Kentut

2335 Words
Sudah hampir sepuluh menit Miftah di kamar mandi, mondar- mandir menanti kedatangan Wulanda. Miftah tidak tahu, Wulanda akan menepati janjinya atau tidak, yang terpenting bagi Miftah, ia sudah memenuhi janjinya pada Wulanda. “Kalo lima menit lagi dia gak datang, udah fiks gue balik ke kelas,” putus Miftah, mulai tidak tahan di kamar mandi, bukan karena kamar mandi sekolahnya bau atau ada hal mistik atau sejenisnya. Namun lebih ketidak enak hati mendapati siswi terperanjat kaget karena ada Miftah di sana. Miftah jadi berasa jin dadakan.. “Fiks, satu menit lagi.” Miftah menghidupkan-mematikan layar ponselnya, mencoba mencari kesibukan. “Dia gak datang.” Miftah baru hendak membuka pintu bilik, tapi tidak jadi, lantaran Wulanda terlebih dulu mendorong pintu bilik dan membuat Miftah mau-tidak mau kembali terdorong masuk ke dalam “Nih sausnya ...” Wulanda melempar pelan botol plastik berukuran sedang. “Setidaknya badan yang kena semprot gak bau-bau amat.” “Terus pas pulang, Lo google-ing aja cara ngilangi bau semprotan sigungnya. Yang pernah gue baca sih, baunya bisa bertahan tiga pekan kalo gak di netralisir. Jadi ikutin tutor yang bener di google. Entar kalo gue gak sibuk, gue kirim link ke Lo.” Miftah mencerna baik-baik apa yang Wulanda sampaikan, kepala gadis itu spontan mengangguk-ngangguk pelan. “So ...” Wulanda menatap Miftah dengan sebelah alis yang terangkat. Membuat Miftah bingung, kenapa tiba-tiba Wulanda melihatnya seperti itu. “Lo paham, kan?” “Hem, iya, insyallah gue paham.” “Terus ....” “Hem? Terus apa? “ Miftah refleks mengaruk alisnya, bingung. “Oh iya, gue belum bilang makasih ke Lo.” “Hem ...” Wulanda berdeham pelan. “Terus? “ Sekarang giliran Miftah yang menatap bingung Wulanda. Berasa lagi sama tukang parkir deh, terus-terus muluk. “Lo gak mau balik ke kelas? “ “Ha? “ “Oke fine. Biar gue aja yang keluar.” “Eh, Lo mau ke mana? Gak balik ke kelas juga? “ Wulanda menghentikan pergerakan tangannya yang sudah menempel di daun pintu. Gadis bermata bulat itu menolak kecil ke arah Miftah. “Udah gue bilang, Lo gak perlu urusin urusan gue!” “Hem, maaf, tapi kan ...” Miftah berdeham pelan. “Perlu gue tekanin sekali lagi. Gue bantu Lo bukan karena gue peduli sama Lo atau mau jadi teman Lo. Jadi, gak usah sok akrab. Anggap kita gak pernah saling kenal. Oke? !” Wulanda membalik tubuh sepenuhnya menghadap pintu yang sudah siap di dorong. “Loh kenapa?” Lagi-lagi Miftah mengintrupsi pergerakan Wulanda. Membuat gadis itu menghela nafas berat. “Anggap itu sebagai cara Lo balas budi ke gue,” sahut Wulanda kali ini enggan menoleh. “Wulan, rasanya gak adil kalo Lo nutup diri kayak gini. Yang kecewain Lo kan cuma Abdan, tapi kenapa Lo narik diri dari semua orang? “ “Lo gak tahu apa yang terjadi. Lo cuma pihak luar, yang hanya mendengar sebagian dari kisah gue. Dan gue tekanin sekali lagi, jangan mencoba buat dekat sama gue! “kata Wulanda dingin. Dari nada suaranya terdengar ada banyak luka yang gadis itu simpan. “Btw, thank sekali lagi.” Miftah mengatakan kalimat itu kembali sebelum Wulanda benar-benar pergi dari sana. “Hem ...” Hanya itu respon yang Miftah dapat dari Wulanda yang sudah berjalan berlalu. “Iss, wajah kayak bidadari tapi mulutnya pedas banget kayak bubuk cabe,” gumam Miftah tanpa sadar. “Tapi hatinya baik.” ** Sinty menghela nafas panjang, sebenarnya dia enggan ke kantin, terutama di jam istirahat. Pasalnya kantin bagai pasar di jam istirahat, semua