PROLOG
Dorrrr!
Dorrr!
Dorrr!
Ariadna menarik napas kecil. Mengerjapkan matanya yang mengabur karena cairan sialan yang ia benci. Ariadna tak pernah menangis - seumur hidupnya. Bahkan saat lahir, ayahnya bilang Ariadna hanya berteriak dan tak menangis. Saat ia lahir, ibunya meninggal dan Ariadna tak meneteskan air mata sedikit pun. Dan kali ini - saat ayahnya meninggal pun, Ariadna tak menangis.
Tidak akan.
Dorrrr!
Dorrr!
Peluru kelima. Satu peluru lagi makan pistolnya akan kehabisan peluru. Dan Ariadna belum mengenai targetnya - untuk pertama kalinya sejak ia memegang benda kesayangannya itu. Mungkin sejak umur tujuh tahun - atau lima tahun? Ariadna ingat ayahnya memberinya hadiah pistol itu ketika ia umur lima tahun.
Tapi apa itu penting? Ariadna tak pernah menggunakan pistol pemberiannya ayahnya itu. Pistol itu terlalu besar dan tak cocok untuk tangannya. Tapi sekarang - ketika ayahnya baru saja meninggal tiga jam yang lalu, Ariadna untuk pertama kali mencoba pistol itu.
Dorrr!
Yes! Ariadna mengenai targetnya.
Tersenyum kecil dan bangga pada dirinya sendiri. Karena meskipun dalam keadaan seperti ini, tubuhnya masih bergerak pintar dan ia bisa mengenai targetnya. Memang - tak ada yang lebih baik daripada pistol. Atau mungkin ada? Mungkin pisau lebih baik. Ariadna tak tahu apakah ia lebih suka pistol atau pisau. Tapi ayahnya selalu memberinya pistol, menganggap pisau hanya mainan preman. Padahal Ariadna juga suka bermain pisau, bayonet, samurai, atau apapun benda berujung tajam lainnya.
"Dengan pistol kau tak perlu bekerja keras, Sayang. Hanya perlu menghadapkan ujung pistol ke kepala seseorang dan orang itu akan mati di tanganmu. Coba saja," ucap ayahnya saat Ariadna berumur tujuh tahun.
Dan saat itulah, Ariadna tak pernah berpisah dengan benda itu. Seperti belahan jiwanya. Hanya dengan benda itu Ariadna merasa terlindungi.
Ariadna mengisi peluru pistolnya lagi. Tapi suara berisik pria di depannya membuat fokusnya terganggu. Ariadna melihat pria yang berdiri sepuluh meter di depan itu. Berdiri dengan kaki bergetar dan wajah sepucat mayat. Sebuah apel di kepalanya sudah jatuh ke tanah. Kalau Ariadna meleset satu sentimeter saja, mungkin kepala pria itu sudah berlubang. Memikirkannya membuat Ariadna tersenyum kecil.
"Pergi!" teriak Ariadna pada pengawalnya itu.
Ariadna melepas sarung tangan hitamnya. Seorang pengawal laki-laki mendekatinya dengan wajah tertunduk. "Pemakaman Tuan Roman akan dilaksanakan sepuluh menit lagi, Nona," kata pengawal itu.
Ariadna tak membalas dan hanya melewati pria itu. Berjalan lurus ke taman belakang rumah Killian - tempat dimana semua anggota Killian dimakamkan. Tepat di belakang rumah mereka.
Lucu? Tidak sama sekali. Ariadna menyukai ide kakeknya itu. Karena hanya dengan itu, Ariadna bisa selalu dekat dengan ayah dan ibunya.
Semua orang sudah berkumpul di sana. Ratusan pengawal berbaris, memberikan hormat pada Roman Killian. Seseorang memberikan foto ayahnya pada Ariadna dan menyuruhnya berdiri di depan. Ariadna menuruti mereka. Berjalan di tengah gerimis kecil, melihat sendiri ayahnya dikuburkan. Ayahnya - orang yang paling ia cintai di dunia. Ariadna berharap ayahnya tahu bahwa ia mencintainya, karena selama dua puluh lima tahun ini, Ariadna tak pernah memberitahunya.
Pemakaman itu tak terlihat seperti pemakaman pada umumnya. Tak ada yang menangis. Kebanyakan dari mereka memasang wajah kaku dan waspada. Terutama para pengawal yang berjaga di depan. Tak ada momen semua keluarga Killian berkumpul selain pemakaman anak tertua dan calon penerus keluarga Killian itu. Jadi pemakaman itu bisa berubah menjadi pembantaian, jika saja salah satu musuh keluarga Killian datang membawa granat atau bom gas beracun sekarang. Karena itu semua orang memasang wajah waspada.
Begitu juga Ariadna - yang dari kecil tak diperbolehkan untuk menangis, tertawa, ataupun tersenyum.
Karena Ariadna adalah cucu pertama Sabas Killian - ketua keluarga mafia terbesar di Italia. Keluarga mafia paling ditakuti di Italia, bahkan oleh pemerintah sekalipun.
"Jaga wajahmu, Ariadna!" ujar kakeknya yang berdiri di sampingnya.
Ariadna mengeraskan rahangnya. Mengerjapkan matanya berulang kali. Menjernihkan matanya dan menggenggam tangannya sampai memutih. Ariadna hanya terlihat sedikit sedih dan kakeknya langsung tahu.
