“Hah!!! Kalian semua kerja santai, sementara aku yang paling banyak bekerja di sini! Apa kita nggak bisa tukeran tugas!” keluh Jorgi ketika lagi-lagi dia diminta mengajak Baby Chubby main.
Dilihatnya sekeliling, seolah waktu berhenti di apartemennya.
Minami dan Sheeva bermain kartu. Avalon meditasi. Dan Marylin memetik gitar menciptakan nada-nada yang akan dia gunakan untuk membius pendengarnya lagi.
Sedangkan Mancare, lelaki itu bergerak kalau Baby menyuruhnya kalau tidak, Mancare cuma duduk di dekat baby dengan sikap waspada.
“Tuan Jorgi lelah? Sini Minami pijit!” serunya dengan riang.
“Ah, Minami, kamu memang yang terbaik.”
“Tuan Jorgi teman Minami.”
“Apa sudah kamu pikirkan tawaranku, Minami? Kalau kamu mau menjadi penyihir pribadiku, hidupmu akan lebih baik dari sekarang. Dan kamu bisa makan enak sepuasmu!” rayu Jorgi.
“Minami suuka makan enak!” serunya sambil memukul mukul bahu Jorgi.
“Sebaiknya tidak Tuan lakukan kalau masih ingin pertemanan Tuan dengan Tuan Satya tetap baik,” kata Sheeva menyarankan.
“Hhh, pertemananku sama dia nggak pernah baik. Kalau Minami memilih aku, itu artinya dia melakukan pilihan yang benar dan bukan paksaan. Iya kan Minami?”
“Minami nggak suka dipaksa!”
“Tentu saja. Aku nggak memaksamu, hanya bertanya sesekali. Iya kan?”
“Sekali di jam sembilan, sekali di jam sepuluh, sekali di jam sebelas, dua belas, satu, dua, tiga, empat–”
“Stop!” kata Jorgi. “Nggak usah kamu terusin.”
Sheeva terkekeh mendengarnya. Jorgi memang sering sekali meminta Minami menjadi miliknya. Bilangnya nggak memaksa tapi kalau setiap jam dia meminta pada Minami, apa nggak memaksa namanya.
Baby Chubby rupanya terusik dengan keributan di sekitarnya. Dia berjalan tertatih ke arah Jorgi yang duduk bersimpuh di lantai. Tangannya terulur ke pipi Jorgi dan dalam sekejap, Jorgi seperi melihat ilusi di sekitarnya.
Avalon dan yang lainnya menghilang. Tergantikan dengan panggung megah tempat diselenggarakannya ajang pemilihan selebritis favorit.
Jorgi dinominasikan dalam beberapa kategori seperti aktor terbaik dan selebritis tahun ini. Sebuah penghargaan tertinggi dalam karya seni dan Jorgi sangat memimpikan kemenangannya. Rasanya dia bisa melihat kalau dirinya memegang piala kehormatan berlapis emas dan bertatahkan batu-batu berharga.
Dan benar saja, dalam sekejap dia berdiri di panggung kehormatan dengan memegang piala. Orang-orang berdiri dan memberikan tepuk tangan untuknya. Lampu sorot menerangi tubuhnya dan ribuan blitz menyiraminya.
Jorgi menjadi selebritis terhormat malam itu. Kebahagiaan yang luar biasa baginya dan kalau ini mimpi, Jorgi tak mau terbangun.
“Sayangnya ini mimpi dan kamu harus membuka mata.” Suara Baby Chubby terdengar dan ketika dia melepas telapak tangannya dari pipi Jorgi, bayangan kemewahan itu lenyap.
“Bagai-mana? Bagaimana itu bisa terjadi. Tolong kembalikan pialaku! Mana pialaku!” teriaknya.
Jorgi berdiri dan mulai mengacak rambutnya frustasi. Bayangan tadi begitu nyata dan dia nggak menyangka kalau itu cuma mimpi. Mana mungkin mimpi bisa sejelas itu?
“Hhh, kamu baru merasakan kemampuan sebenarnya Baby Chubby kan? Bukan minum alkoholnya yang membuat dia unik, tapi menciptakan ilusi yang mampu mempengaruhi orang banyak. Yang dimiliki Baby Chubby adalah kemampuan alami. Berbeda dengan ilusi yang bisa dipelajari oleh para penyihir.” Avalon memberikan penjelasan pada Jorgi atas apa yang baru saja dialaminya.
“Saking nyatanya ilusi yang dia buat, kalau kamu terlalu lama berada di dalamnya, kamu bisa gila. Seperti sekarang, kalau kamu nggak cepat-cepat sadar, kamu bakal stres dan lama-lama hilang ingatan.”
Jorgi mencoba meresapi penjelasan Avalon. Dia nggak mau stres apalagi gila. Setelah mengatur napas sejenak, Jorgi memejamkan mata dan mencoba menenangkan diri. Digenggamnya kalung yang melingkari lehernya.
