Setelah seharian Miftah mengalami gangguan pencernaan, sekarang perutnya berulah lagi dengan memaksa Miftah untuk keluar rumah guna mencari makanan yang perutnya inginkan. Obat yang bang Faud berikan cukup membantu Miftah untuk pulih, tapi efeknya dia jadi sangat lapar seperti sekarang. Perutnya tidak peduli, kalo hari sudah menunjukkan pukul delapan malam atau bahkan hujan sekalipun.
Miftah tidak keluar sendirian, bang Faud menemaninya berjalan kaki di bawah guyuran hujan—tentu bang Faud menggunakan kesempatan ini untuk menyuruh Miftah berolahraga, gak perlu pake motor, jalan kaki aja sehat, begitu katanya. Namun saat di persimpangan jalan, bang Faud mendadak sakit perut dan terpaksa balik ke rumah. Bang Faud berjanji pada Miftah akan menjemputnya di tempat makan kesukaan Miftah.
Miftah mau tidak mau harus pergi sendiri, beruntung meski hujan kawasan dekat rumahnya yang terbilang dekat pasar, masih ramai dan tidak pernah sepi, baik oleh pejalan kaki, pengendara atau tukang jualan yang nangkring di depan emperan toko.
“Dek, gak neduh dulu, hijabnya deres loh...” teriak seorang wanita paru baya menarik perhatian Miftah. Miftah iseng menoleh dan tertegun melihat seorang cowok yang tidak asing baginya.
Dua menit memicingkan mata, Miftah baru sadar kalo cowok itu Vidi. Yap! Vidi nampak tertegun di dekat sepeda motornya, mengabaikan tatapan bingung semua orang. Pandangan nampak kosong dan tubuhnya basah kuyup dibiarkan terkena derasnya guyuran hujan. Sekilas cowok berlesung pipit itu seperti orang linglung yang tidak peduli sekitar bahkan dirinya sendiri.
“Dek, bisa tolong kakak gak? “Miftah spontan menghentikan anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun yang berjalan dari arah belakang dirinya.
“Eh, iya, kak, ada apa? “ anak itu mengangkat patungnya, menatap bingung Miftah yang tiba-tiba menghentikan.
“Itu, kamu liat orang yang di depan sana? “ Miftah sekilas menunjuk Vidi dengan dagunya.
“Iya, Kak.”
“Hem, tolong kasihan payung ini buat dia ya,” sambung Miftah, yang sesaat membuat kening anak kecil itu berlipat, lantara dia hanya melihat Miftah membawa satu payung dan hujan makin deras.
“Dan ini buat kamu, karena udah mau nolongin kakak.” Miftah mengeluarkan selembar uang pecahan sepuluh ribu dari saku roknya, yang seketika menerbitkan senyum lebar di wajah anak kecil itu.
“Makasih, Kak.”
“Iya, sama-sama.”
Miftah yang tidak lagi memiliki payung, refleks dengan cepat mengedarkan pandangannya, dan langsung berlarian mencari tempat teduh. Mata gadis itu tertuju pada teras toko emperan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Lo gila ya?! “
Miftah tersentak kaget, meski suara itu terdengar samar-samar karena kalah kuat dari hujan, tetap saja Miftah bisa mendengar suara yang syarat akan u*****n yang berasal dari arah belakang punggungnya. Seorang gadis bermata terang, menatapnya sinis.
“Lo habis nolongin orang yang udah buat Lo seharian mencerat seharian? Gila Lo ya? ” katanya lagi dengan ekspresi wajah kesal. “Kenapa Lo tolongi dia? Lo lupa tuh muka pucat karena mereka? “
Miftah memilih untuk tidak menanggapi perkataan Wulanda dan malah terpaku pada rintik hujan yang menetes dari ujung atap sang.
“Lo suka ya sama Vidi? “ tanya Wulanda tiba-tiba. Refleks Miftah menoleh. Memang tidak hipotesis yang lebih baik ketimbang itu?
Wulanda refleks mengangkat dua alisnya. “Ya bisa aja kan. Meski Lo buriik Lo tetap cewek kan? Yang kodratnya suka sama cowok? “ sahut Wulanda cepat.
Bukannya tersinggung Miftah malah tertawa geli. “Iya sih, kodrat cewek tuh suka sama cowok. Tapi gak Vidi juga kali. Gue sadar diri kok.”
“Why? Know body know tentang cinta. Lo gak bisa buat ngendaliin perasaan, iya, kan?”
“Terserah soal teori cinta Lo. Btw, kenapa Lo ngajak ngomong gue? Bukannya Lo gak mau jadi teman gue? Terus ngapain Lo ada di sini? Habis belanja? “ Miftah memperhatikan kantong kresek putih yang ada di tangan Wulanda.
“Emang salah gue belajar di toko ini?” jawab Wulanda sewot. Gadis berparas cantik itu nampak tidak suka dengan pertanyaan Miftah barusan.
“Eh? “ Miftah bertanya barusan bukan bermaksud merendahkan atau tidak habis pikir kenapa Wulanda yang Miftah ketahui seorang anak pengusaha kaya mau belanja di tempat yang ... ya bisa dibilang jauh ‘tidak layak' untuk orang kaya.
