Runtuhnya Dunia Viola

2340 Words
Kelas pun akhirnya usai. Seluruh mahasiswa berhamburan keluar dari kelas menuju kantin atau tempat tongkrongan mereka masing-masing. Kecuali Viola, gadis itu tetap duduk didalam kelas. Selama kuliah, gadis tersebut tidak pernah keluar dari kelas kecuali jam praktek dan jam pelajaran berakhir. Alex yang masih mengemasi buku yang akan ia bawa, tertegun melihat Viola yang masih duduk di bangkunya. Seakan gadis tersebut, tidak mengetahui kelas sudah berakhir semenjak beberapa menit yang lalu. Gadis itu tetap diam, menunduk sambil membaca buku yang ada di mejanya. “Pak. Ayo!” Nuri mengulurkan tangannya kepada Alex. “Katanya Bapak ingin berbicara dengan saya di ruangan Bapak? Ayo buruan!” ucapnya sambil menggoyangkan tangannya agar Alex segera meraih. Tidak tahu darimana datangnya gadis itu, tiba-tiba saja sudah datang dan mengejutkan Alex. “Kamu duluan! Tunggu saya disana!” ucap Alex sebelum ia meninggalkan Nuri, dan berjalan menuju ke meja Viola. Mendapat penolakan dari Alex, Nuri mengerucutkan bibirnya dan menghentakkan kakinya dalam berjalan. Nuri juga menggerutu, saat melihat Alex mendekati Viola. Begitu Alex sampai di dekat Viola, ia meletakkan beberapa buah buku di atas mejanya. Membuat gadis itu mengangkat wajahnya. “Vio, kamu bisa membantu Bapak, untuk mengantarkan buku-buku ini keruangan Bapak?” Alex mengangkat kedua alisnya. “Bisa, Pak.” Viola langsung berdiri, dan mengangkat beberapa buku yang terletak di atas mejanya. Tanpa banyak bicara Viola berjalan di belakang Alex, dan menutup separuh wajahnya dengan buku yang ia bawa. Melihat Viola yang berjalan di belakang, Alex menghentikan langkahnya, “Kamu kenapa berjalan di belakang, Vio? Kamu malu ya, berjalan beriringan dengan pria tua seperti saya?” Alex mengerucutkan bibirnya, dan merajuk seperti anak kecil. Pria berusia tiga puluh satu tahun itu, berusaha membangkitkan rasa percaya diri Viola agar bisa lebih baik lagi. Viola menggelengkan kepalanya, dan berdiri tepat di samping Alex. Tidak ada kata yang diucapkan oleh gadis itu. Alex pun mengusap kepala Viola, “Ayo!” ajak Alex sambil melanjutkan langkahnya. Viola tersenyum senang. Setelah sekian lama kuliah di sana, akhirnya ada yang mau mengajaknya berbicara dan bercanda. Membuat ia semangat dan berusaha mensejajarkan langkah dengan Alex. Selama perjalanan dari kelas Vio, menuju ke ruangan Alex, banyak gurauan garing yang dilontarkannya. Membuat Viola sesekali tertawa kecil. Hal yang belum pernah dilihat oleh mahasiswa dan dosen disana. Melihat Viola tertawa, ada kepuasan sendiri didalam hati Alex. Membuat ia semakin bertekad untuk mengubah Viola menjadi mahasiswi yang periang dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Beberapa menit kemudian Alex dan Viola sampai di ruangan tempat beberapa dosen berkumpul. Dalam satu ruangan itu ada banyak pintu ruangan, yang ditempati satu orang dosen. Termasuk Alex yang memiliki ruangan paling ujung dan terpencil dari yang lainnya Saat Alex ingin menuju ke ruangannya, ia tersentak melihat Nuri sudah berdiri di depan pintu. Menarik kedua sudut bibirnya untuk menyapa. Kenapa Bapak lama sekali? Saya sudah lelah menunggu Bapak dari