“Tuan! Tuan Satya! Mana yang sakit, biar Minami obati.”
Minami berjongkok di sisi Satya yang masih menutupi kedua telinganya.
“Tuan, ini Minami. Ini Minami Tuan!”
Dengan wajah sedih Minami berusaha melepaskan kedua tangan Satya dan memaksa lelaki itu memandangnya.
“Mi-Minami? Sa-sakit. Telingaku sakit sekali.”
Minami mengangguk. “Minami bisa hilangkan sakitnya. Bersabarlah.”
Lalu dia memandang pada Avalon.
“Tuanku Avalon tidak bisa melakukan sesuatu pada pemusik itu?”
Avalon yang berdiri mengeras memandang ke arah Minami. Bukannya dia tak mau melakukan sesuatu, tapi kalau dia pergi ke tempat di mana pemain band itu bermain, Avalon khawatir akan terjadi sedikit pertikaian. Dia tak punya kekuatan untuk melumpuhkan para pemusik itu dan Sheeva jelas bukan tandingan mereka.
Avalon menoleh pada Jorgi, sedikit heran dengan manusia satu itu. Kalau Satya saja bisa kesakitan mendengarnya, mengapa Jorgi biasa saja? Apa dia punya kemampuan untuk menghalangi sihir bekerja?
“Kita tidak bisa hanya berdiam saja seperti ini Tuan. Tuan Satya bisa dibawa pergi menjauh dari sini. Tapi kesempatan kita untuk menemukan yang selama ini kita cari tak akan datang dua kali. Saya takut kalau tidak sekarang, kita akan kesulitan menemukan mereka.”
“Tapi kondisiku Sheeva–”
“Tuan … percayalah pada Sheeva-mu ini. Sheeva tidak selemah yang Tuan pikir. Yakinlah pada kemampuan Sheeva.”
“Aku juga bisa diandalkan. Aku bisa berjuang bersama kalian. Kasih tau aku, apa yang harus dilakukan.”
Avalon memandang sekilas pada Jorgi. “Makhluk lemah seperti kamu bisa apa? Penyihir yang ini lebih kuat dari tukang foto yang pernah kamu temui itu.”
“Pe-penyihir? Ada penyihir lagi? Wah, menarik!” kata Jorgi bersemangat. Bukannya takut, lelaki itu malah nggak sabar pengen ketemu sama penyihir yang dibilang Avalon.
“Tuan, kondisi Tuan Satya mengkhawatirkan. Cepatlah pergi, biar Minami menyelesaikan urusan di sini.”
“Kamu mau apa?” tanya Jorgi penasaran.
“Bisa apa lagi dia?” tanya Avalon sinis. “Hei, kamu! Manusia lemah! Mana kendaraan beroda milikmu itu? Cepat antar kita ke sana dengan itu!” perintah Avalon dengan congkaknya.
“Manusia lemah ini punya nama, Tuanku. Aku Jorgi dan kendaraan itu namanya mobil. Belajarlah mengenal dunia yang kamu tinggali ini.”
Avalon tak peduli dengan penjelasan Jorgi. Dia nggak perlu menghapal semua hal. Seorang pangeran seperti dia bebas mengatakan apa saja sekehendak hati.
Sepeninggal mereka, Minami membingkai wajah Satya yang sudah setengah sadar. Matanya fokus pada sesuatu yang fana. Saat Minami meminta memandangnya, Satya tak bisa fokus lagi. Pupil hitam Satya sudah hampir menghilang.
“Tuan Satya, fokuslah pada panggilan Minami. Tuan Satya, bangunlah dari kesadaran yang dalam. Dengarlah panggilan Minami.”
“Mi-na-mi?” panggil Satya lirih. Bola matanya memutar, menatap Minami dan mencoba meraih kesadarannya lagi.
“Ini mungkin sedikit menyakitkan, tapi percayalah pada Minami. Tuan Satya, maafkan Minami.”
Setelah mengatakan hal itu, Minami mencium Satya dengan lembut. Kali ini sedikit berbeda. Jika biasanya dia menguasai keadaan, saat ini dia memberi Satya sedikit kelonggaran. Minami membiarkan Satya menjelajahi bibirnya dengan bebas.
Ini sulit, karena Minami tak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Dia harus menahan diri agar tak menghisap bibir Satya dengan rakus seperti biasa. Ini sulit, karena ketika Satya bisa menikmati ciuman demi ciuman dengan Minami, rasa lapar Minami semakin hebat. Butuh kekuatan besar untuk menahan diri. Karena itulah selalu Minami yang lebih aktif mencium.
