Bab 5.1 Rencana Arini

1329 Words
BAB 5 RENCANA SEORANG SAHABAT Dua tahun sudah aku hidup tanpa bayang-bayang Mas Hanif dan juga Mas Fras. Aku pikir kehidupan ku di masa yang akan datang bisa lepas dari sosok mereka dan hidup bahagia seperti orang lain, nyatanya dugaan ku salah. Tuhan malah mempertemukan kembali diriku dengan Mas Hanif. Begitu juga dengan sosok Mas Fras yang entah kenapa malah mengirim pesan pada Raina. Di situ seolah-olah dirinya memang sengaja memberitahukan hari bahagianya pada kami. Atau memang mas Fras sengaja memanas-manasi diriku akan hari bahagianya. Entahlah aku sendiri juga tidak mengerti dengan maksud dirinya. Tidak mudah melupakan masa lalu yang menurutku penuh dengan kenangan yang begitu indah namun dibalik itu semua tetap tak luput dari kesedihan. Dua tahun terakhir ini aku sudah bersusah payah melupakan mereka dalam pikiran ku. Berharap akan bertemu kembali dengan lelaki yang sesuai keinginanku, tentunya bisa mencintai dan dicintai. Tapi Tuhan malah berkata lain, orang yang seharusnya aku lupakan malah muncul kembali lagi dalam hidupku satu persatu. Sudah seminggu sejak kepulangan ku dari bandung itu, dan seminggu itu juga hampir setiap pagi Mas Hanif mengirim pesan singkat untuk mengingatkan diriku agar tidak lupa sarapan. Jujur aku tidak mengerti akan pesan-pesan yang sering dirinya kirim, yang terkadang pesan itu bertulisan kata mutiara yang tak bisa aku artikan. Aku menemukan sisi lain dari sosok Mas Hanif saat ini, yang ternyata mampu merangkai kata-kata indah. Contohnya pagi ini, dia mengirimi ku pesan yang membuat aku berpikir akan maksudnya. Yang terbaik bukan dia yang datang dengan seribu kelebihannya, melainkan dia yang tak akan pernah pergi dengan seribu kekurangannya. Andai waktu bisa kembali, aku akan mengembalikan senyumnya seperti seribu bunga yang bermekaran indah. Entah apa yang mendorongnya menjadi lelaki yang sedikit romantis menurutku, pasalnya selama menikah dia tidak pernah sekalipun melakukan hal-hal berbau romantis. Di satu sisi rasa ingin tahuan ku terhadap hari bahagia Mas Fras semakin besar, aku yang penasaran dengan pernikahan dirinya mencoba memantau kembali dari media sosial. Karena memang tepatnya hari ini mereka melangsungkan janji suci sehidup semati. Niatku cuma satu, mendoakan dirinya agar hidup bahagia dengan orang yang tepat. Karena dengan melihat dirinya bahagia itu mampu membuatku merasa lega dan berbahagia juga. "Mas aku harap kamu hidup bahagia, cukup aku yang merasakan sakit karena dulu memilih jalan bukan atas kemauan diriku." Batin ku saat melihat proses ijab kabul Mas Fras yang begitu sakral dan menggetarkan hati. Setelah merasa cukup melihat resepsi mereka, aku pun akhirnya menutup kembali akun i********: dan bersiap-siap pergi untuk menemui Arini. Saudara sekaligus sahabat terbaik yang aku miliki. Hanya dengannya lah aku berbagi seluruh kisah bahagia maupun sedih. Tapi kali ini kami bertemu bukan untuk berkeluh kesah melainkan menemani dirinya untuk mencari rumah baru, karena memang aku dan Arini banyak memiliki kesamaan dalam hal apapun, terkecuali urusan cowok. Contohnya saat ini, tanpa janjian saja warna baju, dan celana kami samaan. Bahkan ada orang yang bilang kita itu seperti kembar. "Rin, kenapa gak minta suami kamu aja sih yang nemenin nyari rumah," kataku heran dan membuat Arini tersenyum. "Bukannya suami kamu juga libur kerja, yah?" aku yang kembali bertanya. "Iya emang libur, tapi mau nya sama kamu, gimana donk," kata Arini yang membuat aku menaikan sebelah alis. "Akh aku tau, pasti kamu lagi merencanakan sesuatu, kan? Aku yakin banget ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku. Hayo ... jawab jujur?" kataku seakan mendesak dirinya untuk berkata jujur. "Apaan sih, gak ada tau," jawabnya seakan menyembunyikan sesuatu dan malah mengulum senyum. Aku pun menyilangkan kedua tangan dengan mata mendelik ke arah Arini. "Kalo gak ada apa-apa pasti kamu bakalan nyuruh aku bawa mobil, atau kamu juga pasti akan bawa mobil sendiri. Tapi ini kita malah naik taksi, coba apa namanya kalo emang kamu gak merencanakan sesuatu." Aku yang bersikukuh dan terus mendesak Arini untuk berkata jujur. "Gak ada, Ca. Serius deh!" "Nyonya Arini, anda itu teman saya dari kecil. Bahkan dari bayi anda sudah itu ditakdirkan jadi sodara plus sahabat buat saya. Jadi anda itu tidak bisa berbohong sedikitpun terhadap saya," kataku sarkas. Kulihat Arini menghela napas panjang dan menghembuskan