tadi.” Nuri berucap dengan bibir yang mengerucut. Seakan berbicara kepada kekasihnya yang terlambat datang untuk berkencan “Masuklah!” Alex membuka pintu dan mempersilahkan Viola masuk. Tanpa menawarkan Nuri, karena ia akan membahas permasalahan setelah Viola pergi nanti. "Vio, kamu langsung susun saja buku-buku itu di sana!" Alex menunjuk ke arah lemari kaca yang ada di ujung ruangan. Isyarat agar Viola menatap buku-buku yang ia bawa di sana. "Kalau kamu tidak keberatan, bisa bantu tata ulang buku itu menurut tahun penerbitan?" tanya Alex. Menarik kedua sudut bibirnya. Viola segera mengangguk dan langsung menyusun ulang buku yang ada di dalam lemari. Saat Viola sibuk menata buku, Nuri justru merebut. Merasa kesal dicuekin, memutar bola matanya malas. Untuk pertama kalinya, ia diacuhkan oleh orang lain. Membuat rasa bencinya kepada Viola, semakin besar. Ia menganggap Viola sengaja mengekor kepada Alex agar tahu apa yang akan dibicarakan saat ini. “Nuri. Kamu duduk!” Alex menunjuk kursi yang ada dihadapan meja kerjanya. Terpaksa membicarakan masalah Nuri saat ini juga. Karena ia merasa risih karena terus menerus diperhatikan. Nuri menghela nafasnya dengan kasar, sebelum ia duduk di kursi tersebut. Ia melayangkan tatapan tajamnya kepada Viola, yang sedang menyusun buku di sebuah lemari. Yang berada persis di samping Alex. “Ehem! Kenapa kamu menatap Viola, dengan tatapan benci seperti itu?” tanya Alex seraya menyandarkan punggungnya di kursi. "Kalau saya boleh tahu apa alasannya, agar saya bisa membantu kalian untuk berteman." “Saya tidak membencinya, Pak! Saya hanya tidak menyukai tubuhnya yang lebar itu, sangat tidak cocok jika berteman dengan saya. Dan maaf, bukan maksud bagaimana-bagaimana dia itu bisa kuliah disini karena beasiswa. Dan saya juga tidak suka itu.” Nuri menjelaskan secara rinci apa yang tidak disukainya dari Viola. Ketidak sepadanannya dengan Viola menjadi alasan kuat bagi Nuri untuk membenci. Karena ia ingin berteman dengan orang yang sama cantik dan kayanya. Viola yang mendengar ucapan Nuri tentang dirinya hanya bisa pura-pura tuli. Mengabaikan perkataan Nuri dan tetap fokus pada pekerjaannya. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaan agar bisa meninggalkan ruangan tersebut. “Baiklah. Saya terima alasan yang membuatmu benci kepada Viola. Tapi, saya sarankan setelah ini jangan mengusik dia karena tidak mengganggu hidup kamu. Kamu cukup menjauh dan jangan melihat ke arahnya agar tidak saya tidak lagi melihat seperti yang di kelas tadi. Dan ini, juga merupakan peringatan pertama dan terakhir. Jika kamu melanggar, saya akan membawa kasus ini kepada ayahmu. Sekarang silahkan keluar dan pikirkan baik-baik masukan dari saya." "Bapak mengusir saya?" Nuri menunjuk dirinya sendiri. Tidak percaya Alex mengusirnya secara halus, setelah memberikan petuah yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Saya tidak mengusir. Saya sudah selesai dengan kamu. Jadi untuk apalagi kamu disini? Saya memiliki banyak pekerjaan dan urusan yang lain." "Ish, dasar dosen menyebalkan," umpat Nuri. Bangkit dari tempat duduknya dan segera keluar dari ruangan Alex. Ia masih belum percaya Alex bersikap buruk