Namun hanya dengan cara ini, rasa sakit akibat mendengarkan musik sihir bisa dihilangkan bahkan dilupakan. Dan Minami harus bisa bertahan demi Satya, sampai musik itu tak terdengar lagi.
‘Tuan Avalon … bergegaslah. Minami lapar sekali. Minami hampir tak kuat lagi.’
Satya masih memagut Minami sebagai seorang lelaki menciumi perempuan. Di matanya, Minami bukan lagi penyihir bodoh yang datang ke bumi dan bergantung padanya untuk makan. Bagi Satya, Minami adalah perempuan dewasa dengan segala pesona dan lekuk tubuh sempurna.
Maka ketika bibirnya sibuk mengecapi bibir Minami, tangan Satya menjelajah sesuka hati. Dia lelaki dan Minami lawannya. Tanpa penolakan yang ditunjukkan Minami, Satya seolah mendapat lampu hijau.
Di kejauhan sana, mobil yang dikemudikan Jorgi melaju dengan kencang. Tujuannya jelas kerumunan anak muda yang jejingkrakan di bawah alunan musik metal.
Sebuah band underground membawakan musik-musik cadas dengan melodi-melodi tinggi yang membuat pendengarnya hilang akal. Mereka seolah tak peduli lagi di mana mereka berada. Keringat dan ludah membaur jadi satu. Vokalisnya menyanyikan rangkaian kata tanpa makna. Bukan kata yang membuat mereka menggila, tapi lengkingan gitar yang dipetik oleh sang vokalis. Semakin tinggi nada gitar, semakin keras teriakan penonton.
“Bagaimana cara kita mengendalikan kerumunan sebanyak ini Tuanku?” tanya Sheeva khawatir. “Saya tak mungkin menghipnotis mereka sekaligus atau membendung lengkingan musik yang menyakitkan ini.”
Avalon diam saja di kursi di sebelah Jorgi. Pandangannya fokus ke depan. Dia penyihir dengan kemampuan tingkat tinggi, sihir di bawahnya tak akan mempengaruhinyan. Namun dia cukup paham kalau sihir ini berbahaya.
Bagi manusia, nada yang dimainkan mempengaruhi emosi dan pribadi seseorang. Yang sudah dipengaruhi musik sihir akan mudah marah dan terdorong untuk melakukan hal-hal negatif. Mereka yang tidak tahan akan melakukan bunuh diri. Tak heran apabila dalam suatu konser dan musik ini dimainkan untuk waktu yang lama, para pendengarnya bisa saling menyakiti dan terjadilah bunuh diri massal.
"Aku ingin merekrutnya dengan damai. Jangan sampai ada manusia terluka. Kalau aku muncul mendadak, apa ada jaminan dia tak akan menyakiti para penggemarnya?" tanya Avalon pada diri sendiri.
"Kita harus tunggu sampai mereka selesai tampil, Tuan."
"Aku akan cari cara untuk membantu kalian," kata Jorgi menimpali.
Avalon menoleh padanya, "Dan manusia satu ini, kenapa kamu tak terpengaruh?"
"Entahlah. Apa karena aku nggak suka musik? Buatku musik apa saja nggak ada bedanya. Cuma bunyi-bunyian yang berisik."
Kening Avalon mengernyit. Rasanya nggak mungkin alasannya semudah itu. Satya saja belum tentu suka musik, tapi dia sangat kesakitan.
"Kamu yakin bukan karena pendengaranmu terganggu. Mungkin sebenarnya ada benda kecil menyumbat telingamu dan kamu cuma pura-pura bisa mendengar. Bukannya kamu terbiasa melakukan itu?" tanya Avalon sinis.
"Maksudnya aku budeg?!"
"Budeg?"
"Iya, kamu baru saja bilang gitu. Aku cuma lagi akting kalau telingaku normal padahal sebenarnya aku budegg! Begitu kan?"
"Apa aku bilang kalau kamu budeg? Rasanya tidak. Aku bilang telingamu mungkin tersumbat."
"Sama saja Pangeran Avalon! Kamu meledek ya?" tanya Jorgi kesal.
"Sudah hampir dekat. Kamu fokus nyetir saja manusia. Jangan sampai kita terluka karena kamu nggak bisa mengendalikan kudamu."
"Astaga! Namaku Jorgi, Tuan. Jorgi! Dan kendaraan ini namanya mobil! Bukan kuda. Ini kijang, tau!" ujar Jorgi makin kesal.
Pangeran Avalon terlihat tak peduli. Matanya menatap sekumpulan anak muda yang baru saja mereka lewati.
Kalau dia tak salah lihat, Pangeran merasa mereka kehilangan pupil matanya. Bola matanya putih semua.
Dan itu bukan pertanda bagus.