‘Tuan … bebaskan aku. Di dalam sini sangat sempit.’
“Beri aku ketenangan, beri aku ketenangan,” gumam Jorgi sambil memegang kuat-kuat liontin kalung itu.
‘Akan saya berikan ketenangan yang Tuan minta dan bebaskanlah saya.’
“Beri aku ketenangan. Beri aku ketenangan.” Jorgi masih komat kamit seperti baca mantra.
Avalon berdiri dari posisi meditasinya. Dia melihat tajam ke arah Jorgi. Tangan Avalon terulur dan dia membaca mantera.
‘Crash!’
Sebuah sinar berwarna ungu keluar dari dalam genggaman Jorgi dan sinar itu membesar bersamaan dengan datangnya kepulan asap yang lama-lama membentuk sesosok makhluk.
Di hadapan Avalon, sesok makhluk aneh bersimpuh.
“Hamba memberikan hormat pada Pangeran kami yang agung.”
Semua yang ada di ruangan itu terutama Jorgi, terkejut melihat penampakan makhluk aneh ini. Dia memiliki telinga yang runcing. Gigi taringnya sedikit lebih panjang hingga tetap kelihatan menonjol ketika dia menutup mulut. Wajahnya tak bisa dijelaskan, apa dia laki atau perempuan. Rambutnya berwarna ungu muda dengan potongan pendek tapi ada kepangan panjang hingga pinggang. Dan ketika dia menoleh kepada Jorgi, lelaki itu bisa melihat bola matanya berwarna ungu cair.
Dan yang paling ajaib dari keseluruhan penampilan uniknya, makhluk itu punya ekor seperti kera.
“Ma-makhluk apa dia?” tanya Jorgi syok. Dilepakannya genggamannya pada liontin. Kalau dia tak salah lihat, makhluk itu tadi muncul dari genggamannya. Apa dia muncul dari dalam liontin?
“Hamba selama ini berada dalam liontin yang Tuan kenakan. Suara-suara yang Tuan dengar, itu suara hamba.”
“Ah, jadi aku bukan gila? Kupikir selama ini aku mendengar suara aneh di kepalaku. Kupikir aku punya gejala schizo. Apa ini artinya aku waras? Aku nggak gila?” tanya Jorgi tak percaya.
“Kamu selama ini mendengar suaranya?” tanya Avalon tak percaya.
“Ya, aku mendengar suaranya tiap kali berdoa. Sebenarnya bukan berdoa. Aku hanya memohon akan sesuatu dan tiap kali aku memohon suara itu selalu terdengar. Suara minta tolong.”
“Dan kamu nggak memberi tahu aku?”
“Hhh, kenapa aku harus memberi tahumu? Memangnya aku gila mengatakan kondisi kesehatan mentalku sama orang yang akan membuatku makin gila?”
“Karena aku bisa membebakanmu dari keharusan mendengar suara gaib.”
“Memangnya aku tau kalau aku sedang mendengar suaa seorang penyihir? Oh, dia pasti sama seperti kalian kan? Seorang penyihir?”
“Hampir benar,” kata makhluk ungu itu. “Perkenalkan, nama hamba Senal. Hamba peri penunggu hutan pelangi.”
“Senal, kenapa kamu bisa terperangkap di dalam liontin itu?”
“Seorang pedagang gelap menangkap dan mengurung hamba Tuanku. Dia menawan hamba dalam sebuah liontin dan menjual liontin ini di pasar gelap. Liontin yang bisa mengabulkan permohonan.”
“Dan bagaimana kamu bisa menemukannya Jorgi?” tanya Avalon. Barang-barang dari negeri sihir tidak bisa menyeberang begitu mudah tanpa perantara yang membawanya.
“Aku membelinya dari seorang kolektor batu berharga. Dia bilang tak ingin menggunakan kekuatan batu lagi setelah istrinya meninggal.”
Senal terkekeh. “Selama di dalam batu, aku tidak bisa makan. Dari mana aku mendapat kekuatan kalau bukan memakan roh-roh yang paling lemah di sekitarku. Anda pun akan membuat saya memakan roh kalau terus melakukan permohonan.”
“Roh? Jadi kamu mengambil roh mereka?” tanya Jorgi tak percaya.
Senal mengangguk dan memamerkan gigi taringnya.
“Roh lemah gampang diambil. Cukup memberiku makan selama beberapa bulan.”
Jorgi memandang tak percaya. Dia memang melihat beberapa kematian di sekitarnya. Biasanya kalau ada orang sakit parah yang dikenalnya, tak berapa lama dia akan meninggal setelah Jorgi menjenguknya.
Jorgi syok lagi setelah mengetahui kalau kemungkinan dialah yang telah mengantarkan malaikat maut kepada orang-orang itu.