kasar. "Iya, iya emang aku itu gak bisa bohong sama sahabatku yang satu ini," kata Arini seakan pasrah dengan apa yang telah disembunyikan sebelumnya. "Lalu," kataku. "Sebenarnya aku dan suami merencanakan pertemuan kamu dengan seseorang," kata Arini yang seakan enggan untuk meneruskan ucapannya. "Terus ...!" desak ku. "Terus rencananya nanti suami sama sahabatnya itu mau kesini jemput kita." "Setelah itu?" "Setelah itu aku pulang bareng suami, dan kamu sama dia," katanya menampakan wajah sok imut. Aku diam, dengan mata yang di bulatkan ke arah Arini. Bagaimana bisa dia merencanakan pertemuan konyol seperti ini. Dasar nyebelin banget sih! Tau gini aku gak mau anter kamu. Sampai akhirnya Arini mendekat ke arahku dengan tangan yang melingkar erat di pinggang dari arah samping, dengan posisi kepala yang disandarkan ke bahu. "Maaf. Aku hanya pengen kamu bahagia, kamu gak harus menerima dia kok. Kamu hanya perlu buka hati kamu biar bisa berteman dengan lelaki. Aku gak mau kamu sendiri terus, Ca!" kata Arini memohon dengan menampakan wajah memelasnya. Aku tidak tau harus berkata apa pada Arini, mungkin maksud dia baik, hanya saja keadaanku yang sedang tidak baik dan belum siap untuk memulai lembaran baru kembali. Aku masih butuh waktu sendiri, tanpa seorang lelaki dalam hidupku. "Rin, emangnya harus banget bukan?" tanyaku yang langsung dibalas anggukan singkat olehnya. "Tapi bener kan cuma sekedar kenal, gak lebih dari itu?" Aku yang kembali bertanya dan dia pun langsung kembali membalasnya dengan anggukkan. Aku pun menghela napas berat sembari menarik sudut bibir dan menyetujui permintaan Arini setelahnya. "Dengan syarat?" kataku yang membuat Arini melepas pelukannya dan menatapku. "Apa?" "Jangan paksa aku untuk mengenalnya lebih lanjut," kataku yang membuat Arini terdiam. "Cukup hari ini saja, tidak lebih." "Oke, aku janji. Tapi kalo cowoknya pengen kenal kamu lebih dekat, gimana?" "Arini ...!" Panggil ku dengan mata mendelik. "Iya, iya, gak lebih. Percuma gak akan pernah ada kompensasi kalo udah berdebat sama ibu Claudia, seorang arsitek muda yang selalu pandai ketika berdebat," sarkas Arini mengulum senyum. Setelah melewati perdebatan panjang antara aku dan Arini, akhirnya kami berdua sampai ke sebuah Mall yang mengadakan pameran rumah untuk kawasan JABODETABEK. Arini memang orang bandung, tapi dirinya sudah lama di jakarta, begitu juga suaminya. Jadi mereka berdua memilih untuk mempunyai rumah di kawasan ibu kota. Itu karena tempat kerja mereka juga ada di jakarta. Butuh waktu berjam-jam untuk memilih hunian yang sesuai kemauan Arini, dan pada akhirnya pilihan Arini jatuh pada perumahan Fatmawati yang berada di Jakarta Selatan. Itu juga pilihannya tak lepas dari pendapat suaminya yang saat ini sudah ada di tengah-tengah kami berdua. Kalian pasti bertanya-tanya kenapa suami Arini sudah berada di antara kami berdua, dan kemana lelaki yang akan di kenalkan kepada ku. Pertanyaan itu sempat terlintas pula dalam benakku, bahkan aku mengharapkan dia membatalkan pertemuan ini. "Sayang, teman kamu mana? Katanya mau kesini," tanya Arini yang terdengar oleh ku. "Katanya sih sebentar lagi sampai, tadi dia bilang terjebak macet. Coba sebentar aku telepon dia, Sayang," jawab Lukman, suami Arini. Aku pun menghentikan pergerakan suami Arini untuk tidak menghubungi sahabatnya. Takutnya prasangka dia, aku yang ngebet banget ingin mengenalnya. "Mas, aku mohon gak usah yah!" pintaku yang membuat Mas Lukman terdiam untuk sesaat. Sampai akhirnya Mas Lukman melambaikan tangan ke arah belakang ku. "Deg," detak jantungku seakan terhenti saat Mas Lukman melambaikan tangannya ke arah belakang diriku. Aku yakin sekali kalau Mas Lukman memanggil seseorang yang dia kenal. Disusul dengan Arini yang ikut melambaikan tangan ke arah belakang. Aku saat itu masih diam dengan perasaan yang tidak karuan. Tanpa mau menoleh ke arah belakang tentunya. Rasanya saat itu aku seperti anak ABG yang minta dijodohkan. Memalukan bukan? tapi inilah aku yang saat itu malah mengikuti rencana konyol Arini. Aku takut, kalo ternyata lelaki yang Arini dan Mas Lukman menakutkan, atau malah sebaliknya, dan aku juga takut kalau dia akan meminta pertemuan selanjutnya. Sampai akhirnya lamunan ku terpecah saat Arini memanggil nama Lelaki yang sangat tak asing di telingaku. "Fras, di sini!" Seru Mas Lukman yang membuat diriku langsung membulatkan mata dan kaget mendengar nama itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD