Miftah mengatur nafasnya yang berantakan, sesekali gadis itu menoleh ke belakang untuk memastikan kalo dia sudah lepas dari jangkauan three masketir menyebalkan itu.
“A-alhamdulillah ... untung sempat kabur,” gumam Miftah lalu memelankan langkahnya begitu merasa kalo dia sudah aman.
Awalnya Miftah tidak berminat sama sekali untuk masuk ke dalam room miliki tiga pemuda menyebalkan itu, Miftah hanya ingin mencari name tag miliknya di sekitaran rumah terbengkalai itu. Miftah yakin betul, kalo name tag miliknya terjatuh di sana. Tapi yang terjadi, Miftah malah terjebak di dalam room, Miftah panik saat melihat ketiga pemuda itu berjalan ke arah room, Miftah pikir mereka perampok atau begal, tanpa pikir panjang, Miftah langsung masuk ke dalam room.
Tapi sialnya, Miftah tidak menemukan apa pun di sana selain rasa lelah dan takut yang perlahan mulai menghilang, seiring memelannya langkah gadis itu
“Ya Allah, ada-ada aja deh ...” Miftah bergumam pelan, membayangkan betapa menegangkannya situasi tadi hanya karena dirinya ingin mendapatkan kembali name tag miliknya.
“Gak lagi-lagi deh gue ikutin saran orang di sosmed,” gumam gadis bertubuh gemuk itu. Beruntung Miftah tidak sepenuhnya s**l malam ini, ia masih bisa mendapat angkot umum untuk pulang, meski harus berdesak-desakan dengan orang.
Ide yang buruk!
Tulis Miftah pada orang yang memberinya saran untuk tidak takut menghadapi bahaya untuk memperjuangkan apa yang menjadi miliknya.
.
.
“Gimana, ketemu name tag-nya? “ tanya Sinty dari sambungan telepon.
“Gak.” Miftah menghela nafas panjang sebelum menjatuhkan tubuh gendutnya di atas kasur empuk, yang beruntung dengan sabar menahan berat badan gadis itu.
“Ya udah buat baru aja lagi. Dari pada susah, kan? “
“Ah, gak ah, lama banget buatnya. Mana buat name tag doang udah berasa kayak buat KTP segala, bawa KK sama rapot. Buat apa coba? Ribet banget sekolah kita.”
“ Ya.. Kan itu name tag, bukan sembarang name tag.” Sinty terkekeh di seberang sana. “Terus gimana? Masih kekeh mau cari name tag lagi?”
“Nanti deh, aku masih nyesel,” sahut Miftah sembari menempelkan ponselnya di pipinya.
“Eh? Nyesel kenapa? “
Miftah mendengus kesal, teringat akan kejadian di room. Kenapa di momen tega seperti itu, perutnya harus mengeluarkan gas bau yang membuat dirinya ketahuan.
“Hem, eh, btw ...” Sinty tiba-tiba mengintrupsi dari seberang sana, menghentikan Miftah yang rencananya ingin menceritakan hal konyol yang dia alami dan lihat tadi. “Tadi ... Abdan tiba-tiba Dm aku di i********: ... terus, hem ....”
“Terus apa? Apa isi pesannya? “tanya Miftah tidak sabaran.
“Janji gak marah?” Pertanyaan Sinty, sukses memancing jiwa parnok Miftah keluar.
“Eh, emang tentang apa? Jangan bilang dia nebak Lo ya? Astagfirullah, Sinty, jangan diterima. Pacaran dosa woi, tambah lagi orangnya macam Abdan. Ih doubel bencana,” sahut Miftah heboh sendiri.
“Eh, bukan ... bukan soal itu,” ralat gadis bermata almond di seberang sana.
“Lah terus? “ Kening Miftagmh berkerut. Tetap cantik meski belum skin care-an.... batinnya saat tanpa sengaja melihat pantulan wajah tembabnya dari cermin yang terletak di seberang kasurnya
“Hem, dia nanyain alamat rumah kamu,” jawab Sinty, sedikit ragu-ragu.
“Eh?” Jantung Miftah seketika bak mencolos mendengar kalimat terakhir Sinty.
Apa jangan-jangan tuh anak mau ngelabrak gue karena udah diam-diam masuk ke tempat rahasia mereka ya? Batin Miftah terus menerka dengan hipotesis yang buruk semua. Miftah jadi cemas.
“Tapi gak aku kasih.”
“Alhamdulillah ... “ pekik Miftah spontan. “Pokoknya jangan kasih info apa pun tentang aku sama tuh anak tiga,” tambah Miftah setelah bisa bernafas lega.
“Emang ada apa sih? Kamu terlibat masalah lagi sama Abdan? “
“Sekarang gak cuma Abdan, tapi juga dua temannya itu,” sahut Miftah setengah miris. Kenapa dia harus dapat musuh lagi sih ?
“Eh, masalah apa?”
“Hem ...” Miftah tertegun. Sinty sama sekali tidak tahu mengenai room, tongkrongan rahasia mereka. Ditambah lagi Miftah secara tidak sengaja juga sudah tahu masalah mereka, masalah yang mereka anggap aib, hingga tidak ada satu orang pun di sekolah ynag tahu, bahkan dinding sekolah sekali pun.
“Tapi katanya, ada barang kamu yang mau dia baliki.”
“Gak ada. Mana mungkin ada,” sahut Miftah yakin dua ratus persen. “Aku sama mereka itu bukan sahabat apa lagi teman. Mana ada barang aku di dia.”
“Tapi meja kalian depanan, kan? “
“Iya, tapi ... ah gak mungkin ada.” Miftah tertegun sesaat, entah kenapa kepercayaannya seratus persen sedikit goyah.
“Eh, tunggu dulu. Ada pesan masuk dari Abdan.”
“Apa isinya? “
“Dia kirim foto. Tunggu dulu, lagi loading.”
Miftah menyingkap jendela kamarnya, sudah lama rasanya ia tidak melihat langit malam. Meski langit malam nampak gelap karena sendari tadi hujan, Miftah tetap bisa merasakan kehangatan di dinginnya malam, yang tanpa sadar mengulas senyum pada wajah bulat gadis itu. Entahlah, satu hal yang selalu Miftah suka dari suasana malam, rasa dekat yang sulit Miftah jelaskan.
“Tuh, udah aku kirim ke WA kamu,” kata Sinty tiba-tiba dari seberang sana. “Kamu harus liat sekarang! “tambah Sinty yang langsung menggagalkan niat Miftah yang berencana membuka foto yang gadis itu kirim setelah panggilan telepon selesai.
“Emang urgen banget, ya? “ sahut Miftah. Ogah-ogah mengklik tombol unduh.
“Astagfirullah! Itu kan buku diary gue?! Kenapa ada di dia?” pekik Miftah tiba-tiba, matanya yang semula ogah, mendadak membelalak lebar. Miftah membenamkan kepalanya di bantal, rasanya dia ingin memiliki kekuatan super untuk bisa berteleportasi ke rumah Abdan sekarang juga.
“Jadi? Mau aku kasih alamat kamu ke dia? Biar dia balikin buku kamu.”
“Gak! Big No!” kekeh Miftah.
“Terus gimana buku diary kamu? Dia janji nih mau balikin sekarang juga.”
Miftah menghela nafas berat, sekarang tidak ada pilihan yang baik untuk bisa Miftah pilih. Memberi alamat rumahnya akan mengembalikan buku diary-nya miliknya dengan selamat, tapi resikonya entah ulah apa yang akan dilakukan cowok beralis tebal itu untuk membalas Miftah. Tidak diberi alamat, Miftah akan terhindar dari ulah tidak terduga Abdan, tapi resikonya buku diary akan menjadi santapan publik esok hari.
“Mif .. sinyalnya jelek ya? “
“Mif ... kamu masih di sana, kan? Kok gak ada suaranya, sih ?“
“Sinty, tolong kirim Al-Fatiah buat aku ya. Miftah binti Ahmad.”
“Eh, kok? “
**
“Bang ...” Miftah mengetok atau lebih tepatnya mengedor pintu kamar mungil abangnya dengan cepat.
“Kenapa sih, Dek, teriak-teriak? Lagi cosplay jadi gajah hutan? “ sewot Faud yang benar-benar kaget lantaran ulah adiknya itu. Faud kira ada gempa dadakan, karena gelas di atas meja kerjanya bergetar akibat Miftah yang mengendur kuat pintu tak berdaya kamarnya.
“Ayah sama bunda ke mana, Bang? “tanya Miftah cepat.
“Lagi pergi. Ada acara makan malam di rumah rekan ayah.” Faud kembali duduk di kursi kerjanya.
“Eh, tumben acara makan gak ngajak aku ?” gumam Miftah.
“Abang yang saran biar kamu gak diajak. Kamu kan lagi program diet, gak baik makan malam.”
Sudah Miftah duga, abangnya pelaku utama. “Aelah, Bang, sekali-kali kan gak papa.”
“Sekali-kali, gimana kalo makanan yang sekali-kali malah jadi daging? Tambah besar tuh badan kamu.”
“Is sih abang .... “ Miftah mendengus. “Gak boleh body shaming tahu, Bang ...”
“Siapa yang body shaming sih, abang juga wanti-wnati aja, jangan sampai badan kamu tambah besar. Bahaya buat jantung kamu.”
“Hem ... Bang ...,” panggil Miftah pelan.
“Hem ...,” sahut Faud cuek, kembali fokus pada lembaran kertas di atas mejanya.
Merasa kurang puas akan respon abangnya itu, Miftah kembali mengulang panggilannya, kali ini dengan nada sedikit naik satu oktaf. “Bang ..”
“HEM ...” dehaman Faud sudah tiada seramah tadi.
“Bang ...”
“Ck!Kenapa sih, Dek?” kesel Faud. “Abang mau fokus kerjain laporan nih! Ganggu aja. Ada apa?”
“Bang, kayaknya aku sakit deh ...,” jawab Miftah.
Faud menoleh sekilas, sebelum lagi-lagi fokus pada kertas bertumpuk di depan matanya. “Mana ada orang sakit, sesehat kamu ...”
“Ih beneran Bang, aku sakit tahu. Nih tenggorokan aku panas dalam, badan aku jug panas dingin,” kekeh Miftah.
“Kamu sejenis Ac ya? Panas-dingin. “
“Bang, Miftah serius nih.”
“Abang duarius. Udah dek, abang mau fokus nih ...,” pinta Fuad, entah sudah keberapa kalinya.
“Bang, beneran, Miftah sakit tahu ....” Miftah si kepala batu.
“Oke fine. Terus kenapa kalo kamu sakit?”
“Hem, tanda tangan di sini, Bang ...” Miftah langsung menyodorkan selembar kertas yang sudah ia isi tepat di hadapan Faud.
“Eh, kertas apa nih?” Faud refleks hendak membaca cepat surat yang Miftah sodorkan, tapi secepat itu juga Miftah menarik kembali suratnya.
“Langsung tanda tangan di sini aja, Bang.” Miftah menunjuk kolom tanda tangan. “Perwakilan karena ayah dan bunda gak ada di rumah.”
Faud mengernyit, menatap seksama Miftah yang nampak aneh dengan senyum lebarnya. “Biar abang baca dulu sini ... “
“Tinggal tanda tangan doang sih, Bang. Biar cepat.”
“Dari gerak-geraki kamu mencurigakan, jadi abang gak bisa kasih cuma-cuma tanda tangan berharga abang.”
Miftah mendesis kesal. Terpaksa memberikan surat keterangan izin sakit yang rencananya ingin ia berikan ke sekolah besok. Miftah melakukan semua ini, bukan lantaran dia ciper atau takut menghadapi g**g tampan, hanya saja, Miftah ingin menguatkan mentalnya sebelum menghadapi mereka.
“Ngapain kamu minta abang tanda tangan surat ini? “ tanya Faud tidak mengerti, todak biasanya Miftah mencari-cari alasan untuk tidak sekolah.
“Ya, kan, ayah sama bunda lagi gak ada di rumah.”