Pemakaman itu hanya berlangsung tiga puluh menit. Tak ada pembacaan doa atau apapun. Mereka bahkan tak percaya dengan doa. Hanya ucapan selamat tinggal yang diucapkan bersama oleh semua anggota keluarga Killian. Semua orang langsung bubar karena semakin lama mereka berkumpul, semakin berisiko dan akan menjadi keuntungan musuh.
Ariadna mengikuti kakeknya kembali ke sayap kiri rumah Killian. Melepas jaket hitamnya dan memberinya ke salah satu pengawal yang ia lewati. Kakeknya berjalan dengan cepat ke ruang keluarga. Melewati beberapa pintu dengan keamanan terketat yang pernah ada di dunia. Ariadna yakin tak ada orang yang bisa menembus penjagaan rumah Killian, bahkan Tuhan sekalipun.
"Duduk!" kata kakeknya singkat.
Ariadna duduk di kursi kayu ruang kerja kakeknya. Membuka matanya lebar-lebar agar kakeknya tahu bahwa ia tak menangis. Bahwa Ariadna tak lemah dan ia pantas menjadi penerus keluarga Killian. Seperti yang ayahnya inginkan sebelum pria itu meninggal.
"Kau harus menjadi penerus keluarga Killian, Ari. Tak ada yang boleh merebut posisi itu dari ayah selain kau. Jangan beri Lauren kesempatan, apalagi sepupu-sepupu bodohmu yang lain. Killian adalah milikmu, kau mengerti? Ingat, ayah akan selalu mengawasimu, bahkan jika tubuh ayah terbakar di neraka," kata ayahnya sepuluh menit sebelum meninggal.
Dan Ariadna hanya mengangguk. Dua puluh lima tahun Ariadna di pandang sebelah mata oleh keluarganya karena dia adalah perempuan. Dan ini adalah saatnya Ariadna membuktikan dirinya bahwa ia yang paling pantas menggantikan kakeknya di keluarga itu.
"Kakek akan menjadikan Lauren sebagai penerus," kata kakeknya sambil menyalakan sebatang rokok.
"Kakek!" teriak Ariadna.
"Tak ada sejarah pemimpin perempuan di keluarga kita. Kau belum siap, Ariadna!" kata kakeknya lagi.
Ariadna memukul meja kakeknya. "Hanya karena aku perempuan? Itu tak adil, Kek! Aku lebih kuat daripada Lauren! Dia bahkan tak bisa mengurus Kingston Road, pemberontak yang menghancurkan bisnis kita di Utara dan kakek akan menjadikan dia penerus? Pemimpin dari Killian? Itu memalukan, Kek!" kata Ariadna.
"Karena itu, bantu Lauren. Kau akan menjadi bayangannya. Kau bisa menjadi otaknya," kata kakeknya sambil menghisap batang rokoknya.
"Aku tak akan pernah menjadi bayangan! Aku lahir bukan untuk menjadi bayangan! Aku akan menjadi pemimpin Keluarga Killian! Kakek harus menjadikanku itu!" ucap Ariadna.
"Kalau begitu, Kakek perlu bukti. Kakek perlu bukti kalau kau memang pantas menjadi penerus Kakek."
Sabas mengambil sebuah dokumen dan membukanya di depan Ariadna. "Ini adalah kota Torino, di bagian Selatan, ada wilayah kecil bernama Bolivar. Kakek ingin membangun kasino terbesar di dunia di sana, karena tempat itu yang paling strategis untuk menyelundupkan senjata ilegal dari markas kita di Milan. Tapi di Bolivar ada geng kecil yang menguasai kota Torino, bernama Salvatore. Mereka tak ingin menyerahkan wilayah itu pada Kakek. Pemimpin mereka sangat keras kepala, sangat kuat hingga tak ada orang yang bisa membunuhnya. Kalau kau bisa membawa kepala pemimpin mereka ke hadapan kakek dan menghancurkan geng sialan itu, maka kakek akan menjadikanmu penerus Killian," ucap Sabas Killian.
Ariadna melihat peta kota kecil itu. Hanya wilayah kecil di pinggiran kota yang tak berarti. Ariadna pernah membunuh ketua geng yang lebih besar dari Salvatore itu - dan itu sama sekali bukan masalah bagi Ariadna. Ariadna bahkan baru pertama kali mendengar nama geng Salvatore itu.
"Tak adakah misi yang lebih sulit dari ini, Kek?" tanya Ariadna dengan senyum kecil.
"Tapi ada satu syarat, kau harus menghancurkan geng ini dengan tanganmu sendiri. Tak boleh ada bantuan orang lain, termasuk pengawal pribadimu ataupun keluarga Killian lain. Kau harus bertarung sendiri, Ariadna. Baru dengan itu Kakek mengakui kemampuanmu," kata kakeknya.
Oke. Ariadna harus menarik omongannya karena tanpa bantuan pengawalnya, Ariadna yakin misi ini akan sedikit menyita waktunya. Hanya sedikit - sedikit sekali - bukan berarti Ariadna akan kesulitan melakukannya.
Ariadna menatap foto seorang pria di dokumen itu dengan seksama.
Julian Anakinn. Pemimpin Salvatore. Pria yang Ariadna pikir terlihat muda untuk menjadi pemimpin geng besar seperti Salvatore itu.
Arianna tersenyum kecil, "Tunggu saja, Julian. Aku akan memenggal kepalamu dan menjadikannya hadiah kemenanganku," batinnya penuh percaya diri.