padanya, sedangkan dosen lain bersikap baik. “Pak, maaf. Saya juga ingin pamit keluar, saya sudah selesai menata semua buku.” Viola sedikit memundurkan tubuhnya, “Saya permisi!” ucapnya sebelum keluar. Tidak nyaman berduaan dengan Alex di dalam satu ruangan, Viola langsung memutuskan untuk mengikuti langkah Nuri. "Tunggu, Vio!" Alex langsung berdiri dan menangkap pergelangan tangan Viola. “Mari kita makan siang di kantin, saya akan traktir kamu. Dan saya tidak menerima penolakan dalam bentuk apapun. Anggap saja ini balasan karena kamu telah membantu saya menata isi lemari itu." “Ti-tidak usah, Pak. Saya ikhlas membantu Bapak. Dan saya juga membawa bekal makan siang dari rumah.” Viola melepaskan genggaman Alex, “Permisi, Pak!” ucapnya cepat sebelum meninggalkan ruangan Alex. "Kalau makan siang menolak, izinkan saya untuk mengantarkan kamu pulang!" ucap Alex sebelum Viola menutup pintu ruangannya. Bukannya menjawab, Viola malah bersikap seolah-olah tidak mendengar apapun yang diucapkan Alex. Sehingga ia berlalu begitu saja, dengan mengusap dadanya yang sedari tadi bergemuruh tidak jelas. Alex tersenyum masam, saat Viola benar-benar telah menghilang di balik pintu dan tidak menanggapi ajakannya. Ia juga kesal karena Viola dua kali mengabaikan ajakan darinya. Rasanya ia ingin menyusul Viola dan menuntut penjelasan apa yang kurang darinya sehingga selalu saja menolak. Apa salahnya menerima saja, bukan? Alex menarik satu sudut bibirnya. Menganggap ini adalah sebuah tantangan besar untuk menaklukkan Viola. Karena ini pertama kalinya ada yang menolak ajakan Alex Rudiart untuk makan siang bersama. *** "Bisa-bisanya seorang Alex Rudiart ditolak begitu saja," gerutu Alex sebelum memasuki mobilnya. Rasa kesalnya ditolak Viola tadi semakin menjadi-jadi saja. Kalau ia tahu kelas gadis itu sudah usai. Itu artinya Viola benar-benar mengacuhkan ajakannya untuk pulang bersama. Cepat Alex menjalankan mobil. Menyusul Viola yang sudah pulang agar tidak ketinggalan jauh. Viola yang ia ketahui tinggal tidak jauh dari area kampus, selalu datang dan pergi dengan berjalan kaki. Butuh lima belas menit baginya untuk sampai dan pulang ke kampus. Tentu saja akan mudah bagi Alex untuk menyusul langkah Viola. Baru beberapa menit mengemudi, Alex akhirnya menemukan keberadaan Viola. Gadis itu berjalan seraya menundukkan kepalanya. Seakan takut melihat ke arah orang ataupun kendaraan yang berlalu lalang. Segera ia menepikan mobilnya dan mengajak Viola untuk pulang bersama. Akan tetapi, jawaban yang diberikan Viola tetap sama. Tidak. Dalihnya rumahnya sudah dekat dan tidak ingin merepotkan Alex. Rasa kesal Alex semakin menjadi-jadi saja. Tapi, ia tidak menyerah dan malah mengekor dari belakang. Mengikuti langkah Viola dengan mobil, untuk mengetahui di mana tempat tinggalnya. Baru beberapa menit berjalan, kedua alis Alex bertaut. Melihat Viola berlari masuk ke dalam kerumunan orang yang ada di pinggir jalan. Segera ia menepikan mobilnya, untuk memeriksa apa yang sedang terjadi. Melihat ada sepeda motor yang tak lagi berbentuk di tepi jalan, sudah bisa dipastikan kerumunan orang-orang tersebut pasti melihat korban kecelakaan. "Viola!" Mata Alex