"Ari! Lewat sini!"
Ariadna tersadar ketika mendengar suara Lucia memanggilnya. Ariadna berjalan cepat masuk ke pintu belakang bar itu. Melepas topinya dan menutup pintu di belakangnya dengan cepat.
"Kenapa banyak sekali motor di depan?" tanya Ariadna.
"Hari ini Salvatore akan bertarung dengan Geng SMA Rio. Kau harus menghindari mereka di saat tegang seperti ini," kata Lucia sambil mengelap meja bar satu persata.
"Geng sekolah? Mereka melawan geng sekolah?" tanya Ariadna tak percaya.
"Anak-anak SMA Rio sering membuat keributan di kota ini. Mereka suka balapan liar di jalan dan beberapa hari yang lalu, mereka menabrak salah satu penduduk hingga Salvatore mengusir mereka. Ketua geng SMA itu marah dan ingin bertarung dengan Salvatore," kata Lucia.
Ariadna memakai memakai celemek dan membantu Lucia membersihkan meja. "Kenapa mereka bertarung melawan anak kecil? Bukankah Salvatore sangat ditakuti di sini?" tanya Ariadna.
"SMA Rio terletak di perbatasan. Mereka bukan berasal dari kota Torino. Di kota mereka, Geng SMA Rio yang menguasai. Makanya mereka berani menantang Salvatore. Salvatore memang sangat ditakuti di kota ini, tapi di luar aku rasa tak ada yang mengetahuinya. Salvatore tak pernah mencari masalah di luar jika tak ada yang mengganggunya," kata Lucia.
Ariadna mengangguk-angguk. Membuka jendela bar itu ketika suara motor mulai berisik dan orang-orang itu pergi dari depan Darkside Bar.
"Jadi dimana mereka akan bertarung?" tanya Ariadna penasaran.
Lucia mengedikkan bahu santai, "Aku tak tahu. Mungkin di sekolah kosong di ujung gang sana. Di sana tak banyak warga yang tinggal," kata Lucia.
Ariadna mengingat sekolah kosong itu ia lewati saat berlari tadi. Sekolah yang lumayan luas itu tampak sudah kumuh dan tak terawat. Tempatnya tak jauh dari restoran Dan Anakinn. Ariadna ingin melihat kesana, melihat apakah Julian Anakinn akan muncul di pertarungan itu. Dia pemimpin Salvatore, dia tak mungkin tak ikut pertarungan gengnya sendiri, kan?
Ariadna melirik Lucia yang tampak fokus membersihkan bar itu. Tak ada siapa pun di bar itu karena semua anggota Salvatore pergi. Ariadna meraih tasnya, berpura-pura mencari sesuatu di tasnya sampai Lucia melihatnya.
"Apa yang kau cari?" tanya wanita itu.
"Ponselku. Sepertinya aku meninggalkannya di rumah. Bagaimana ini? Aku harus menelepon ayahku pagi ini," kata Ariadna dengan wajah yang ia buat khawatir.
"Kalau begitu ambil saja. Lagian tak ada orang yang datang ke sini. Sepertinya bar akan sepi sampai pertarungan itu selesai," kata Lucia.
Ariadna tersenyum, "Benarkah? Aku boleh pergi mengambilnya?"
"Tentu saja, Ari. Cepat ambil ponselmu dan kembali ke sini. Dan lebih baik kau tak lewat jalan utama karena kau bisa saja berpapasan dengan Geng SMA Rio."
Ariadna mengangguk, "Aku mengerti. Aku akan segera kembali," kata Ariadna sambil melepas celemeknya, lalu keluar dari bar itu.
Ariadna menurunkan topinya menutupi wajahnya. Dengan langkah cepat melewati jalan utama. Tak memedulikan saran Lucia agar ia melewati jalan lain. Perempuan itu melewati rumahnya, tapi Ariadna terus lurus sampai ke ujung gang. Melihat banyak anggota Salvatore sudah berkumpul di tengah lapangan sekolah kosong itu.
Ariadna mendengar suara motor di jauh di belakangnya dan segera bersembunyi di balik tembok. Gerombolan Geng SMA Rio pun masuk ke gedung sekolah itu. Ariadna masuk lebih dalam dan melihat dua geng itu sudah saling berhadapan. Jumlah Geng SMA Rio lebih banyak daripada Salvatore. Ariadna yakin tak semua anggota Salvatore datang ke pertarungan itu. Melihat betapa santainya mereka, mungkin Salvatore menganggap Geng SMA Rio itu lawan yang mudah.
Hingga seorang berjaket hitam dari Salvatore melangkah maju mendekati Geng SMA Rio. Ariadna melihatnya dari jauh, tapi perempuan itu masih bisa melihat wajahnya. Meskipun tertutupi dengan topi, tapi Ariadna dengan jelas mengingat kalau ia melihat laki-laki itu tadi malam. Laki-laki yang ia temui di jalan saat dua orang besar ingin mengganggu Ariadna.
"Apa itu Julian Anakinn? Karena itu dua orang besar kemarin terlihat sangat ketakutan padanya?" batin Ariadna.
Meskipun samar, Ariadna merasa laki-laki itu lumayan mirip dengan laki-laki di foto yang diberikan kakeknya dulu. Tubuhnya tak terlalu tinggi. Kulitnya putih pucat, mungkin lebih putih daripada Ariadna. Dengan rambut hitam yang mencapai tengkuknya. Dari penampilan, sebenarnya tak ada yang perlu ditakuti dari laki-laki itu. Hanya saja tatapan mata laki-laki itu membuat siapa pun enggan berurusan dengannya. Bahkan Ariadna masih merasakan tatapan tajam laki-laki itu meskipun ia berdiri jauh darinya.
Kinn tampak berbicara dengan ketua geng SMA Rio beberapa lama. Wajahnya tampak tenang, berbeda dengan ketua geng SMA Rio yang kelihatan marah dan tersulut emosi. Kinn hanya memasukkan tangannya di saku celananya yang kebesaran. Meskipun tubuhnya lebih pendek, tapi laki-laki itu tak terlihat terintimidasi sama sekali.
Hingga terdengar teriakan ketika ketua Geng SMA Rio mengambil tongkat besi yang dipegang seseorang di sampingnya dan melemparnya ke arah Kinn. Laki-laki itu menahan tongkat besi itu dengan satu tangannya. Melemparnya balik ke arah ketua Geng SMA Rio itu hingga jatuh terpental ke belakang. Melihat pemimpinnya jatuh, anggota Geng SMA Rio itu pun mulai menyerang Salvatore. Semua orang mulai saling menyerang dan mengeluarkan senjatanya masing-masing.
Salvatore - seperti yang sudah Ariadna dengar dari Shane - geng itu bertarung menggunakan pisau. Mereka mengeluarkan pisaunya masing-masing dan mulai menggoreskannya pada lawannya tanpa kasihan.
Semakin lama, Geng SMA Rio yang jatuh semakin banyak. Ariadna melihat Kinn tengah menyudutkan ketua Geng Rio itu ke sudut lapangan - ke arah yang lebih dekat dengan Ariadna. Sekarang, mereka hanya berjarak kurang dari lima meter dari tempat Ariadna bersembunyi.
"Siapa yang menyuruhmu?"
Itu pertama kali Ariadna mendengar suara Kinn. Suaranya terdengar berat dan serak. Sangat berbeda dengan tubuhnya yang pucat dan tak terlalu besar, suara Kinn terdengar sangat maskulin.
"Apa yang kau katakan?! Tak ada yang menyuruhku!" teriak ketua Geng SMA Rio yang bernama Juan itu.
"Kau pikir aku percaya kau datang ke sini karena keinginanmu sendiri?" tanya Kinn lagi.
Juan memegang tongkat besinya dengan erat dan memukul kepala Kinn dengan kuat. "Berhenti mengoceh dan fokus saja padaku, b******n! Kau meremehkanku?!" teriak Juan.
Darah mengalir dari kepala Kinn. Membasahi topi hitamnya dan menetes hingga ke tanah. Kinn melepas topinya dan melemparnya ke tanah. Menyibak rambutnya ke belakang, membuat Ariadna dapat melihat wajahnya dengan jelas.
"Katakan padaku siapa yang menyuruhmu menyerang Salvatore sebelum aku mengeluarkan pisauku, Bocah!" kata Kinn dengan dingin.
Juan tertawa, "Bocah? Kau memanggilku bocah? Kau pikir aku anak SMA karena aku membawa bocah-bocah itu bersamaku? Aku bukan bocah! Aku sudah berumur 24 tahun dan aku alumni SMA Rio, Sialan!" teriak Juan.
Kinn menunjuk anggota Geng SMA Rio yang semuanya sudah jatuh. "Lihat? Anggotamu sudah tak ada yang bisa berdiri. Kau ingin melawanku sendiri? Itu mustahil! Jadi lebih baik kau katakan padaku siapa yang menyuruhmu menggangguku sebelum aku membawamu ke markas dan memotong kakimu," kata Kinn.
Juan mengerjapkan matanya, sinar takut menguasai matanya, tapi laki-laki itu tetap tak mau mengalah.
"Kau pikir aku takut padamu, Anakinn?" Juan menatap Anakinn dari atas sampai bawah. "Aku mendengar kalau pemimpin Salvatore pria yang menakutkan dan kejam. Tapi sepertinya itu hanya gosip murahan. Kau terlihat sangat lemah dan pucat. Tak ada yang takut dengan pria kecil seperti kau," kata Juan dengan wajah menantang.
Tanpa ekspresi, Kinn menonjok perut Juan sampai jatuh. Ketika Juan ingin memukulnya dengan tongkat besinya, Kinn lebih dulu merebutnya dan membuatnya ke belakang. Kinn memukuli Juan berkali-kali. Di perut, wajah, perut lagi, wajah lagi - itu berulang hingga tubuh Juan seperti tenggelam di dalam tanah karena tangan kuat laki-laki itu.
Dan laki-laki tampak tak terganggu dengan Juan yang kesulitan bernapas dan hampir mati karenanya. Kinn hanya memukuli Juan dengan wajah kosong. Seolah itu bukan hal sulit baginya. Seolah dia sudah terbiasa melakukan itu.
"Kinn!"
Dua laki-laki yang Ariadna temui di restoran tadi datang. Namun, Kinn sama sekali tak merespon mereka.
"Berhenti, Bodoh! Kau mau membunuh anak SMA?!" tanyanya sambil meraih tubuh Kinn.
Itu adalah laki-laki yang menggoda Ariadna di restoran tadi. Kalau tidak salah namanya Kenji. Laki-laki keturunan Jepang itu mengunci tubuh Kinn dengan tangan besarnya. Sedangkan laki-laki lain yang Ariadna ingat bernama Rael itu memeriksa keadaan Juan. Bernapas lega ketika tahu Juan masih bernapas.
"Masih hidup," kata Rael pada Kenji.
Kenji menghembuskan napas lega dan melepaskan tubuh Kinn. "Sudah, hentikan, Kinn! Mereka sudah tak ada yang bisa berdiri. Kita pergi saja dari sini," kata Kenji.
Rael melihat Juan yang masih terbaring dengan banyak luka di tubuhnya. "Apa kita perlu membawanya ke rumah sakit? Sepertinya Kinn memukulinya sampai hampir mati," tanyanya.
Kenji menggeleng sambil menyeret Kinn. "Tak perlu. Anggotanya pasti ada yang mengurusnya." Kenji berbalik ke belakang dan berteriak. "Hei! Kita kembali ke markas sekarang! Berhenti memukuli bocah-bocah SMA itu!" teriak Kenji pada anggota Salvatore lain.
"Baik, Bos!" jawab mereka semua sambil menunduk.
Semua anggota Salvatore pergi dari lapangan sekolah itu. Sedangkan Kenji masih menunggu Kinn yang menatap Juan dengan wajah kosong.
"Kita pergi sekarang, Kinn! Apalagi yang ingin kau lakukan?" tanya Kenji.
Kinn menggeleng, berjalan lurus menginjak tubuh Juan hingga laki-laki itu berteriak kesakitan. Kinn berjalan dengan Kenji dan Rael di belakangnya. Ketika Ariadna pikir semua sudah selesai, tiba-tiba ia mendengar suara Kinn lagi.
"Sepertinya masih ada satu urusan lagi di sini," kata laki-laki itu.
Sebelum Ariadna menebak apa yang dimaksud laki-laki itu, Kinn berbalik dan menatap Ariadna dengan tajam. Sangat cepat hingga Ariadna tak punya waktu untuk kembali bersembunyi di balik tembok. Kinn berjalan mendekati Ariadna, meninggalkan Kenji dan Rael yang terlihat terkejut dengan keberadaan perempuan itu.
Ketika mereka hanya berjarak dua meter, Kinn memiringkan kepalanya seolah menilai Ariadna dan berkata dengan datar.
"Jadi, apa yang kau lakukan sejak tadi di sini?" tanyanya tanpa mengedipkan matanya sedetik pun.