Screat

1820 Words
Gue bahagia ... Gue cantik... Gue berharga ... “ Narsis banget deh tuh buriik,” Abdan mendengus kesal. Dia pikir ada rahasia atau apalah yang menarik selayaknya buku diary yang bisa Abdan gunakan untuk mempermalukan Miftah. Gue bahagia ... Gue cantik.. Kamu berharga ... Abdan kembali membalik dengan cepat lembar selanjutnya. Masih dengan harapan bisa menemukan rahasia memalukan gadis itu Gue bahagia... Gue cantik... Kita berharga. .. “Apaan sih nih kalimat. Gak jelas banget!” “Ini buku diary apaan sih? Dari tadi isinya cuma kalimat kayak gini doang. Kalimatnya gini-gini doang. Udah buriik, gak kreatif lagi. Ck! “ Tok .. tok... tok... “Den... “ Suara bi Siti memecah kekesalan Abdan. “Iya, Bi, kenapa? Masuk aja,” sahut Abdan yang memang sengaja tidak mengunci pintu. “Den lupa ya, aden harus minum obat.” Bi Siti membawa nampan di tangannya. Alis Abdan refleks terangkat, bi Siti selalu membawa obat di jam yang sama. Dua jam setelah makan malam. “Oh iya, Bi. Taruh di situ aja. Nanti aku minum,” sahut Abdan. Bi Siti mengangguk patuh. “Jangan lupa diminum ya Den,” katanya seraya meletakkan gelas dan beberapa obat di atas nakas. “Hem ...” Abdan bergumam pelan, perhatiannya masih terpaku pada buku diary menyebalkan milik Miftah. “Aden lagi sibuk baca apa? Buku pelajaran ya? Kok warnanya kayak gitu? “ tanya bi Siti, yang ternyata pandangannya juga terpaku pada buku yang Abdan pegang. “Ah, ini, bukan buku pelajaran Bi.” Entah kenapa Abdan sedikit panik dan tanpa sadar langsung menyembunyikan buku berwarna ungu mencolok itu. “Warna bukunya kayak punya cewek,” sahut bi Siti dengan ekspresi seolah ibu yang sedang menangkap basah anaknya yang sedang jatuh cinta. Sial.... “Eh ... “ Abdan sedikit kaget karena tebakan bi Siti benar, tapi Abdan ingat kalo Miftah buka cewek tapi gentong. “Emang cowok gak boleh suka ungu, Bi? “ sahut Abdan. “Boleh sih,” jawab bi Siti cepat, tapi setelahnya wanita paru baya itu nampak berpikir sejenak. “Eh, tapi den Abdan kan gak suka warna ungu? Dulu pas masih kecil, Den bilang benci warna ungu karena selaku mimpi buruk setiap gak sengaja liat warna ungu. Bahkan semua mainan Den yang ada warna ungunya, Den minta buat dikasih ke orang aja.” Abdan memutar bola matanya, tidak mengira topik warna saja bisa jadi sepanjang ini. Abdan jelas ingat semua yang bi Siti katakan, tapi Abdan sama sekali tidak tahu alasan dia dulu sangat tidak suka dengan warna yang pada masa Yunani sangat sulit untuk dimiliki dan hanya kalangan bangsawan yang biasanya memakai warna yang berasal dari siput—entah namanya apa. “Kan setiap orang tumbuh dan berkembang, Bi. Jadi gak harus sama kayak waktu kecil. Bibi punya kebiasaan main karet pas masih kecil. Terus pas udah besar, apa kebiasaan itu gak akan berkembang mengikuti pola pikir Bibi? Tentu aja kalo bibi masih suka main karet, pasti perspektif dan tujuan mainnya juga beda,” jawab Abdan sok diplomatis.. “Right ..?” Bi Siti refleks tertawa pelan. Berbicara dengan orang yang mengenyam bangku pendidikan memanglah meribetkan, satu kalimat singkat bisa dibuat sepanjang rel kereta. Padahal intinya cuma, sekarang Abdan sudah suka warna ungu. “Bibi lupa kalo Aden udah besar sekarang, ingatnya Aden kecil terus. Yang pipinya gemoy sambil bawa mangga dari halaman rumah orang.” Astagfirullah, kelam sekali masa kecilnya. “Ih bi, kenapa malah dibahas sih adegan memalukan kayak gitu. Padahal banyak loh adegan heroik yang aku lakukan pas masih kecil.” “Hal yang buruk emang lebih ngena, Den. Kalo adegan heroik den Abdan bibi banyak dah lupa.” “Kok lupa sih, dulu loh aku sering ...” tiba-tiba Abdan terdiam. Dia ingat punya masa kecil yang hangat, tapi apa? “Pokoknya banyaklah Bi. Jangan diingat yang jeleknya doang.” “Udah ya Den. Bibi mau balik ke dapur. Mau beres-beres.” “Iya, Bi.” Begitu bibi pergi, Abdan langsung mengunci pintu kamarnya. Cowok bermata biru hazel itu menoleh sekali lagi memastikan kalo hanya tinggal dirinya di kamar. Setelah merasa aman, Abdan segera membuang semua obat yang bi Siti berikan. “Gue sehat kok, kenapa juga harus minum obat terus? “ gumam Abdan sembari tersenyum puas, menyisir rambutnya dengan jari – jemarinya. Abdan menyingkap luka gores yang ada di bagian depan kepalanya. “Lagian ini cuma luka kecil, kenapa harus minum obat?” “Obatnya sama sekali gak berfungsi. Gue gak minum juga biasa aja.” Yap! Abdan sudah melakukan praktik ini hampir satu pekan belakang dan dia masih baik-baik saja seperti Abdan biasanya, hanya makin kesepian saja. Biasanya cowok bermata biru itu selalu rutin minum obat, meski dia tidak tahu kenapa harus terus minum obat. Abdan berpikir bahwa semua ini murni karena orang tuanya yang terlalu mencemaskan dirinya, mereka menganggap serius luka gores yang bahkan Abdan tidak ingat kapan mendapatkannya. Luka gores itu juga tidak pernah membuatnya sakit. Jadi buat apa dia minum obat? “Kenapa mama dan papi malah mahal-mahal buat beli obat gini ?” Abdan tertegun sejenak, Abdan sudah beberapa kali mencari informasi mengenai obat-obat yang ia minum, tapi Abdan tidak pernah mendapat jawab yang pasti. Abdan tidak tahu apa nama obat yang ia minum. Bahkan bi Siti yang selalu mendapat tugas memberikan Abdan obat pun, tidak pernah melihat bungkus resmi obat ini. Bi Siti hanya diamanatkan bungkus bening yang diberi keterangan harus di minum berapa kali. Alhasil Abdan hanya bisa menulis ciri-ciri obat yang dia minum. Tapi itu rupanya sia-sia. “Den ....” Suara bi Siti dari luar membuat Abdan refleks terlonjak kaget, khawatir obat yang buang di kotak sampah ketahuan. Bi Siti tumben balik lagi ke sini? Apa jangan-jangan dia tahu kalo gue sering buang obatnya? “Eh, iya Bi, kenapa? “ sahut Abdan cepat berusaha menyembunyikan rasa paniknya. “Ini Den, ada yang kirim paket buat den Abdan,” sahut bi Siti dari luar. “Paket? Dari siapa sih? Ganggu aja,” gumam Abdan tidak suka. “Den ... Den... “ bi Siti mengetuk pintu kembali, merasa tidak ada tanggapan dari Abdan. “Gimana pakemnya, Den? Mau bibi taruh di mana? “ “Hem, Bi, taruh di depan pintu aja. Entar aku ambil. Aku malas gerak, Bi.” “Ya udah, Den. Bibi taruh di samping pintu ya, hati-hati ke tendang, kayaknya barang pecah belah. “ “Iya, Bi. Makasih ya, Bi.” “Iya Den ...” Abdan memusatkan pendengarnya untuk memastikan langkah bi Siti mulai menjauh dari kamarnya. “Kayaknya udah aman deh.” setelah itu Abdan membuka sedikit pintu untuk memastikan sekali lagi, bi Siti benar-benar sudah tidak ada. Secepat kilat Abdan keluar, mengambil kotak pake lalu masuk ke kembali ke kamar. Tidak lupa Abdan langsung mengunci pintu kamarnya. “Paket dari siapa nih? “ Abdan mengamati dengan cermat kotak yang berukuran kecil itu dengan seksama, di atas kotak itu tidak ada nama pengirimnya, Abdan ragu untuk membukanya, secara diakan punya musuh, jadi, tidak bisa menutupi kemungkinan kalo kotak ini berbahaya. “Tapi kayanya gak deh,” Abdan menimbang kembali, cowok bermata biru hazel itu refleks mengguncang sedikit kotak hingga terdengar suara gemerincing berat dari kotak. “Apa mungkin dari fans gue? “ Menjadi orang tampan memang tidak selamanya mudah, Abdan sering mendapat banyak hadiah mulai dari cokelat, bunga atau kumpulan foto dirinya yang difoto diam-diam dan dijadikan album, biasanya mereka diam-diam akan menaruhnya di bawa meja atau loker—salah satu alasan Abdan setiap satu pekan sekali bertukar loker dengan adik kelas dan duduk di tempat yang berbeda-beda. Sangking banyaknya, terkadang Abdan sampai bingung harus dia apakan dengan benda dan makanan yang ada. Tidak jarang, jika suda sangat bingung Abdan diam-diam membuangnya. Hadiah-hadiah itu dikirim oleh para fans garis keras Abdan, yang menamakan diri mereka sebagai Love and secret. Di gadang-gadang hampir semua orang di sekolah mengetahui eksistensi perkumpulan dan sepak terjang mereka mengenai Abdan. Abdan sering mendengar bahkan perkumpulan ini memiliki ketua, yang selalu menjadi otak atas semua perbuatan mereka. Dari isu yang beredar mereka memiliki jumlah anggota hampir seperempat siswi di sekolah. Meski begitu besar, keberadaan mereka hanya bisa dirasakan sesuai namanya love and secret, mereka semua lebih memilih bersembunyi di dalam bayang-bayang, tidak terlihat. Hanya mereka yang menjadi anggota yang bisa mengakses semua itu. “Dari mana mereka tahu alamat rumah gue? “ Abdan mendengus, kesal. Awalnya Abdan tidak keberatan akan keberadaan perkumpulan ini, namun Abdan mulai risih saat mereka mulai berulah tidak hanya di sekolah, tapi juga membuntutinya sampai ke rumah. Mereka melakukan formula yang sama untuk menarik perhatian Abdan. Mengirim banyak hadiah dan foto-foto Abdan. Memang yang mereka kirim kan, bukan hal-hal berbahaya, tapi tetap saja Abdan merasa risih, seolah hidupnya terus berada dalam jepretan kamera mereka. “Gawat nih kalo beneran ada yang tahu alamat rumah gue. Masa iya gue harus pindah rumah lagi gara-gara ini?!!” dengus Abdan kesal. Abdan sudah meminta mereka secara terang-terangan untuk berhenti, tapi mereka malah makin sering memberikan hadiah pada Abdan bahkan sampai diam-diam meletakan kamera CCTV di depan pagar rumah Abdan, agar selalu tahu kapan Abdan di rumah dan kapan Abdan pergi. Mengetahui anaknya di stalker orang yang tidak dikenal, kedua orang tua Abdan langsung bertindak demi keamanan anak semata wayang mereka. Dengan membawa masalah ini ke ranah hukum. Masalah ini sempat membuat satu sekolah heboh, perkumpulan love and screat pun mendadak hilang, sekolah meminta damai dan berjanji akan mempertegas aturan sekolah mengenai hak ini. Tidak ada perkumpulan yang boleh ada di dalam sekolah. “Tapi, apa mungkin itu mereka? “ Abdan hendak membuka kotak paket itu, namun pergerakan tangannya terhenti saat tiba-tiba ponselnya yang berada di atas kasur berdering nyaring. Ada pesan beruntut yang di kirim. . “Gimana, kamu suka sama hadiah khusus yang saya berikan? Abdan segera membalas pesan itu. “Dari mana Lo tahu alamat baru rumah gue? “ “Saya selalu tahu, apa pun tentang kamu.” “Dari mana Lo tahu nomor dan alamat rumah gue?! “ Dengan cepat orang dibalik nomor pribadi itu membalas pesan yang Abdan kirimkan. “Karena saya ketua perkumpulan love and screat. Jadi mustahil saya tidak tahu tentang kamu.” Abdan berdecak kesal. “Ketua? Siapa nama Lo ? Kalo Lo emang Abdan lovers, gue ajak Lo Ketemuan di kantin besok siang. Setelah jam masuk kelas.” Jika kalian berpikir Flo yang merupakan kandidat terkuat untuk berkemungkinan menjadi ketua dalam perkumpulan ilegal ini, tentu itu tidak benar. Gadis seceroboh dan seblak-blakan Flo tidak akan bisa menyembunyikan dirinya bahkan satu menit pun. “Maaf saya tidak bisa. Saya sudah terbiasa dengan mencintai mu dalam hening. ‘ Abdan tersenyum miring. “Kalo Lo emang suka sama gue. Seharusnya Lo turutin permintaan gue. Gue penasaran orang seperti apa Lo sebenarnya.” “Maaf, saya tidak bisa.” “See, jadi cuma segitu rasa suka Lo sama gue? “ “Tidak. Kamu tidak akan mengerti bagaimana besarnya rasa suka saya pada kamu.” Abdan tersenyum sinis, umpannya berhasil ditangkap. Abdan sengaja melemparkan sisi ego seorang yang selalu bersembunyi itu. “Saya akan datang.” **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD