abdan memang tidak tertunduk sedih, tapi hatinya tentu saja merintih pilu. “Den, bibi minta maaf ... “ “Gak papa, Bi. Mungkin sekarang belum waktunya,” sahut Abdan menelan getir pada suaranya. “Bibi gak perlu ngerasa bersalah. Aku baik-baik aja.” Di saat seperti ini, Abdan masih berusaha menghibur hati bi Siti padahal kini hatinya yang terluka. Bi Siti tidak mampu membendung tangisnya seolah mewakili Abdan yang tengah berusaha terlihat tegar. . . “Ya Ampun, begini anak kamu ternyata Aisy ...” bulek Melani menggeleng dramatis. Pandangan matanya menyapu ke segala penjuru rumah dan terpaku pada pria berjubah putih dengan jenggot yang dipelihara di sekitar dagunya, yang kini tertunduk diam. “Kasar sekali perkataannya.” “Ilmu agamanya hanya sampai tenggorokan saja.” “Kasihan sekali kamu Aisyh ... suami yang kamu banggakan yang katanya bisa membimbing kamu dan anak-anakmu kelak, ternyata gagal.” Melani kembali melirik Omar—abi yang masih diam terpaku di sofa. “Kak ...” lirih Aisyh berharap kakak kandungnya itu berhenti menghina suaminya. “Maafkan anak saya kak.” “Ya ampun Aisyh, kasihan sekali kamu. Seandainya kamu tidak membangkang pada orang tua kita, mungkin kamu tidak akan mendapat anak seperti David ini.” Rahang David mengeras, namun ilmunya tentang adab menyeruap, menahan dirinya untuk kembali mengatakan sesuatu. Sejak dulu David tahu kalo buleknya ini tidak benar-benar tulus menerima perbedaan mereka. Melani masih berusaha mematahkan pilihan yang uminya pilih. Kedatangannya setiap sepekan sekali, tidak lepas dari niatnya untuk terus membujuk umi agar kembali pada agama yang mereka anut. “Kak ...” Aisyh sengaja mempertegas suaranya membuat Melani akhirnya membukam mulutnya. “Hem, kayaknya lebih baik kakak pulang sekarang, pipi Troy harus segera diobati biar memarnya gak parah.” “Kak, kita makan dulu ya,” pinta Aisyh. “Tidak perlu. Pekan depan saja kakak datang lagi. Sekarang, kakak harus pulang lebih awal.” “Kak.” Akhirnya Omar membuka suaranya, mencoba menahan kakak ipar dan ponakannya untuk tidak pergi begitu saja. “Biar Troy di obati dulu di sini, kak.” Melani melengos. “Tidak perlu. Urus saja anakmu. Aku bisa mengurus anakku sendiri.” “Entah apa yang akan dia berikan pada anak saya. Jangan sampai anakku jadi seperti anak kamu,” ujar Melani sembari berlalu pergi meninggalkan anak-beranak yang kini sama-sama terpaku dalam hening usai hilangnya suara langkah lebar Melani dan Troy. “Afwan, maafkan ana, umi, abi ...” cicit David menahan gemetar dari suaranya. “Mulai besok, kamu gak akan dapat kelonggaran waktu lagi. Pulang sekolah, kamu harus pulang.” David menunduk dalam, seburuk-buruknya akhlak David, tidak pernah sekali pun cowok bermata cokelat muda itu mengangkat suaranya pada umi dan abinya, apalagi membantah apa yang abinya putuskan, entah keputusan itu David sukai atau tidak. David akan dengan patuh menerima apa pun hukuman yang abinya berikan. “Sepulang sekolah kamu harus ke pondok,” lanjut Omar lagi. “Lanjut dengan latihan berkuda dan memanah. Abi rasa kamu sudah terlalu banyak diberi kelonggaran, hingga akhlak kamu sangat buruk.” “Afwan abi, maafkan ana,” gumam David pelan. Omar tidak menyahuti permintaan maaf putra tunggalnya itu, pria itu nampak kesal dan memilih membuang muka saat David beringsut ke kamar atas perintah Aisyh. Sesampainya di kamar, David membanting tubuhnya di kasur, rasa kesalnya kembali hadir kala teringat peristiwa tadi. David akui apa yang dia lakukan memang tidaklah benar, tapi rasanya tidak sepenuhnya salah. David merasa pernyataan buleknya kali ini terlalu berlebihan, buleknya terlalu pandai mengklaim sesuatu yang bukan kapasitasnya. Urusan ibadah hanya miliki Allah, kuasa apa buleknya itu mengatakan dengan enteng percuma salat, percuma ngaji? Rasanya wajar jika David marah, bukan? Setiap orang memiliki hak untuk tetap melaksanakan salat dan ngaji, sekali pun dia masih berada dalam ranah kubangan dosa. Tapi apa pun itu, Omar tidak ingin mengerti dari sisi itu. . . “Apa salah gue? “ “Lo nanya apa salah Lo ?!” bruk ... tunjuan bertubi-tubi mendarat keras di perut cowok bermata terang di bawah redupnya langit malam. “Udah berapa kali gue bilang sama Lo!? Lo seharusnya sadar diri! Lo gak berhak ada di sebelah cewek gue! Lo jelek! “ “T-tapi itu hanya kontes king dan queen. Gue gak tahu kalo cewek Lo yang bakal jadi pasangan gue.” “Bacot! “ kembali tinjuan mengenai perutnya, Vidi terbungkuk dan tersungkur di aspal dingin yang mulai di basahi air hujan yang sejak tadi sudah menemainya. “Gue heran kenapa cowok jelek kayak Lo bisa terpilih jadi king?!” “Karena gue gak jelek! “ pekik Vidi dengan sisa tenaganya. Cowok itu mengangkat kepalanya menatap balik mata yang kini mendongak sombong. “Buat apa Lo lakuin semua ini?! Kalo bukan karena Lo takut sama gue! Lo takut wajah cewek Lo itu berpaling ke gue, kan?! “ “Aiish, s**l !” Bertubi-tubi kaki cowok itu menghujani tubuh ringki Vidi dengan tendangan yang tidak berkesudahan, cowok itu bahkan tidak iba sedikit pun meski Vidi sudah tergolek tak berdaya di asap dingin dengan darah yang menyembur dari mulutnya. “Sekarang Lo masih berpikir lo tampan? Ha?” Cowok itu menggeram kesal melihat sorot tajam Vidi yang tidak pernah redup sebanyak apa pun ia menyiksanya. “Biar hujan ini menjadi saksi kalo sekarang seorang Vidi akan menjadi cowok jelek ditangannya gue ...” cowok bertubuh cungkring itu meraih botol beling di belakangnya, satu kali hentakan, botol itu terbelah menjadi dua bagian, cowok yang sudah tidak bisa berpikir jernih itu memungut bagian paling tajam dari pecahan itu seraya menatap buas Vidi. Dengan sorot mata memerah bak anjing yang sedang siap menerkam mangsanya, cowok itu kini berjongkok di depan Vidi, menghunuskan benda tajam itu tepat di depan wajah Vidi. “Astagfirullah ...” Vidi terkesiap. Sesaat darahnya berdesir hangat, peristiwa kelam itu kembali lagi, lagi dan lagi tanpa bisa Vidi kendalikan. “Tolong maafkan saya, jangan ganggu saya lagi ...” “Saya memang jelek, saya memang jelek ...” Suara tangis Ipeh, kembali menarik perhatian Vidi. Dua gadis yang ada di sisi kanan-kirinya sudah tidak ada, meninggalkan Ipeh yang kini berjalan menembus derasnya hujan. Gadis itu berjalan dengan derai air mata yang bercampur aduk dengan hujan yang tidak henti-henti mengguyur tubuh ringkihnya. “Orang gila ... orang gila... “ Langkah Ipeh terhenti, di cegat bocah-bocah kecil yang tadinya asik menikmati guyuran air hujan. “Maafkan saya ...” “Orang gila ... orang gila ....” teriakan anak-anak kecil itu, sedikit banyak mengundang perhatian beberapa orang yang sedang berteduh di depan kios atau restoran. “Tolong jangan ganggu saya ...” Ipeh menutup rapat-rapat telinganya yang tertutup jilbab. “Orang gila ... orang gila.. “ bocah-bocah itu makin menjadi setelah melihat gelagat Ipeh yang terlihat macam orang gila betulan. “Tolong jangan ganggu saya, saya gak gila.. “ Ipeh menggeleng-geleng keras, tangannya mengibas-ngibas berharap mendapat celah untuk pergi dari sana “Orang gila ... orang gila ...” Bukannya minggir, bocah-bocah itu makin menjadi memvonis Ipeh sebagai gadis gila dengan penampilan yang sudah sangat mendukung—kotor dan penuh lumpur, ditambah gestur gadis itu yang nampak ketakutan. “Tolong ... tolong jangan ganggu saya...” rancaunya cepat. “Saya hanya ingin hidup tenang ....” Vidi menghela nafas panjang, di satu sisi dia masih merasa trauma akan hujan, tapi di satu sisi lain, Vidi tidak tega melihat gadis itu nampak tak berdaya. “Saya mohon ...” “Jangan ganggu saya “Pergi! Jangan ganggu dia.” Vidi segera memayungi Ipeh dari guyuran hujan yang terus memperburuk kondisi cewek bermata cokelat tua itu. “Ipeh ...” “K-kamu ...” Ipeh mendongka sekilas sebelum dengan cepat memutus kontak mata tanpa sengaja itu. “Kita masuk ke restoran ya? Tubuh kamu basah semua. Kamu bisa sakit,” pinta Vidi. “G-gak, gak, saya gak mau. Saya gak mau dibilang orang gila,” lirih Ipeh. “Saya gak mau.” “Saya mau pulang.” “Oke kalo gitu saya anter ya ... “ “G-gak, gak ....” Ipeh menggeleng keras. “Ya udah, kamu naik taksi aja. Biar aku yang stopin,” pinta Vidi sekali lagi. Tapi kali ini Vidi tidak ingin menerima penolakan gadis itu. “Kamu tunggu sini. Oke ...” Vidi segera pergi begitu Ipeh mengangguk setuju untuk tetap menunggunya. Letak restoran memang agak masuk ke g**g, mengharuskan Vidi untuk berjalan sejauh lima meter untuk bisa sampai ke jalan raya dan mencegat taksi yang lewat. “Pak, tolong antarkan teman saya ke rumahnya. Dia ada di restoran sebelah sana.” “Saya akan bayar dua kali lipat buat nganterin dia, bajunya sedikit kotor kena lumpur.” “Di mana orangnya? “ tanya supir begitu mereka sampai di lokasi. Vidi tertegun. Gadis itu sudah tidak ada lagi di sana. . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD