Avalon berdiri di tengah kerumunan manusia yang menggila. Mereka berlompatan ke sana kemari dan berteriak tak terkendali. Mata Avalon menatap lurus pada lelaki cantik yang sedang asyik memetik gitar sembari bernyanyi. Gerakan jemari pada senar gitar seirama dengan lengkingan pita suaranya.
Teriakan orang-orang semakin keras, hentakan kaki semakin liar. Avalon seperti utusan yang berjalan membelah samudera. Saat lelaki bangsawan itu melangkah, kumpulan orang-orang kesetanan minggir memberi jalan.
Dari bawah panggung, Avalon mengirim isyarat pada lelaki cantik yang bernyanyi. Di mata manusia, dia hanya lelaki berparas elok dan halus seperti wanita. Kenyataannya, makhluk di hadapan Avalon ini setengah pria dan setengah wanita.
Marylin menyadari kehadiran lelaki agung yang menanti responnya. Seketika lengkingan suaranya terhenti dan alunan gitarnya melemah. Namun pengaruh Marylin pada para penggemarnya belum berakhir. Kalau dia menghendaki, dengan satu aba-aba, para penggemarnya yang berjumlah ribuan akan menyerbu dan mencabik Avalon.
‘Kamu tidak akan melakukannya. Melemahlah. Dan kita bisa berbicara baik-baik.’
Avalon melakukan telepati untuk berbicara dengan Marylin.
‘Apa yang akan kamu lakukan? Semua makhluk dunia kita yang berada di sini sudah tahu kalau kamu kehilangan kekuatanmu. Di sini, kamu bukan lagi pangeran kami. Kamu cuma penyihir selemah manusia.’
‘Aku masih punya sisa kekuatan untuk memblokir kekuatanmu.’
‘Tapi tidak cukup untuk menghancurkanku.’
“Aku tidak ada niatan untuk menghancurkanmu.’
‘Bohong! Kalau bukan karena perintahmu, tak mungkin aku berakhir di negeri manusia!’
‘Maafkan aku!’
Gitar Marylin melengking lagi. Avalon bisa merasakan napas-napas panas mengerumuninya.
‘Sekali kubuka suara, mereka bisa mencabikmu tanpa sisa.’
‘Lakukan. Jika kamu lakukan itu, selamanya kamu tak bisa kembali ke dunia kita. Kamu tau pasti, hanya aku yang bisa membuatmu pulang.’
Avalon melihat Marylin seperti tertawa mengejek.
‘Pulang? Untuk apa pulang? Aku kerasan di sini. Bagi pengikutku, aku sudah seperti dewa. Sedang di dunia kita, aku cuma sampah.’
‘Negeri kita membutuhkanmu.’
Lagi, lengkingan gitar meninggi. Suaranya seperti mengejek Avalon. Marylin tak memedulikan Avalon lagi. Dia memainkan gitarnya seperti kerasukan.
‘Kamu tau yang terjadi di negeri kita. Aku mengizinkanmu pulang untuk menyelamatkan negeri cahaya dari kehancuran.’
‘Persetan! Kamu yang mengusirku Avalon sialan! Matilah kamu!’
Marylin mulai bernyanyi. Avalon merasakan sebuah tangan menariknya mundur.
“Kita tak bisa melanjutkan ini tuanku! Cepat pergi dari sini!”
Dengan kekuatannya yang tak seberapa, Sheeva berusaha melindungi pangerannya. Namun tameng lemah yang dibangunnya untuk mereka berdua tak akan bertahan lama.
‘Matilah kamu.’ Suara Marylin menggema di kepala Avalon dan Sheeva. Lelaki dua rupa itu terus memainkan gitarnya, memaksa para penggemarnya untuk menyerang Avalon dan Sheeva.
Avalon tau, dalam waktu singkat, tameng Sheeva akan hancur dan mereka berdua tak bisa luput dari amukan massa yang menggila. Namun Avalon belum mau menyerah, sudah sedekat ini dan dia tak mau pulang dengan tangan kosong. Dia tetap bertahan dengan Sheeva di sebelahnya yang memegang erat tangannya sementara tangan Sheeva yang satu lagi menghalau orang-orang yang mendekati mereka seperti zombie.
“Tuan, Shee-va su-dah ti-dak ta-han la-gi,” kata Sheeva terbata.
Avalon geming. Masih menatap lurus kepada Marylin. Lelaki cantik itu bersiap memuntahkan peluru terakhirnya.
“Tu-an, kalau Tuan Marylin membu-ka mulut, maka habislah ki-ta. Cepat i-kut Sheeva keluar dari si-ni!”
‘Turuti kata pelayanmu. Pergilah. Dan jangan ganggu aku lagi. Ini belas kasih dariku.’
‘Bergabunglah denganku. Kita bentuk sekutu untuk menyelamatkan dunia kita.’
‘Bodoh. Kamu dan dunia bodohmu.’
‘Dunia itu tanah kelahiranmu Marylin. Tempat kamu berasal.’
Lengkingan gitar Marylin perlahan melemah. Sepertinya Avalon berhasil memasuki sisi sentimental Marylin. Pemusik biasanya begitu kan? Selalu punya sisi romantis dan juga manis. Marylin tau kalau kehancuran sedang melanda negerinya. Kalau kegelapan menguasai negerinya, pilihan semakin buruk bagi makhluk seperti dia.
Menyerah dan takluk pada kegelapan atau selamanya menjadi pelarian dari dimensi ke dimensi. Marylin sadar, hidupnya sebagai pelarian akan sangat melelahkan. Namun tunduk pada kehendak kegelapan juga bukan pilihan terbaik.
Tapi bersekutu dengan Avalon juga pilihan yang menyebalkan.
Marylin mulai bernyanyi. Kalimat-kalimat pengharapan serupa mantra yang membius. Membuat kegilaan tak pernah berhenti dan Avalon maupun Sheeva tau, di akhir lagu, mereka akan binasa.
‘Kalahkan suaraku wahai makhluk cahaya. Ikuti nyanyianku menuju kematian. Kedatanganmu bukan memberi harapan. Kehadiranmu sumber kehancuran. Wahai makhluk cahaya yang bersembunyi dalam gelap, sinarmu tak sependar dulu lagi. Satu jarimu mengacung, tak sepadan dengan pengabaian yang sudah kau lakukan. Makhluk cahaya yang terhina, mengharap tempat lalu yang bersinar. Di dunia yang tak mengenalmu, mereka tak memahamimu. Di dunia yang tak menerimamu, mereka menguburmu.’
Nada tinggi semakin keras, dan Sheeva pun sudah tak kuat lagi. Tinggal satu saja yang bisa dia lakukan sekarang, melindungi Avalon dengan tubuhnya. Sheeva membalikkan badan dan memeluk tubuh Avalon.
‘Matilah makhluk cahaya. Biarkan tanah memendammu!’
Tameng Sheeva hancur, tangan-tangan mulai terasa mencakari punggung Sheeva.
“Maafkan Sheeva yang lemah, Tuan. Maafkan Sheeva yang tak bisa melindungi Tuan Avalon!”
Sebuah hantaman mengenai tengkuk Sheeva dan dia menjatuhkan diri pada tubuh Avalon. Lelaki gagah itu bukannya luput dari pukulan dan cakaran. Dia bisa merasakan perih kulitnya yang terkelupas. Namun sudah terlambat untuk mundur. Lautan manusia ini sudah tak bisa dibelah lagi. Mereka sudah bertumpuk di sekita Avalon untuk mencabiknya.
Avalon memandang ke langit malam yang membentang. Suara Marylin masih terdengar memberikan perintah-perintah ke alam bawah sadar penggemarnya.
Apa ini akhir bagi seorang pangeran cahaya? Mati di negeri antah berantah yang tak mengenalnya. Mati tanpa penghormatan yang layak bagi seorang bangsawan.
Avalon menutup mata, bersiap menerima takdirnya yang terakhir.
Kematian.
Lalu suasana menjadi hening. Suara Marylin tak terdengar lagi. Sesaat, Avalon mengira dia sudah benar-benar mati.
“Apa yang terjadi? Kenapa suasana terasa sepi?”
Dan Avalon juga menyadari kalau tangan yang tadi mencakar dan menjambak rambutnya sudah tak terasa lagi.
Perlahan Avalon membuka mata. Keadaannya kini memprihatinkan. Dia berjongkok di tengah lautan manusia dengan memeluk Sheeva yang tak berdaya.
“Apa yang gue lakuin ya?”
“Kita lagi ngapain sih?”
“Ini kenapa gelap coba?”
Dan suara-suara kebingungan lainnya.
Avalon baru sadar kalau lampu-lampu sorot yang sedari tadi menyinari panggung sudah mati. Keadaan gelap gulita.
“Sheeva, Sheeva sadarlah Sheeva.” Avalon berusaha membangunkan pelayannya.
“Pak, lo nggak papa? Badan lo penuh luka,” tanya seseorang yang menyadari posisi aneh Avalon dan Sheeva. “Temen lo kenapa? Dia pingsan atau tidur?”
Avalon bingung, ada cahaya yang menyorot dirinya dari lampu ponsel. Kini banyak cahaya di sekitarnya dari lampu ponsel.
“Avalon! Sheeva! Di mana kalian! Avalon! Sheeva!” teriakan seseorang yang mereka kenal terdengar memanggil di antara dengungan suara bingung.
“Avalon! Sheeva!”
“Jorgi! Kita di sini!” balas Avalon. Dan tubuh-tubuh pun menyingkir menyusul seraut wajah cemas mendatangi mereka.
“Kenapa Sheeva?” tanyanya khawatir sambil membantu Avalon berdiri dan memapah Sheeva.
“Dia sepertinya kena pukul seseorang.”
“Ayo cepat kita pergi dari sini sebelum suasan membaik.”
“Apa yang terjadi?”
“Nanti saja aku ceritakan di jalan. Yang penting pergi dulu dari sini. Teman penyihir kalian itu sinting! Sepertinya dia berusaha menghabisi kalian.”