“Permisi, Bu ...” Miftah mengetuk pelan pintu kelas, merasa sedikit ragu pada awalnya, sebelum gadis itu akhirnya memberanikan diri. Miftah merasa takut kedatangan malah mengganggu proses belajar-mengajar. “Bu, maaf ... apa saya boleh masuk? Tadi saya, Hem, baru saja dari toilet.”
“Iya, masuk aja,” sahut bu guru, tidak terlalu ambil pusing akan kedatangan Miftah yang bisa dibilang terlambat dua puluh menit lebih setelah pelajaran dimulai. Miftah buru-buru mengeluarkan bukunya, maksud hati ingin langsung ikut belajar tapi baru lima menit Miftah duduk, tiba-tiba perutnya kembali terasa mulas.
Satu menit berikutnya Miftah masih bertahan dengan rasa mulas pada perutnya, gadis berpipi bulat itu meredam mules perutnya dengan cara sedikit menunduk dan menekan perutnya, tiga menit selanjutnya, Miftah tidak lagi mampu menahan gejolak diperutnya. Gadis itu refleks bangkit mengangkat tangannya tinggi-tinggi
“Bu maaf ...”
“Iya, kenapa? “ tanya bu guru, sedikit tersenyum berpikir akhirnya ada juga orang yang aktif di kelas.
“Hem, bu, maaf, apa saya boleh izin ke toilet?” Miftah sedikit meremas perutnya, meminta mereka untuk tenang dulu.
“Oh, iya, silahkan ....”
Miftah langsung melesat ke kamar mandi. Di kamar mandi Miftah berdiam diri terlebih dahulu, barang kali rasa mules perutnya akan kembali. Tapi sudah lima menit rasa mules itu sudha tidak ada. Perut Miftah juga terasa sedikit lega. Gadis itu kembali ke kelas, dan yang terjadi seperti tadi. Berkali-kali Miftah meminta izin ke kamar mandi.
“Bu, boleh saya permisi ke kamar mandi? “ Wajar rama guru berusia tiga puluh tahun itu mulai hilang.
“Bu saya mau izin ke kamar mandi.”
“Bu saya... “
“Kamu mau ke kamar mandi lagi? “ potong bu guru mulai habis kesabaran. “Sudah berapa kali kamu ke kamar mandi? Kamu beneran ke kamar mandi atau bohong ke Ibu? “
Miftah langsung menggeleng cepat. Dia sama sekali tidak melimpir ke mana-mana. Tujuannya sejak tadi hanya kelas-kamar mandi.
“Terus ...”
“Maaf, bu ... tapi ..
Brrrrttt...
Seketika mata Miftah membulat, kali ini bukan hanya kentut yang keluar, tapi juga diikuti sesuatu yang keluar dari belakangnya, yang jelas sesuatu itu beraroma tidak enak. Miftah tidak tahu pasti, namun Miftah sadar betul kalo sekarang diam-diam murid sedang menertawakannya, lebih tepatnya tawa yang mereka tahan sejak tadi langsung pecah memenuhi satu kelas. Mereka sangat bahagia melihat Miftah kesusahan. Hanya bu Guru yang kebingungan tentang apa yang terjadi.
“Oh pantas aja dari tadi bau poop.”
“Iya ya, bau banget.”
“Ternyata ada yang cepirit.”
“Iuuuhhh ...”
Bu guru langsung memberi Miftah izin ke kamar mandi, tanpa peduli ejekan semua orang, Miftah buru-buru ke kamar mandi. Dan hal itu Miftah lakukan berulang-ulang kali. Perlu diketahui kamar mandi sekolah berjarak lebih dari sepuluh meter dari kelasnya. Bang Faud bisa bangga jika mengetahui rekor jalan cepat Miftah sepuluh kali bolak-balik—yang kalo kata bang Faud buang lemak jadi kalori, tapi kali ini bukan hanya membuang lemak, tapi juga hampir membuat gadis itu pingsan karena kehilangan banyak cairan.
Miftah mau tidak mau harus berdiam diri di UKS sebagaimana saran gurunya dengan harapan mendapatkan penanganan dari dokter yang berjaga. Bukannya mendapat penanganan, Miftah malah semakin jauh dari kamar mandi karena UKS terletak di sudut sekolah. Tidak ada dokter yang bertugas—secara kebetulan dokter yang hampir lima belas tahun sama sekali tidak pernah mengambil cuti setengah hari, tiba-tiba hari ini mengajukan cuti setengah hari untuk pertama kalinya. Pihak sekolah tentu saja tidak bisa menolak.
Kemudian Miftah disarankan untuk pulang, tapi tidak ada orang di rumah. Bunda yang biasanya mager keluar rumah mengaku keluar karena sayang voucher belanja 50 persen di toko kelontong yang sangat jauh dari rumah. Kasihan melihat kondisi muridnya, pihak sekolah h berinisiatif mengantar Miftah ke rumah sakit menggunakan mobil operasional sekolah, tapi hal itu rupanya juga gagal dikarenakan secara bersama dua mobil operasional sekolah mengalami pecah ban.
Tidak ada pilihan lain, Miftah tetap di sekolah dengan rutinitas bolak-balik ke kamar mandi dalam waktu hampir dua jam lebih.
“Ya Allah ... “ Miftah berjalan gontai ke kelas sembari memegangi perutnya yang melilit. Bel pulang sudah berdering nyaring. Hari ini Miftah sama sekali tidak mengikuti pelajaran apa pun. Dia datang telat, dihukum, bolak-balik ke kamar mandi dan sekarang harus pulang dengan tubuh lemas. Tidak ada satu orang murid dari kelasnya yang berbaik hati untuk sekedar membawakan tasnya ke ruang UKS.
Miftah sudah seperti seonggah daging yang berjalan tanpa tenaga, wajahnya pucat, tubuhnya lemas dan langkah tertatih-tatih.
“Biar tahu rasa tuh cewek buriik ...,” suara Abdan menghentikan langkah Miftah. Miftah dengan cepat langsung menarik kembali langkahnya, bersembunyi dari jangkauan mata mereka. Beruntung mereka belum melihat Miftah.
“Yap! Gue setuju, hari ini semua rencana kita berjalan sempurna,” sahut Vidi. Miftah mengintip dari celah engsel pintu yang sedikit memberikan akses bagi Miftah untuk melihat mereka.
“Tapi obat yang Lo kasih aman, kan?” tanya David dengan wajah datarnya.
“Tenang aja. Gak sampai mati kok, paling mules doang,” sahut Abdan, sama sekali tidak merasa bersalah sedikit pun atas kondisi Miftah yang sekarang terlihat seperti mayat hidup.
“Emang Lo kasih obat apa?” sahut Vidi sembari menahan tawa, mungkin teringat akan kejadian Miftah yang kentut di kelas.
“Obat pelangsing. Makanya dia bolak-balik ke kamar mandi,” jawab Abdan yang langsung disambut semburan tawa Vidi dan disusul David.
“Dav, Lo mau langsung pulang ?” Abdan menghentikan langkah yang sudah di ambang pintu. Miftah cepat-cepat menyembunyikan dirinya di balik dinding.
David membenarkan posisi tasnya sebelum mengangguk pelan, menyusul langkah Davis. “Hukuman orang tua gue, gak bisa di ganggu gugat.”
“Ke room bentarlah. Mabar game online dulu. Lagian orang tua Lo juga gak bakal tahu kalo sebentar doang,” bujuk Vidi.
“Gue di jemput,” sahut David.
“Oh ya udah, kita berdua duluan ya. Mau ke room.” Abdan keluar duluan disusul Vidi dan terakhir baru David. David terlihat diam sesaat memandangi punggung kedua sahabatnya, terdengar hembusan nafas panjang, nampak cowok bermata cokelat muda itu ingin bergabung dengan keduanya, tapi ia tidak berdaya. David mulai melangkah ke arah yang bertolak belakang dari Abdan dan Vidi, yang memilih lewat pagar belakang.
“Oh jadi semua ini ulah mereka ...” Miftah berdecak pelan. Mendengar percakapan mereka tadi, rasanya Miftah ingin loncat, menjambak rambut mereka, lalu mengacak-ngacak wajah tampan mereka hingga hilang rasa sombong di wajah itu, tapi rasanya itu sia-sia saja, perutnya terlalu sakit dan tenaganya juga sudah habis. Toh, membalas kelakuan jahat hanya akan menjadikannya dirinya lebih jahat dari mereka bertiga Jika mereka monster, lalu Miftah apa? Miftah hanya bisa mengelus d**a sembari meredam rasa kesal dibenaknya.
Setelah memastikan tiga cowok itu benar-benar pergi, Miftah kembali melanjutkan langkah masuk ke dalam kelas untuk merapikan buku dan semua miliknya ke dalam tas. Miftah sudah mengirim pesan pada abangnya untuk segera menjemputnya.
Tiba-tiba ponsel Miftah berdering. Panggilan masuk dari bang Faud.
“Dek, abang udah di tempat biasa.” Miftah beranjak keluar kelas. Gadis itu berjalan sangat pelan untuk meminalisir rasa nyeri di perutnya.
“Bang ... kali ini, aku mohon banget buat jemput di depan pagar sekolah. Aku dari tadi diare, Bang. Bolak-balik ke kamar mandi. Rasanya aku gak kuat buat jalan lagi.” Entah angin dari mana, tanpa banyak protes Faud menyetujui permintaan Miftah. Miftah memutuskan untuk menunggu di dekat pos satpam.
“Tolong jangan ikut campur! “ Miftah menoleh, tanpa sengaja menangkap dua orang yang berdiri saling jauh-jauhan, Wulanda dan David. Keduanya seperti musuh yang tanpa sengaja berpapasan. Kilat mata Wulanda terlihat sangat tajam, sedangkan David datar seperti biasanya.
“Memangnya kenapa? Lo gak berhak ngatur gue!” sergah Wulanda, membuang wajah.
“Ini bukan urusan Lo. Jadi tolong, jangan cari masalah.”
“Semua yang berhubungan sama Abdan adalah masalah gue! Gak akan gue biarin Abdan menang! “
“Jangan gegabah Wulanda! “
“Apanya yang gegabah?! Gue ngelakuin semua ini secara SADAR!”
“Buat apa?! Buat cari perhatian Abdan? “
“Ha! Jijik gue dengarnya! Dulu gue emang suka sama orang berhati batu itu, tapi sekarang, bahkan gue gak sudah pada bayangannya.”
“Dengan ngelakuin ini ... Lo malah akan semakin jauh dari Abdan,” sahut David setelah memberi jeda pada percakapan mereka.
“Gue gak peduli !” Wulanda hendak melangkah pergi.
“Tapi ... gue peduli.”
Kalimat David barusan membuat langkah Wulanda seketika terhenti. Gadis itu nampak tertegun sesaat, sebelum sadar dan kembali melangkah lebar, meninggalkan David yang nampak tidak berniat menghentikan langkah gadis bermata terang itu.
**