murid seolah tumpah ruang di kantin, memenuhi setiap sudut kantin. Namun Sinty tidak tega hati untuk tidak membelikan Miftah makanan, hari ini Sinty terlupa akan janjinya untuk selalu membawakan makan untuk Miftah selagi name tag-nya belum selesai. “Lo Sinty, kan? “ “Ha?” Sinty berbalik. Tubuh gadis itu mendadak membeku begitu mengetahui siapa orang yang baru saja menyapanya, yang sekarang merubah posisinya menjadi berdiri di depan Sinty. “Meski satu sekolah, ini pertama kalinya gue liat Lo,” lanjut Abdan. “BTW, Gue suka banget foto-foto pemandangan hasil potret Lo di i********:. Semuanya keren parah.” “Hah, kamu liat foto-foto itu? Cowok bermata biru hazel itu mengangguk pelan. “Iya. Dan semuanya gue suka.” “Suka?” Tanpa sadar senyum mengembang di wajah Sinty, nyelenehnya Sinty malah berkhayal Abdan sedang melamarnya, astagfirullah... “Hem, maksud aku, kamu suka foto itu?” “Kamu—“ “Eh, maaf, maksud aku, hem, gue—“ potong Sinty panik. Sinty tahu betul kalo kata aku-kamu tidak semua orang Jakarta terbiasa. Apalagi untuk orang yang sekedar saling mengenal. Melihat ekspresi panik Sinty, membuat Abdan terkekeh pelan. “Its okey. Gue tahu Lo gak biasa pake gue-lo, kan? Gak papa kok. Senyaman Lo aja mau pake apa aja.” Sinty refleks menunduk malu. “Lo ke sini, hem ..” Abdan refleks mengedarkan pandangannya sebelum melanjutkan pertanyaannya . “Eh, Lo ke kantin sendirian? “ “Ha? Hem, iya.” Sinty kembali menunduk dalam, diam-diam gadis itu diam-diam meraba dadanya. Jantungnya berdebar sangat cepat, nafasnya juga mendadak berantakan padahal dia tidak melakukan apa pun. “Mau jajan? “ tanya Abdan tiba-tiba. “Hem, itu, aku mau beli beberapa makanan,” sahut Sinty masih dengan rasa gugup yang belum kunjung pergi. “Kalo gitu gue temenin aja. Gue juga sendirian ke kantin. Sekalian ucapan makasih gue, gue sering banget ngerepotin Lo.” “Eh, hem, aku gak makan di sini.” Alis Abdan terangkat, penasaran. “Itu, aku biasa bawa makanan dari rumah. Aku ke sini mau beli makanan buat Miftah.” “Oh, gitu, ya udah, biar gue aja yang beliin. Mau beli apa? “ “Ha?” Sinty tidak menyangka Abdan akan dengan baik hati menawarkan diri untuk membantunya. Bunga-bunga di hati Sinty, rasanya mulai bermekaran memenuhi d**a gadis itu. “Bolehkan gue bantu Lo? “Hem ... “ Sinty bimbang. Hatinya berkata tidak, tapi kepalanya dengan spontan mengangguk pelan dan anggukan itu sudah membuat Abdan melesat ke kantin tanpa bisa Sinty cegah. . . “Miftah, maaf ya aku telat,” ujar Sinty merasa bersalah melihat sahabatnya itu nampak lesu menanti kedatangannya “Sebenarnya aku lupa bawa makanan buat kamu. Makanya tadi aku ke kantin dulu.” “Eh, gak papa, gak usah minta maaf.” Miftah tersenyum lebar meski perutnya sejak tadi terus berdemo. Refleks mengikuti pergerakan Sinty, yang hendak duduk di bangku kosong sebelahnya. “Kamu udah lapar banget ya? “ Sinty langsung menyodorkan dua roti cokelat dan satu botol air mineral pada Miftah, yang sudah tidak sabar untuk segera melahapnya. “Iya, tadi aku telat. Terus di suruh lari keliling lapangan.” “Ya udah buruan makan gih. Jangan lupa bissmilah, sama jangan buru-buru makananya entar keselek.” Sinty terkekeh melihat Miftah yang tampak berambisi melahap roti berukuran jumbo dalam satu kali lahap. “Ehe, iya ...” Miftah jadi malu sendiri. “Eh, tapi kamu udah makan? “ “Hem, aku belum lapar banget sih. Kamu makan aja duluan.” “Beneran nih? Rotinya bagi dua aja.” “Gak usah, entar kamu gak kenyang. Beneran aku masih kenyang banget,” sahut Sinty penuh keyakinan sembari mengeluarkan ponselnya yang dari tadi bergetar. Senyum terbit begitu saja saat Sinty tahu notif apa yang ada di ponselnya. “Ada berita bagus ya? Kayaknya dari tadi kamu gak bisa tahan, buat gak senyum. Ceritai dong,” tanya Miftah setelah menelan kunyahan pertamanya. “Hem, aku mau tanya kamu ...” Sinty mengalihkan pandangnya dari ponsel pada Miftah. “Menurut kamu, wajar gak sih kalo orang suka foto kita? “ “Foto kita? “ Miftah bergumam tidak paham. “Hem, maksud aku foto pemandangan di i********: aku.” “Oh, itu... “ Miftah mengangguk-ngangguk pelan seraya kembali mengunyah. “Hasil Foto kamu di i********: bagus-bagus sih, jadi... wajar aja kalo ada yang suka.” “Wajar ya? “ Sinty membeo seperti nampak kecewa akan kalimat terakhir itu. “Emang kenapa? “ “Semua foto di like. Itu wajar? “ tanya Sinty lagi. “Hem ...gak spesial sama sekali? “ “Hem... “ Miftah berpikir sejenak. “Aku like semua foto kamu di Instagram.” “Ya, karena kamu sahabat aku. Terus kamu udah follow aku dari lama. Jadi wajar kalo. Kamu like.” “Terus? “ “Maksud aku tuh ... semua postingan bahkan postingan lama-lama juga di like.” “Berarti dia stalker dong.” “Ha? Stalker?” Mata almond milik Sinty refleks membesar dua kali lipat dari biasanya, seulas senyum juga muncul malu-malu pada wajah Sinty. “Artinya penasaran gitu? “ “Bisa jadi. Dan kemungkinan ada ketertarikan, entah penasaran karena perasaan atau kagum gitu.” “Hem, perasaan ...” wajah Sinty tiba-tiba bersemu merah. “Sin, kamu sakit? “ “Ha? “ “Wajah kamu loh tiba-tiba merah gitu? Kamu habis makan udang ya? “ Sinty refleks meraba wajahnya, baru sadar ternyata selain udang, Abdan juga bisa membuat wajahnya bersemu merah seperti ini. “Gak kok. Alhamdulillah, aku baik-baik aja,” sahut Sinty cepat. “Malah sangat baik.” “Seriusan? Kamu gak bohong, entar tiba-tiba pingsan aja. Kantin tadi rame banget ya? Kamu pasti harus ngantri lama.” “Gak Mif, aku serius,” sahut Sinty sungguh-sungguh. “Btw makasih ya udah beliin aku roti isi cokelat. Aku suka banget deh.” “Itu sebenarnya—“ Brak! Miftah dan Sinty terperanjat kaget. Flo dan Flores tiba-tiba masuk ke kelas dan langsung menggebrak meja di dewan wajah mereka. Beruntung saat jam istirahat seperti ini, tidak banyak orang di kelas sebelas IPA dua, atau lagi-lagi Miftah akan jadi pusat perhatian. “Eh, cewek gatal! “ Dengan wajah merah padam Flo menunjuk Sinty dengan telunjuknya. “Berdiri Lo! “ Meski bingung, Sinty bangkit menuruti apa yang Flo katakan. Selain cantik, baik dan lemah lembut, Sinty juga sosok gadis yang bisa dibilang penurut, bahkan pada Flo yang seperti tidak datang untuk etikat baik—Inilah yang kadang membuat Miftah takut kalo Sinty jatuh cinta pada Abdan. Miftah takut Abdan hanya mempermainkan hati gadis sebaik Sinty. “Jangan kegatalan jadi cewek. Sok cantik! Lo pikir Lo siapa, bisa ngerebut prince gue, ha?! “ teriak Flo. “Flo, Lo apaan sih, datang-datang malah marah kayak orang kesurupan. Hati-hati tuh orang Lo terbang, dari tadi kembang kepis muluk.” Tidak terima, Miftah ikut bangkit dan menepis keras telunjuk Flo. “Eh! Tutup mulut Lo! Gue gak ada urusan sama gentong kayak Lo!” sergah Flo, nampak seperti sedang kesetanan. “Sinty itu sahabat gue. Kalo Lo ganggu dia, gue gak akan tinggal diam,” sahut Miftah tak gentar melihat tatapan tajam Flo. “Eh, buriik, gak usah banyak bacot deh Lo! Gak usah sok jadi pahlawan kesiangan!” seru Flores yang sedari tadi setia berdiri di samping Flo, mendorong keras bahu Miftah. “Biarin jadi pahlawan kesiangan, yang penting pahlawan. Lah Lo, apa coba? Bisanya jadi ekor Flo doang.” “s**l Lo! “ Flo hendak kembali mendorong bahu Miftah, t*i kali ini tidak berhasil, Miftah dengan cepat menggeser tubuhnya, Flores hampir terjengkang ke belakang karena aksi dadakan Miftah itu. “Gue peringatan untuk terakhir kalinya! Jauh-jauh dari prince gue! “ seru Flo. “T-tapi, aku gak deketin Abdan, dia yang deketin,” ujar Sinty. “Idih, besar kepala banget nih cewek. Terus, kenapa kalo Abdan deketin Lo?! Lo pikir dia bakal suka sama cewek cupu macam Lo?! “ “Cewek yang bisanya cuman nangis!” “Jauh bagusan Sinty kemana-mana. Dia pintar dan gak bar-bar kaya Lo! “ sahut Miftah. Sedikit gereget karena Sinty nampak tidak ingin membalas hinaan Flo. “Eh, diam Lo ya gentong! “ bentak Flo. “Mulut kalian berdua yang seharusnya diam! Mending kalian pergi sekarang deh!” balas Miftah. “Sekali lagi gue liat Lo deketin Abdan, gue gak akan segan-segan buat ...” ancam Flo berusaha untuk terus mengintimidasi Sinty. “Buat apa?” Sinty tiba-tiba mengangkat kepalanya, mulai tidak terima dengan tindakan Flo. Sinty bisa mentolerin semua hinaan, cacian atau apa lah itu mengenai dirinya, tapi Sinty paling tidak bisa mentolerin ancaman kaleng seperti ini. “Kamu gak berhak buat ngatur-ngatur hidup saya! Mau saya bertema, ketemu, ngobrol sama siapa aja itu hak saya. Kamu gak ada hak buat membatasi itu!” “Lo gak tahu siapa gue?! Gue—“ “Saya gak peduli kamu siapa. Mau kamu anak pejabat di sekolah ini, anak donatur, atau penghuni sekolah, saya gak peduli! Saya di sini bayar, dan itu artinya saya punya hak yang sama seperti yang lain,” potong Sinty cepat. Diam-diam Miftah yang berdiri di samping Sintu, tersenyum puas. Satu hal kesamaan dirinya dan Sinty, sama-sama tidak terima jika sudah diancam. Flo mendengus, tangannya dengan cepat menarik kerudung Sinty. Sama seperti di mimpi Miftah, sekarang dua gadis itu saling tarik menarik satu sama lain, membuat Miftah kaget dan bingung. “Flo, lepasin Sinty! “ seru Miftah panik, para siswa-siswi jika mulai berdatangan masuk ke kelas. “Flo! “ Miftah terus mencoba merelai keduanya, yang makin lama, makin brutal, Flo hampir saja menendang tulang kering milik Sinty. Dan Sinty sebagai bentuk pertahanan diri, tanpa sadar membalas perbuatan Flo, meski meleset. “Flo, Sinty, udah jangan berantem! “ teriak Miftah. “Flo!” “Sinty! “ “BERHENTI !!” Teriak Miftah menggelegar, Flo dan Sinty kaget dan tanpa sadar menghentikan gerakan mereka. Suasana hening seketika. Secara bergantian Miftah melihat ke arah Sinty dan Flo, kedua gadis itu seperti tersirap teriakan Miftah dengan posisi saling menahan. Kesempatan bagus bagi Miftah untuk melepas jerat tangan Flo dari kerudung Sinty, tapi belum sempurna langkahnya, tiba-tiba perutnya terasa seperti ombak yang bergejolak cepat, nyeri dan ... mules. Buttttt ... Bau menyengat kentut Miftah langsung menyebar ke seluruh penjuru kelas. Flo yang tidak tahan, langsung menarik langkahnya menjauh dari Miftah. “Duh, perut gue kok sakit banget ...” Miftah menunduk memegangi perutnya yang terasa melilit. “Miftah, kamu kenapa? “ Sinty buru-buru menghampiri sahabatnya itu. “Gak tahu, tiba-tiba perut aku mules banget, rasanya kayak ... bretttt ....” Miftah kembali kentut. “Aku harus ke kamar mandi sekarang!” . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD