Ariadna bangun sebelum matahari terbit. Rumah kecil tempat ia tinggal itu masih gelap. Belum ada yang terjaga. Ariadna terbiasa bangun pagi-pagi sejak kecil. Biasanya jika di rumah, Ariadna harus berlari sepuluh kilometer sebelum boleh sarapan. Kemudian setelah sarapan ia harus berlatih menembak dan mengadakan pertandingan bela diri kecil dengan pengawal-pengawalnya. Memilih pengawal terbaik di rumah Killian untuk melawannya dan jika mereka menang, Ariadna akan menjadikan mereka pengawal pribadinya. Dan sampai dua puluh lima tahun ini, hanya Shane yang bisa mengalahkan Ariadna.
Shane sudah menjadi pengawal pribadi Ariadna selama tujuh tahun. Seperti pengawal keluarga Killian lain, laki-laki itu sudah tinggal di rumah Killian dari kecil. Ayahnya adalah salah satu pengawal kepercayaan Sabas Killian yang kini menangani bisnis senjata tajam di kota Barat.
Hanya dua macam anak yang tinggal di rumah Killian dan dilatih menjadi pengawal, yaitu anak yang tak memiliki orang tua dari lahir - yang biasanya Killian dapatkan dari panti asuhan. Sedangkan yang lain adalah anak dari orang yang bekerja untuk Keluarga Killian. Singkatnya, Sabas Killian hanya menerima anak yang tak memiliki rumah selain rumah Killian.
Dan Shane adalah satunya.
Sejak tujuh tahun ini, Shane selalu menyiapkan kebutuhan Aridna. Mulai dari pakaiannya, makanan, kendaraan, dan apapun yang dibutuhkan Ariadna. Jadi ketika Ariadna bangun pagi dan tak melihat Shane siaga di kamarnya, Ariadna sedikit terkejut. Ia tak pernah terbiasa mengurus kebutuhannya sendiri. Termasuk membuat kopi yang biasa Ariadna minum setiap pagi. Tapi, Ariadna tak mungkin memanggil Shane hanya untuk membuatkannya kopi, kan?
"Kau tak akan mati kalau tak meminum kopi, Ari! Tahanlah dua hari lagi, kau akan segera pergi dari sini," kata Ari pada dirinya sendiri.
Perempuan itu membersihkan wajahnya, lalu memakai pakaian olahraganya. Ariadna keluar dan berlari sekitar satu jam mengelilingi daerah itu, sekaligus memperhatikan semua yang ada di sana. Namun, Ariadna tak menemukan keanehan sama sekali di daerah itu. Daerah itu seperti tempat-tempat lain yang dikuasai geng besar yang pernah Ariadna lihat.
Ariadna kembali ke rumah setelah satu jam dan melihat Lucia sedang minum air putih di dapur. Perempuan itu mendekati Lucia, mengambil satu botol air putih dan menghabiskannya. Ariadna menghapus keringatnya dengan handuk yang ia gantungkan di lehernya.
"Kau habis lari pagi?" tanya Lucia dengan wajah yang masih mengantuk.
"Aku terbiasa lari pagi," kata Ariadna pendek.
Lucia mengangguk-angguk, mengacak rambutnya dengan mata tertutup. Kata Lucia, mereka harus bekerja di Darkside pukul sebelas pagi dan sekarang masih jam tujuh. Masih ada beberapa jam dan Lucia berkata akan tidur lagi. Perempuan itu pun kembali masuk ke kamarnya meninggalkan Ariadna.
Ariadna pun kembali ke kamarnya. Memutuskan mandi dengan air dingin. Tak ada air hangat di tempat itu. Padahal Ariadna terbiasa menggunakan air hangat setiap mandi pagi. Setelah memakai pakaian dan menata rambutnya, perempuan itu keluar dari rumah itu. Berjalan menuju Darkside, padahal masih pukul delapan pagi.
Jalanan sekitar tempat itu tak terlalu terawat. Banyak jalanan yang berlubang dengan lampu-lampu jalan yang sudah rusak. Dinding-dinding di sekitarnya sudah terpenuhi dengan gambar-gambar hitam. Kebanyakan adalah lambang ular dan tulisan Salvatore, seperti menandakan wilayah itu adalah milik mereka.
Ariadna melihat restoran yang cukup besar di perempatan jalan. Di depannya tertulis nama Dan Anakinn dengan besar. Menurut informasi dari Shane, para senior Salvatore sering berkumpul di tempat itu. Restoran itu dari depan terlihat seperti restoran biasa, tapi di belakangnya ada bengkel motor kecil tempat para Salvatore berkumpul. Selain Darkside, tempat itu adalah markas kedua Salvatore.
Ting!
Ariadna membuka pintu restoran itu. Bunyi pintu membuang seseorang muncul dari tirai dapur. Seorang laki-laki berambut sedikit panjang dengan wajah manis dan lesung pipi ketika tersenyum. Laki-laki yang terlihat masih muda itu mendekati Ariadna. Dengan senyum kecil yang manis, tapi tak membuat Ariadna menurunkan pengawasannya. Perempuan itu menyentuh tas hitam kecil yang ia pakai, tempat ia menyimpan pisau milik Shane. Kalau laki-laki di depannya ini tiba-tiba menyerangnya, Ariadna bisa menyerangnya balik dalam hitungan detik.
"Selamat datang di Dan Anakinn. Anda pelanggan pertama kami pagi ini. Apa ada yang ingin Anda makan?" tanya laki-laki itu dengan senyum manisnya.
Ariadna melirik menu yang tergambar di dinding restoran. Banyak sekali menu yang disajikan, padahal tak banyak pelayan di restoran kecil itu. Ariadna bahkan hanya melihat laki-laki di depannya itu. Apa restoran itu benar-benar sudah siap menerima pelanggan?
"Aku mau rustico dan maraschino," kata Ariadna.
"Oke. Rustico dan maraschino akan siap lima belas menit lagi. Silakan duduk dulu, Nona," kata pelayan itu lalu berjalan ke belakang.
Ariadna memilih duduk di dekat jendela yang tak terlalu jauh dari dapur. Terdengar suara orang memasak dari dalam. Ariadna penasaran siapa saja yang ada di dalam karena Shane mengatakan bahwa restoran itu dikelola oleh geng Salvatore. Tak ada orang luar, termasuk pelayannya. Karena itu restoran itu sangat sepi karena tak ada yang berani datang ke sana. Namun sepertinya itu tak masalah bagi pemiliknya, karena sampai sekarang restoran itu tetap buka meskipun tak ada pelanggan.
Tubuh Ariadna menegak ketika terdengar suara langkah kaki dari dapur. Ariadna dengan spontan menoleh ke belakang. Melihat dua orang laki-laki yang kini menatapnya. Ariadna langsung menghindari tatapan mereka itu. Berusaha setenang mungkin agar dua orang itu tak mencurigainya. Karena dua orang itu memakai jaket Salvatore dan jelas mereka salah satu anggota geng itu.
"Kau orang baru? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya," kata salah satu dari mereka.
Laki-laki yang bertanya padanya itu memiliki rambut panjang berwarna coklat yang diikat ke belakang. Laki-laki itu mencukur habis sisi kanan dan kiri kepalanya dan mengisinya dengan tato ular yang memanjang sampai ke ujung matanya. Dari penampilan, laki-laki itu terlihat mengerikan. Tapi ketika laki-laki itu menarik kursi di depan Ariadna sambil tersenyum, Ariadna terkejut karena senyum laki-laki itu begitu manis.
"Hmm... aku - aku baru pindah dari Venesia," kata Ariadna sengaja terlihat gugup.
"Benarkah? Kapan kau pindah? Dimana kau tinggal?" tanya laki-laki itu lagi.
Laki-laki berambut panjang itu duduk, sedangkan laki-laki satunya masih berdiri. Ariadna melirik laki-laki yang masih berdiri itu. Aura yang kuat menyebar di sekitarnya.
Apa dia Julian Anakinn? Sialan! Kenapa Ariadna tak mengingat wajah b******n itu sama sekali?
"Kau tak perlu menjawabnya jika tak ingin," kata laki-laki yang berdiri itu pada Ariadna.
"Rael! Kenapa kau selalu mengangguku? Aku kan hanya ingin berkenalan dengan gadis cantik di depanku ini," kata laki-laki berambut panjang.
Ternyata laki-laki itu bukan Julian Anakinn. Namanya Rael. Kulit laki-laki itu begitu pucat dengan rambut coklat berantakan dan mata sayu. Laki-laki itu terlihat sangat lemah, tubuhnya kecil dan kurus, bibirnya juga pucat. Namun Ariadna tahu ia tak bisa meremehkannya. Aura kuat itu menutupi fisiknya yang lemah dan membuat Ariadna merasa harus berhati-hati di dekatnya.
Laki-laki bernama Rael itu tak membalas berkataan temannya dan tetap menatap tajam Ariadna. Seperti sedang menilainya atau sedang menyelidikinya. Tatapannya berbeda dari laki-laki berambut panjang yang lebih santai.
"Ayo kita pergi, Kinn sudah menunggu," kata Rael lalu pergi meninggalkan meja itu.
Laki-laki berambut panjang di depan Ariadna langsung berdiri. Sebelum pergi, laki-laki itu mengedipkan matanya pada Ariadna. Tersenyum lebar seperti menggoda Ariadna terang-terangan. Ariadna mendesah pelan. Semua laki-laki yang ia temui di daerah itu sangat berbeda. Ariadna tak bisa menebak mereka.
"Makanan sudah datang," kata pelayan sambil meletakkan makanan yang di pesan Ariadna di mejanya.
Pelayan itu melihat Rael dan temannya tadi berjalan dari jendela restoran. Ariadna menyadari itu dan tak bisa menahan dirinya untuk bertanya pada pelayan itu.
"Kau mengenal mereka?" tanya Ariadna.
Pelayan itu melihat Ariadna. "Maksudmu Le Rael dan Kenji?"
Ariadna mengangguk sebagai jawaban.
"Tentu saja. Mereka adalah orang kepercayaan Tuan Kinn. Tuan Kinn memiliki empat orang kepercayaan dan mereka menamai diri mereka Draken. Kenji adalah pemimpin Draken. Kebanyakan orang di sini mengira Kenji adalah pemimpin Salvatore dan tak tahu keberadaan Tuan Kinn. Itu karena Tuan Kinn tak begitu suka keramaian," kata pelayan itu sambil melihat Le Rael dan Kenji yang masih berjalan.
"Dan kau? Apa kau juga salah satu anggota Salvatore?" tanya Ariadna.
Pelayan itu mengangguk, "Aku baru bergabung dua bulan yang lalu."
"Berapa umurmu? Kau terlihat masih muda. Apa kau tak sekolah?"
"Tentu saja aku sekolah. Tuan Kinn mengharuskan semua anggotanya lulus SMA. Dia tak menerima sembarangan orang. Karena itu banyak anak yang ingin meneruskan sekolah di daerah ini. Karena masuk Salvatore adalah impian semua anak di sini," kata pelayan itu.
Kening Ariadna berkerut, "Impian? Menjadi anggota geng adalah impian?"
"Kau mungkin tak mengerti karena kau orang baru. Kalau kau sering bertemu mereka, kau akan tahu apa yang aku maksud."
Ariadna menatap laki-laki di depannya itu. "Siapa namamu?"
"Franco."
Ariadna meminum maraschino yang lumayan enak itu. "Jadi, Franco, sepertinya kau harus segera memikirkan impian baru," kata Ariadna sambil meletakkan minumannya di meja.
"Kenapa?" tanya laki-laki itu.
"Karena Salvatore akan segera bubar setelah aku membunuh pemimpinmu itu," batin Ariadna.
Tapi, Ariadna tak mungkin menjawab seperti itu. Jadi perempuan itu hanya tersenyum penuh arti pada Franco. Laki-laki itu terlihat sedikit kesal dan kembali ke dapur meninggalkan Ariadna dengan menu sarapannya yang ternyata tak seburuk yang ia kira.