membesar, melihat Viola memeluk seorang pria yang berlumuran darah. Disamping pria itu, ada seseorang yang terbaring di tepi jalan. Ia tidak bisa memastikan wanita atau pria karena warga sudah menutupinya dengan kain. Dengan tubuh bergetar Alex mendekat. Memeluk bahu Viola yang sedang menangis histeris. “Kamu jangan menangis, aku disini," bisik Alex pelan. Viola menoleh, menatap nanar kepada Alex. “Tolong saya, Pak! Ambulance masih didalam perjalanan, setidaknya selamanya Ayah saya!” ucapnya lirih. Alex mengangguk dan meminta bantuan kepada orang-orang untuk mengangkat tubuh pria paruh baya yang ada di pelukan Viola kedalam mobil. Pria yang kini dalam keadaan sekarat itu ternyata adalah ayah dari mahasiswinya itu. Sebelum pergi Alex berpesan kepada dua orang warga untuk mendampingi jenazah ibunya Viola ke rumah sakit. Ia juga meninggalkan sejumlah uang agar diurus dengan baik hingga selesai. Begitu urusan singkatnya selesai, Alex langsung memacu mobilnya dengan kecepatan penuh, dan mengabaikan umpatan dari pengendara lain. Tidak butuh waktu lama, mereka sampai di sebuah rumah sakit. Ayah Viola langsung dibawa ke ruangan ICU. Viola memeluk tubuhnya sendiri, menatap nanar pada pintu ICU yang kini ada di hadapannya. Sungguh ia tidak sanggup jika harus kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu bersamaan. Karena sang Ibu, sudah meninggal di tempat kejadian. Tubuh sang Ibu yang terjatuh dari sepeda motor, langsung disambut oleh mobil yang ada di belakang. Membuatnya tewas seketika sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Melihat kondisi Viola saat ini, Alex ikut hancur. Ingin rasanya ia memeluk Viola, untuk menguatkan gadis tersebut. Tapi ia sadar statusnya hanyalah seorang dosen saja. Bukan teman, apalagi keluarga dekat. Satu jam berlalu, seorang perawat laki-laki keluar dari ruang ICU, “Maaf, pasien ingin bertemu dengan anaknya." Perawat tersebut menatap Alex dan Viola secara bersamaan. Mendengar perkataan perawat, Viola langsung berdiri, “Saya anaknya,” ucapnya. “Masuklah! Pasien ingin bertemu.” Perawat tersebut sedikit mundur, untuk memberi jalan untuk Viola. “Tunggu! Saya juga anaknya.” Alex ikut mendekat pada perawat, sebelum ia menutup pintu. “Masuklah, Pak!” ucap perawat tersebut. Setelah Alex masuk, pintu ruang ICU kembali ditutup. Didalam, Alex langsung melihat Viola yang bersimpuh di lantai, sambil menangis memeluk lengan sang Ayah. Hati Alex terasa pilu, mendengarkan tangisan Viola. Ia pun mendekat dan mengusap bahu Viola, “Kamu harus kuat agar ayahmu juga kuat.” “Vi ....” lirih ayahnya Viola. Kedua matanya berusaha terbuka untuk melihat putri kesayangannya. Satu-satunya pelita dalam hidup, yang kini tampak hancur melihat keadaannya. Terbaring lemah di ranjang rumah sakit dan kehilangan sang ibu dalam sekejap mata. Mendengar lirihan sang ayah, Viola langsung berdiri, dan menatap wajah ayahnya itu. “Vio disini, Ayah. Ayah harus kuat, Ayah harus sembuh ... Vio tidak ingin kehilangan Ayah,” lirihnya disela isakan yang tidak bisa berhenti. Alex kembali memeluk bahu Vio, “Kamu harus kuat, Vi. Jangan menangis! Ayahmu pasti baik-baik saja.” Viola mengangguk pelan, ia mengikuti perkataan Alex. Tidak