Temuan
Saya lemah.
Jika tidak ada yang memungut dan menjadi tuan saya, saya akan lenyap. Oh, tidak! Apa hanya sampai di sini saja hidup saya di dunia ini?
=*=
Satya menendang kerikil di ujung langkahnya. Menciptakan lambungan yang cukup tinggi lalu kerikil itu menggelinding dan masuk selokan di tepi jalan. Siang ini panasnya minta ampun ditambah lagi suasana hatinya nggak enak banget. Hari yang sempurna buat marah-marah pada siapa saja. Termasuk sama anjeng kudisan yang sedang mencabik sesuatu di pinggir bak sampah.
"Hush! Hush!" Satya mencoba mengusir anjeng tersebut. “Dasar anjeng! Ngapain sih khusyu banget di deket tong sampah? Nggak tau orang lagi senewen apa? Toleransi dikit napa! Dasar anjeng! Sekalinya anjeng tetep aja anjeng. Eh, ngapain dia! Ko kayak mo w*****k sih? Emang anjeng bisa w*****k tanpa lawan. Gilaa ajaaa! Anjenggg!! Pergi sana!”
Anjing kudisan itu menggeram nggak senang sama Satya. Keasyikannya menggigiti sesuatu dan berusaha melakukan self service pada dirinya terganggu. Aneh banget, masa anjeng bisa gitu ya? Tapi gayanya tadi kayak mau gitu. Ah, sudahlah! Ini kepala Satya udah terlalu melepuh karena kepanasan dan juga stres. Jadinya pikirannya bercabang-cabang kayak pohon rambutan.
Intinya Satya sedang nggak enak hati, jadi semua yang ada di sekelilingnya nggak boleh senang. Termasuk anjeng kudisan yang siyalnya sedang berpose nganu di hadapannya.
"HUSH!" Satya melempari anjing tersebut dengan kerikil. Pokoknya tu anjeng harus pergi dari hadapan dia.
Satya kesal sama anjeng, kesel sama tiang listrik, kesel sama tembok yang digambari grafitti sama mural, kesel sama permen karet yang nggak sopannya nempel di sepatu butut yang solnya sudah setipis lingerie. Pokoknya Satya kesel sama semuanya! Pikirannya sedang ruwet karena ditolak lagi pada saat melamar kerja. Perusahaan yang menolaknya tadi adalah perusahaan ke-99 dalam kurun waktu satu bulan.
Pencapaian yang luar biasa kan! Nggak akan ada orang sesial Satya dalam mencari kerja. Kalau saja dia perempuan, pasti sudah menangis-nangis tanda menyerah dan minta dikawinin saja sama CEO. Sayangnya dia laki-laki, nggak mungkin juga dia jual ginjal buat menopang hidupnya ke depan. Dia sayang sama semua anggota tubuhnya dan nggak mau berpisah dengan mereka semua. Dia dan anggota tubuhnya adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Ibarat power rangers kalau sudah jadi robot raksasa.
Menjahili anjeng liar sedikit banyak sudah membuatnya puas. Satya butuh sesuatu yang menyenangkan untuk melupakan rasa frustasinya.
Tapi setelah anjeng itu pergi, Satya jadi pengen tahu, apa sih yang sedang digigiti anjing tadi?
Satya pun memungut benda yang tadi digigiti anjeng.
Sebuah pena bulu. Melihat bentuk pena yang berupa lekukan tubuh perempuan tanpa busana, membuat rasa frustasi Satya semakin menjadi-jadi. Dia nggak habis pikir gimana bisa anjing kudisan gitu napsu banget ngegigitin pena kayak gini? Apa dipikirnya dia sedang menggigiti dadaa ayam montok dan paha ayam berlemak? Atau dia sedang …
Siyal! Pikirannya mulai traveling.
Satya berniat membuang pena itu sebelum dia menghabiskan sabun batangannya untuk berfantasi dengan sang pena.
Tapi niatan itu urung dilakukannya. Wajah dibalik bulu-bulu kucel berwarna pink terlihat sedih. Dia pasti mulai gilaa lagi. Masa iya mata yang berupa garis pada pena itu terlihat mengedip? Ya, dia pasti sudah gilaa karena panas yang menyengat dan perutnya yang lapar.
Dirabanya saku kemeja garis-garisnya. Masih ada uang Rp. 5000 sisa naik bus. Cukup untuk membeli dua bungkus mi instan. Satu untuk siang ini. Satu untuk nanti malam. Besok dia puasa. Karena nggak ada lagi uang tersisa. Nanti malam dia harus memutar otak untuk mendapat uang untuk makan besok. Dia nggak mungkin minta dikirim uang lagi oleh orang tuanya di kampung. Panen mereka sedang nggak bagus dan Satya nggak mau mendengar kata-kata Bapak yang menyuruhnya pulang untuk membantu bekerja di sawah jika nggak bisa menaklukan ibukota.
Satya malu.
Empat tahun kuliah dengan beasiswa penuh dan setelah lulus dia harus membantu Bapak mencangkul di sawah. Beuhh!
Seharusnya dia bisa mengangkat derajat Bapak sama Ibu dan memberikan mereka kehidupan yang lebih baik. Seharusnya ijazah sarjananya bisa lebih berguna untuk mencari kerja. Nilainya bagus. Sempurna di angkatannya. Tapi mengapa untuk posisi yang paling rendah sekalipun dia nggak bisa mendapatkannya?
Satya kesal. Sungguh kesal. Lagi-lagi dia menendang kerikil. Sambil memaki, Satya memasukkan pena bulu ke dalam tas bututnya dan berjalan ke warung di sebelah kontrakan. Perutnya lapar dan dia lelah. Semangkuk mi instan dan air dingin akan membuatnya lebih segar.
=*=
Dengan langkah mengendap, Satya memasuki halaman kosannya. Dia nggak mau kepergok ibu pemilik kontrakan yang judesnya minta ampun.
Sayangnya usahanya gagal. Ibu kos sudah berdiri menunggu di depan pintu kamarnya dengan tangan berkacak pinggang. Mulutnya mengerucut. Kepalanya penuh dengan rol rambut. Daster satu talinya melorot sebelah memperlihatkan tali kutangnya yang kendor. Satya meringis sambil menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja penuh ketombe.
"Tiga hari! Tidak lebih. Kalau tidak dibayar juga, kamu harus pindah!" kata ibu kontrakan judes begitu melihat muka Satya yang mirip baju belum di setrika. Mulutnya monyong-monyong di depan Satya. Mirip mama dragon dengan napas yang bau jengkol.
Setelah menjatuhkan ultimatumnya, dia pun melangkah menjauhi Satya dengan langkah besar-besar. Kedua pahanya yang berlemak pasti susah untuk ditemukan sehingga dia harus melangkah terkangkang-kangkang seperti itu.
Satya mendesah. Tiga hari? Tiga hari? Dari mana dia harus mencari uang untuk melunasi tunggakannya selama dua bulan? Sedang uang terakhirnya saja baru dia belikan dua bungkus mi instan. Apa dia harus menyerah dan pulang ke kampung? Membantu Bapak mencangkul di sawah dan mengarit rumput untuk ternak?
Sepertinya begitu. Di kepalanya belum ada rencana bagus untuk menghasilkan uang.
Jika benar begitu, dia akan pulang dengan jalan kaki!
Satya melempar tas bututnya ke atas kasur. Sesaat dia bersumpah mendengar suara mengaduh dari dalam tasnya. Tapi buru-buru dia tepiskan. Pikirannya lagi oleng, jadi wajar jika dia mendengar suara yang aneh-aneh. Satya memutuskan untuk segera menuntaskan urusan perut. Dia nggak ingin pikirannya makin kacau.
"Hhmm, aroma karinya sedap banget. Aku mandi dulu, ah sambil nunggu mi-nya agak dingin," ujar Satya setelah selesai masak mi pake kompor listrik.
Dia meletakkan mi di meja kecil lalu berjalan ke kamar mandi. Di depan pintu dia berhenti. Pikiran nakal menyelusup masuk. Dia pun mengambil tas baunya yang butut dan mengaduk-aduk isinya. Wajahnya berubah cerah ketika dia menemukan barang yang dicarinya. Satya tersenyum nakal lalu berjalan ke kamar mandi sambil bersiul.
Hari ini boleh jadi hari yang paling sial baginya. Tapi kesenangan laki-laki tanpa pasangan tidak boleh diabaikan. Pikiran ruwetnya akan segera hilang setelah 'upacara' kecil yang akan dia lakukan sebentar lagi. Tidak masalah jika sabun batangnya mengecil, toh dia sudah memutuskan akan pulang kampung juga nantinya. Yang penting hari ini, siang ini, detik ini juga, dia bisa melepaskan stresnya di kamar mandi. Dengan ditemani pena perempuan dengan bulu-bulu halus berwarna pink di kepalanya.©