“Gue nanya karena gue bingung aja. Gue gak maksud menghina Lo. Lagian hak setiap orang kok mau belanja di mana aja,” sahut Miftah cepat.
Wulanda refleks menghela nafas panjang. “Gue suka aja tempat ini,” jelasnya pelan, meski Miftah tidak mempertanyakan hal itu.
“Btw, Lo belum jawab pertanyaan gue.” Wulanda kembali menatap sinis Miftah. “Kenapa Lo tolongin Vidi? Bahkan rela buat hujan-hujanan.”
“Gue kasihan liat dia. Terlepas apa pun yang dia lakukan ke gue, dia tetap manusia. Dan tadi posisinya dia lagi butuh bantuan. Makanya gue diam-diam bantu dia.”
“Lo bilang kasihan? Lo baik ke orang tapi kejam ke diri Lo sendiri.”
Miftah refleks tertawa hambar. “Ya, for my self Im sorry.”
Mendengar gumaman pelan gadis bertubuh gemuk itu, tanpa sadar membuat Wulanda tersenyum kecil. Miftah selalu melakukan hal aneh menurutnya.
“Seharusnya Lo juga ngelakuin hal yang sama. Lo harus minta maaf ke diri Lo sendiri. Jatuh cinta pada seorang yang salah itu juga melukai diri Lo sendiri. Sampai-sampai Lo narik diri dari lingkungan, gak mau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, itu juga luka. Kayaknya Lo harus lebih sering minta maaf ke diri Lo sendiri. Sebelum diri Lo, sekarat dan mati,” sahut Miftah sarkas, namun tidak untuk berniat melukai atau menyakiti perasaan gadis di sampingnya ini. Miftah hanya ingin, Wulanda berhenti menghukum dirinya sendiri.
“Diri gue emang udah sekarat,” jawab Wulanda.
“Lo belum sekarat. Kalo diri Lo udah sekarat, mustahil Lo peduli sama apa yang gue lakuin sekarang. Lo masih peduli, walau Lo menyangkal itu.”
Wulanda tertegun. Miftah ikut tertegun dan memilih untuk tidak mengganggu Wulanda yang nampak tengah tenggelam dengan dirinya sendiri.
“Nama gue Wulanda.” Tiba-tiba Wulanda menyodorkan tangannya ke arah Miftah, bermaksud untuk mengajak bersalaman.
“Maksudnya? “ tanya Miftah dengan alis terangkat.
“Kata Lo gue belum sekarat. Diri gue masih ada. Gue cuma sedang terluka, tapi gue gak boleh menarik diri dari dunia. Dan langkah awal gue buat masuk ke dunia lagi, gue harus bersosialisasi dengan orang kayak dulu. So ...” Wulanda mengulas senyum kecil di wajahnya, yang biasa terlihat dingin dan jutek. “Lo mau kan jadi teman gue? “
Miftah tersenyum dan membalas tangan Wulanda. “Tentu.”
“Tapi meski Lo teman gue sekarang, Lo masih gak berhak buat nasihati gue soal rasa benci gue ke Abdan. Gue tahu, dalam agama Islam gak baik bermusuhan sama orang sampai tiga hari, gue tahu itu. Tapi gue belum siap.”
“Kalo gitu Lo harus belajar sama teman gue, menerima luka yang ada dan tidak membenci.”
“Teman Lo? “
“Iya. Dia orang baik yang meski raga dan hatinya terluka, dia tetap bisa memaafkan semuanya.” Miftah tersenyum samar begitu mengingat sahabatnya yang sebentar lagi akan pulang ke Indonesia. Rasanya tidak sabar untuk menantinya.
“Teman Lo pasti seaneh Lo!”
Miftah terkekeh, mulut Wulanda tidak kalah pesannya dengan mulut Abdan.
“Eh, btw Lo masih lama di sini? “ tanya Miftah.
Wulanda memandangi hujan dengan raut wajah sedih, hujan makin deras dan menahan langkahnya di sini. “Kenapa emangnya? “
“Karena Lo sekarang teman gue, gue mau traktir Lo. Lo suka mie ayam gak ? Di dekat sini ada mie ayam yang enak banget.”
“Gue dari tadi ngatain Lo. Tapi kenapa Lo gak marah, dan malah mau traktir gue? “
“Buat apa gue marah. Toh, Lo berhak punya penilaian tentang gue,” sahut Miftah membuat Wulanda tertegun, teringat akan rumor yang beredar tentang Miftah. Gadis itu terlalu bodoh.
“Apa Lo bakal selalu gini? Orang kasih pukulan, Lo balas dengan senyum ikhlas? “
“Terus gue harus apa? Selain cantik fisik, penting cantik batin. Cantik lahir dan batin? Gue gak maulah kayak Lo. Fisiknya aja yang cantik, tapi hatinya gelap banget.”
Wulanda refleks tertawa.Ini yang buat Wulanda beta berbicara dengan Miftah, cewek bertubuh gemuk ini selalu berkata benar. Dia menasihati Wulanda yang sangat keras kepala dengan cara yang sama songongnya seperti dirinya.
“Oke fiks, gue penasaran teman Lo yang gimana sih yang udah ngajarin Lo tentang hal se-‘gak masuk akal ini.”
**