ingin sang ayah ikut sedih dan hancur seperti dirinya, Viola langsung menghapus air matanya dan berusaha keras untuk menahan tangisnya sendiri. “Ini siapa?” ucap Ayah Viola, ia ingin tahu, siapa pria yang berdiri di samping putrinya, dan memberi dukungan kepada putrinya itu. Siapa pria yang tampak tulus memberikan dukungan untuk sang buah hati “Ini pak Alex, Ayah. Beliau salah satu dosen Vio di kampus." “Saya Alex, Pak.” Alex mengusap punggung tangan ayahnya Viola. Seakan memberitahu bahwa tidak perlu khawatir karena ada dirinya disini. “Alex, maukah kamu menikahi putri Ayah? Ayah ingin menikahkannya sebelum Ayah pergi." Lirih dan terbata-bata, tapi akhirnya ia bisa mengucapkan apa yang sedari tadi ingin disampaikan. Tepatnya saat melihat Alex masuk ke ruangan ICU. Mata sembab Viola membesar, “Tidak! Ayah jangan berbicara seperti itu ... Ayah pasti sembuh.” Viola pun kembali terisak. Tidak sanggup jika sang ayah harus menyusul kepergian sang ibu. Dengan siapa nantinya ia akan hidup. Ia tak lagi memiliki keluarga yang lainnnya Alex mengadahkan kepalanya dan memejamkan matanya dengan sangat kuat. Ia tidak mungkin menikahi Viola, tapi ia juga tidak memiliki pilihan. Alex juga merasa iba melihat Viola yang tidak memiliki keluarga yang lain. Cukup lama berdebat dengan hati dan pikirannya, menimbang semua resiko hingga akhirnya Alex memutuskan untuk mengabulkan permintaan ayah Viola. Ia berpikir untuk segala dampak yang ada akan dipikirkan belakangan saja. Akhirnya Alex mengangguk, senyum bahagia langsung terukir di bibir ayah Viola. Dengan bantuan beberapa orang petugas medis, akhirnya persiapan akad nikah antara Alex dan Viola telah selesai dipersiapkan. Walaupun, untuk sementara waktu, mereka hanya menikah siri karena untuk mengurus buku nikah membutuhkan beberapa dokumen penting. Sedangkan kondisi Ayah Viola semakin menurun. Setelah Maghrib, akad nikah dilangsungkan di dalam kamar rawat ayah Viola. Dengan saksi dari pihak rumah sakit dan utusan KUA. Dengan nafas yang terputus-putus, ayah Viola berhasil menikahkan putri tunggalnya. Berhasil mengantarkan sang buah hati ke sebuah pernikahan yang belum diketahui apakah akan berjalan selamanya atau tidak. Setelah akad nikah selesai dan saksi mengucapkan kata 'sah', ayahnya Viola langsung menghembuskan nafas terakhirnya. Menutup kedua mata dan tidak akan pernah kembali lagi ke dunia. Menyadari sang ayah telah pergi untuk selamanya, Viola langsung tidak sadarkan diri. Ia masih belum bisa menerima kepergian kedua orang tuanya dalam jangka waktu yang sama. Di usianya yang baru memasuki dua puluh tahun. Viola masih belum percaya, kedua orangtuanya pergi dengan cara seperti ini. Dalam sebuah kecelakaan yang sangat tragis. Padahal, Viola sudah tidak sabar menunggu kedatangan orang tuanya. Orang tuanya pergi ke Bandung untuk memenuhinya panggilan pelanggan, yang ingin membuat taman. Mereka sudah lima hari di Bandung. Saat pekerjaan mereka selesai, mereka langsung pulang untuk memberikan kejutan untuk Viola. Tapi semua sirna, saat sebuah mobil pick up menabrak sepeda motor mereka dari belakang dan merenggut nyawa mereka berdua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD