Ariadna menarik kopernya memasuki klub malam itu. Mengabaikan semua laki-laki berjaket hitam yang tengah menatapnya tertarik. Ariadna sama sekali tak terganggu dengan mereka. Bahkan jika Ariadna tinggal seratus hari dengan semua laki-laki itu pun, Ariadna bisa melakukannya tanpa takut. Karena dari kecil dia memang hidup di antara laki-laki berbadan kekar di rumah Killian.
Tak ada perempuan di rumah Killian selain Ariadna. Bahkan bibi-bibinya yang masih hidup tak tinggal di rumah utama karena tak kuat tinggal bersama ratusan pria itu.
Tapi Ariadna tumbuh selama dua puluh lima tahun dengan mereka. Dan kadang Ariadna lupa kalau dirinya seorang perempuan.
Kecuali, tentu saja, saat ia memakai gaun aneh seperti sekarang.
"Hei, kau pasti Ari, kan?"
Suara nyaring dari balik meja bar membuat Ariadna menoleh. Ariadna melihat seorang perempuan seusianya - memakai kaos tanpa lengan berwarna putih dan celana pendek yang memperlihatkan paha kurusnya. Perempuan berambut pirang itu tersenyum lebar, giginya yang rapi dan putih membuat senyumnya terlihat bersinar di tengah lampu remang-remang. Ariadna membalas senyumnya - tentu saja dengan terpaksa.
"Kau pasti Lucia, kakakku sudah bercerita tentangmu," kata Ariadna sambil berjalan ke meja bar.
Ariadna sedikit tak menyangka ketika Lucia memeluknya dengan erat. "Isabella juga sering bercerita tentangmu. Katanya kau baru pindah dari Venesia minggu lalu? Bagaimana? Apa kau betah di Torino?" tanya perempuan itu.
Ariadna tak mengenal Isabella dan ia juga bukan dari Venesia, tapi perempuan itu tetap tersenyum. Mengikuti sandiwara itu yang pasti sudah disiapkan oleh kakeknya. Entah dari siapa kakeknya mengenal Isabella dari kota Venesia itu. Kakeknya hanya berkata bahwa Ariadna harus bertemu Lucia dan berkata bahwa ia adalah adik Isabella. Selain itu, kakeknya tak mengatakan apapun lagi.
"Di sini udaranya lebih dingin - " Ariadna menatap sekelilingnya. "Dan banyak sekali laki-laki berjaket hitam," katanya mulai menggali pembicaraan tentang Salvatore.
"Tenang saja. Kau ada di kota yang tepat. Kau akan aman di sini," kata Lucia sambil kembali ke belakang meja bar.
Ariadna mengikuti perempuan yang lebih pendek darinya itu. Menggenggam erat kopernya seolah itu nyawanya. Perempuan itu melihat sekelilingnya. Memperhatikan setiap detail yang pasti akan berguna untuknya.
Darkside terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama hanyalah bar yang sering menjadi tongkrongan anak Salvatore. Lantai dua berisi ruang-ruang karaoke dan lantai ketiga, terdapat lantai dansa dengan musik yang terdengar sampai bawah, dan kata Shane - ada kolam renang besar yang mengarah langsung ke pantai yang terletak di bagian Selatan kota Torino.
Total anggota Salvatore yang resmi adalah seratus tujuh puluh orang. Dan sebagian besar geng kecil di kota Torino sangat menghormati Salvatore. Jadi bisa dikatakan, Salvatore memiliki anggota lebih banyak dari tiga ratus orang. Hanya dengan sekali melihat, Ariadna sudah menghitung bahwa anggota Salvatore berjaket hitam yang ada di lantai satu malam itu berjumlah lima puluh tujuh orang. Mungkin banyak yang ada di lantai dua atau tiga. Dan mungkin tak semua dari mereka memakai jaket hitam itu.
Ketika memperhatikan sekelilingnya, Lucia menepuk bahu Ariadna, "Kau tak perlu takut. Mereka mungkin tukang berkelahi, tapi mereka tak akan mengacau di markas mereka sendiri," kata Lucia.
Ariadna hanya diam dan Lucia berkata lagi, "Oh benar - kau baru satu minggu di sini. Kau sudah tahu ini markas Salvatore, kan? Kau tahu Salvatore, kan?" tanyanya dengan wajah khawatir.
Ariadna memasang wajah ketakutan dan berbisik ke telinga Lucia. "Aku mendengar bahwa mereka sangat mengerikan. Apa tak berbahaya bekerja di sini?" tanya Ariadna.
"Sudah kubilang. Salvatore mungkin bisa menghancurkan semua tempat, tapi bukan daerahnya sendiri," kata Lucia dengan santai.
Ariadna mendesak Lucia lagi. "Tapi mereka semua menatapku dengan wajah menakutkan, Lucia," katanya.
Lucia tersenyum, "Mereka memang begitu. Jarang ada pegawai baru di sini, jadi mereka akan selalu mengawasimu. Kau pun bisa masuk karena kau adik Isabella. Kalau tidak, kau mungkin tak akan diterima di sini, Ari," kata Lucia.
Isabella lagi. Ariadna sepertinya harus berterima kasih kepada perempuan itu nanti. Jika memang perempuan bernama Isabella itu nyata dan bukan hanya nama yang dibuat kakeknya.
"Ngomong-ngomong, kenapa aku tak akan diterima jika aku bukan adik Isabella?" tanya Ariadna penasaran.
"Karena memang Darkside susah menerima orang baru. Dan kau -" Lucia melihat Ariadna dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Kau terlalu cantik. Biasanya kami tak menerima pelayan cantik karena hanya akan menyebabkan perkelahian antar anggota. Kau tahu maksudku, kan?"
Tentu saja. Meskipun mereka geng terkejam di dunia pun, mereka akan tetap bertekuk lutut di depan wanita cantik. Dan meskipun Ariadna bukan perempuan yang membuat semua pria bertekuk lutut padanya, tapi dia lumayan cantik. Ariadna sudah membuktikannya saat banyak pria mendekatinya setelah menari telanjang di klub malam dua tahun yang lalu.
"Tapi tenang saja. Mereka tak akan berani mendekatimu. Di sini ada aturan. Tak boleh seks atau berpacaran dengan pegawai bar. Karena sangat susah mencari orang baru yang mau bekerja bersama para gangster itu," kata Lucia.
Ariadna hanya mengangguk-angguk. "Jadi, hanya ada kita berdua di sini? Maksudku - yang menjadi pelayan?" tanya Ariadna.
Membayangkan dua orang harus melayani semua pelanggan di klub malam itu membuat Ariadna seketika mual.
"Tidak. Setiap lantai ada pegawainya sendiri. Tapi di lantai satu, hanya ada kita berdua." Lucia membersihkan seloki di depannya. "Tapi kau tenang saja. Salvatore biasanya mengambil minuman sendiri dan mereka juga membayar sendiri di kotak itu," kata Lucia sambil menunjuk kotak kasir yang tampak seperti kotak sumbangan.
"Bagaimana kau yakin mereka akan membayar dengan jujur?" tanya Ariadna.
"Kau tak perlu khawatir. Darkside ini milik pemimpin mereka. Kau pikir, siapa yang berani tak jujur pada pemimpin Salvatore?"
Jadi, klub malam ini milik si pemimpin Salvatore itu? Lalu dimana b******n itu sekarang? Apa pemimpin itu ada di lantai satu sekarang? Apa dia yang memakai kacamata hitam dan duduk di meja pojok itu? Atau yang sedang minum sambil merokok itu? Atau yang duduk di depan - di atas motor besarnya yang terlihat garang?
Entahlah. Kakeknya sudah menunjukkan foto Julian Anakinn padanya, tapi Ariadna tak bisa mengingatnya. Dia juga tak mungkin membawa foto laki-laki itu kemana-mana.
"Kau hanya perlu sesekali mengawasi, itu saja. Dan yang pasti - membersihkan gelas yang habis mereka pakai," kata Lucia.
"Oke. Itu tak sulit," ucap Ariadna.
Lucia berjalan mengambil sebotol wiski yang diminta salah satu anggota Salvatore dan Ariadna mengikutinya lagi. "Ngomong-ngomong, yang mana pemimpin Salvatore?" tanya Ariadna.
Lucia tersenyum kecil, "Kenapa? Kau penasaran?" tanyanya.
"Aku cuma ingin tahu."
"Sama saja. Itu namanya penasaran."
"Terserah. Aku hanya ingin tahu."
"Kenapa? Apa kau mendengar gosip-gosip tentangnya di luar?"
Kening Ariadna mengerut. "Misalnya?"
"Misalnya dia terlihat mengerikan, berbadan besar, dengan bekas luka membelah wajahnya, mata sehitam arang, atau berambut botak mungkin?"
Kening Ariadna semakin berkerut, "Tidak. Kenapa gosip seperti itu beredar? Bukannya semua orang di Torino sudah tahu siapa dia?" tanya Ariadna.
"Tak semua orang tahu. Dia sedikit introvert dan penyendiri," kata Lucia.
Bagaimana pemimpin geng yang menguasai kota Torino bisa tak dikenal oleh orang-orang Torino? Itu sama sekali aneh. Masuk akal jika orang Italia tak mengenal kakeknya karena selama ini ia bermain di belakang layar. Tapi gangster? Bukankah mereka suka mencari perhatian di tempat umum? Semua pemimpin geng besar yang Ariadna kenal selalu ingin dirinya terkenal dan ditakuti seantero kota. Tapi rupanya Julian Anakinn ini berbeda.
"Jadi, yang mana dia?" tanya Ariadna tak sabar.
Lucia tertawa, "Rupanya kau benar-benar penasaran," katanya.
"Aku hanya ingin menghindarinya sebisa mungkin," kata Ariadna.
Lucia melihat sekelilingnya. "Dia tak ada. Yang ada di sini hanya anggota-anggota baru. Para senior dan orang-orang penting sepertinya ada rapat di restoran milik Kinn," kata Lucia.
"Kinn?"
"Pemimpin Salvatore yang membuatmu penasaran."
Ariadna bingung, "Bukankah namanya Julian Anakinn?"
"Benar. Dia dipanggil Kinn di sini. Kau tak tahu?"
Ariadna menggeleng. Dan Ariadna memang tak peduli siapa nama panggilan b******n itu - karena ia akan segera membunuhnya.
"Kau dekat dengannya?" tanya Ariadna lagi.
"Maksudmu dengan Kinn?" tanyanya bingung.
"Tentu saja. Siapa lagi memangnya?"
Lucia tertawa, "Tak ada yang dekat dengannya, Ari. Bahkan para anggotanya sendiri. Mereka semua menghormatinya, tapi tak berarti dekat dengannya. Sudah kubilang dia tipe penyendiri. Tak ada yang berani mendekatinya," kata Lucia.
"Apa dia selalu membawa pisau? - atau pistol?" tanya Ariadna lagi.
"Tentu saja tidak."
"Lalu kenapa semua orang takut?"
Lucia menarik napas panjang. "Berhentilah bertanya dan kau harus bertemu dengannya langsung agar kau mengerti - kenapa semua orang takut padanya," ujar Lucia.
Lucia selesai membersihkan gelas-gelas kotor di depannya. "Ayo ikut, aku akan menunjukkan kamarmu," kata Lucia sambil membantu Ariadna membawa kopernya.
Tapi Ariadna merebut kopernya kembali. "Aku akan membawanya sendiri. Terima kasih."
Lucia hanya tersenyum dan mereka berjalan ke rumah kecil yang berada di samping Darkside. Rumah dengan tiga kamar yang sekarang menjadi tempat tinggal Ariadna selama misinya. Lucia tidur di lantai satu bersama salah satu pelayan lain bernama Raquel. Sedangkan Ariadna harus tidur sendiri di lantai dua.
Ariadna masuk ke kamarnya. Mendesah pelan karena kamar itu begitu kecil. Hanya ada satu ranjang kecil dan meja rias mini di sebelah kiri. Ariadna membuka kopernya dan menyimpan semua senjata tajamnya di belakang meja rias. Lalu memasukkan pakaiannya ke lemari plastik yang ada di pojok. Perempuan itu membuka jendela dan menghirup udara malam kota Torino yang asing itu.
Sepertinya hari ini ia tak bisa bertemu dengan pemimpin Salvatore bernama Kinn itu. Padahal Ariadna berencana akan membunuhnya malam ini dan langsung pulang ke rumah tanpa menginap di kota Torino ini.
Tapi tak mungkin semudah itu, kan?
Ariadna yakin kakeknya tak akan memberikan Ariadna syarat semudah itu. Dan Ariadna tak sabar ingin bertemu dengan Kinn itu. Ingin tahu orang seperti apa yang menarik perhatian ketua keluarga mafia terbesar seperti kakeknya - Sabas Killian.