“Inikan masih malam dek, siapa tahu entar pagi kami udah gak sakit lagi? Know body know, right? “
“Ah, gak mau, Bang. Mau sakit besok pagi.”
“So? Kamu udah rencana entar pagi sakit?” Faud memicingkan matanya. “Ada gitu, sakit di atur.”
“Ya, makanya, Bang .. Kan malam ini aku sakit, makanya buat surat izin sakit.”
“Alasan aja, bilang aja kamu gak mau sekolah besok.”
“Nah itu tahu, Bang. Plis Bang ... bantu aku ya, masa sih abang gak mau bantu adik secantik dan seumur aku ....” Miftah memelas dengan pipi bulat yang menggelembung.
“Oke, abang bantu ...” Faud tersenyum samar, Miftah seketika jadi merinding melihat senyum abangnya itu. “Dengan syarat besok kamu ikut abang ke gym? Gimana? Dari pada kamu di rumah gak ada kerjaan ... “ Faud meraih kertas milik Miftah, namun dengan cepat gadis bertubuh gemuk itu mengambil kembali kertasnya.
“Enggak deh, Bang. Benar kata abang, mending sekarang aku tidur, biar entar pagi bisa sehat lagi. Bye ....”
Buru-buru Miftah kabur seribu bayangan dari kamar abangnya itu, kembali ke kamarnya dengan tangan kosong. Mending sekolah ketimbang ke gym dengan beragam alat berat yang bisa membuat tangan berlemaknya mengecil ... no way ... Miftah cinta lemak tubuhnya. Hastag #Save lemak tubuh Miftah.
Miftah menghela nafas panjang, kembali tanpa pikir panjang menjatuhkan tubuhnya di kasur. Pikirannya melayang jauh, merindukan buku diary berwarna hijau terang, Miftah menyesal dulu tidak mendengarkan saran batinnya untuk tidak memilih sampul buku berwarna terang, pasalnya warna terang selalu sulit berkamuflase di bawah laci meja.
Nasi sudah menjadi bubur, toh, Miftah juga suka bubur. Jadi ... ya, sudahlah. Miftah meraih bantal, menenggelamkan seluruh kepalanya di bawa bantal kesayangan yang dia cuci setiap weekend—menghindari adanya jejak iler.
Miftah hampir saja terlelap jika tidak tiba-tiba ponselnya di atas nakas berdering nyaring. Miftah ingin mengabaikannya, tapi tidak jadi setelah mengingat kalo dia meletakkan ponselnya nyaris di ujung bibir meja, terlalu banyak getaran akan membuat ponsel biliknya makin buluk. Dengan malas Miftah bangkit, meraih ponselnya. Ada dua pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
Besok jangan lewat pagar depan...
Bahaya ...
Mata Miftah menyipit, menelaah nomor tidak dikenal yang tiba-tiba mengirim pesan padanya. “Nomor siapa nih? “
Miftah mengecek nomor itu, tidak ada poto profil ... mencurigakan.
Lewat pagar belakang aja. Mereka punya rencana jahat buat Lo. Pokoknya jangan lewat pagar depan!
“Lah kok ngantuk sih? “ Miftah memutar malas bola matanya. “Apa lagi sih ini ? Trik murahan seorang bad boy macam Abdan. Ck! “
“Mereka kira gue bisa di tipu lagi gitu? “
“Gak akan! “
“Pake acara sok-sokan mau kasih tahu gue, biar gue lewat pagar belakang, terus rencana jahat mereka lebih mudah terlaksana, secara pagar belakang sepi dari pengawas guru.” Miftah tersenyum miring, tidak sia-sia selama ini dia sering menonton chanel konspirasi.
“Dasar gak kreatif! Basi! Mereka pikir keledai bakal jatuh di lubang yang sama?” Miftah menatap ke arah kaca di depannya. “Eh, kok keledai sih? Mana ada keledai sebesar gue ...”
“Maksud gue mana ada gajah jatuh ke lubang yang sama.” Gadis berpipi bulat itu spontan tertawa sendiri, atas ke random-nya. “Udah ah, gue ngantuk.”
“Bye !” tanpa pikir panjang Miftah langsung mematikan ponselnya.
.
.