Bab 4.2

1163 Words
Bayang-Bayang Masa Lalu Cukup lama Mas Hanif menunggu ku di luar rumah. Bahkan saat aku ke luar menghampiri dirinya, dia seperti orang kelelahan, sampai-sampai dirinya tertidur dengan posisi duduk menyandar dan tangan menyilang. Saat itu aku bingung harus melakukan apa. Membangunkan dirinya, atau di biarkan begitu saja. Karena tidak punya pilihan yang terbaik, mau tidak mau aku pun mencoba memberanikan diri untuk membangunkannya, dari pada harus menunggu lebih lama lagi. Setelah menarik napas panjang dan mengumpulkan keberanian, akhirnya aku memberanikan diri untuk menempatkan tangan ku di pundak Mas Hanif dan segera membangunkannya perlahan. Tiba-tiba saja di saat yang bersamaan ponsel milik Mas Hanif berdering kencang, itu membuat aku terkejut dan mengurungkan niatku, begitu juga dengan dirinya yang langsung terbangun saat mendengar suara ponsel miliknya. Sekilas Mas Hanif menoleh ke arahku, sebelum akhirnya dia merogoh ponsel yang berada di saku celananya dan mengangkat panggilan yang entah dari siapa. "Ya. halo, Dit!" seru Mas Hanif membuatku mengerti kalo pemilik panggilan tersebut yang tak lain adalah sepupunya. "Oh iya, Mas sebentar lagi nyampe ke rumah kamu, kok. Ya udah kalo begitu Mas tutup panggilannya ya, Dit." Setelah menutup panggilannya Mas Hanif menatap ke arahku. "Ca...! Kamu udah beres? Maaf mas ketiduran," katanya yang langsung merubah posisi menjadi berdiri dan merapikan rambutnya yang masih tertata rapi. "Gak papa, Mas. Justru aku yang harusnya minta maaf karena udah bikin Mas Hanif nunggu lama," jawabku yang membuat dia tersenyum tipis. "Gak papa, Ca. Ya udah kita berangkat sekarang, yuk!" ajaknya yang ku balas anggukkan singkat dan langsung mengunci pintu setelahnya. Tidak mungkin rasanya jika harus menunggu taksi depan rumah Bunda. Karena itu sangatlah tidak mungkin untuk taksi lewat, terkecuali kebetulan. Pada akhirnya aku dan Mas Hanif memilih berjalan kaki terlebih dahulu untuk sampai ke luar perumahan yang mengarah ke jalan raya. Belum beberapa langkah ke luar dari rumah, kami berdua sudah jadi pusat perhatian ibu-ibu yang sedang berkerumun di depan rumah mereka. "Permisi, Bu," kata Mas Hanif mencoba bersikap ramah. "Ekh ada Nenk Caca, sama A Hanif. Kok bisa berduaan begini?" kata ibu-ibu paruh baya dengan nada sarkasnya. "Iya, Ca. Bukannya udah gak punya hubungan lagi, Yah," timpal ibu yang ada di sebelahnya. "Ekh gak baik bilang begitu, silaturahmi tetap harus dijaga, benar begitu ya, Ca!" sela salah satu ibu dengan nada yang tak enak di dengar. Aku yang mendengar sarkasan mereka hanya bisa menahannya tanpa mau meluapkan amarah. Bahkan aku dan Mas Hanif mencoba tetap tersenyum di depan mereka tanpa mau membalasnya. "Coba kalo bukan ibu-ibu, udah aku balas sindiran mereka," gumamku kesal saat sudah jauh dari kerumunan tersebut. "Disabarin aja, Ca," balas Mas Hanif yang mendengar gumamku. Setelahnya kami berdua memilih berjalan kembali dan tak menggubris sedikit pun ucapan mereka. Mas Hanif saat itu memilih duduk di depan sejajar dengan supir, sedangkan aku di belakang. Mungkin maksud dirinya baik, untuk menghilangkan rasa canggung di antara kami. Sepanjang perjalanan kami hanya diam dan sibuk dengan ponsel masing-masing, sampai akhirnya taksi yang kami tumpangi berhenti tepat di depan rumah Raina. Awalnya aku ragu masuk berdua bersama Mas Hanif. Takut akan tanggapan Bunda seperti apa saat melihat kami bisa datang berbarengan. Karena aku yakin banget kalo Bunda akan mempertanyakan itu. Sampai akhirnya Adit keluar rumah untuk menyambut kami berdua dan menyuruhnya untuk segera masuk. "Kok kamu biasa aja liat kami berdua datang barengan, Dit?" tanyaku heran. "Mas Hanif udah cerita tadi di w******p, Mba," jawabnya santai. "Terus bunda, udah tau belum?" tanyaku penasaran. "Belum, hehehe," jawabnya sambil menampakan senyumnya yang lebar. "Udah, gak usah takut begitu, Ca. Lagian Mas yakin banget, kalau Bunda gak akan marah atau mempertanyakan kedatangan kita berdua yang bersama seperti ini. Lagi pula kita bertemu bukan karena disengaja, kan?" ucapnya yang membuatku langsung mengangguk singkat atas ucapannya. "Semoga saja begitu," batinku. Aku berjalan menelusuri anak tangga yang mengarah ke kamar Keynan, karena Adit bilang kalau bunda ada di atas bersama Key, cucu kesayangannya. Benar saja apa yang dikatakan Adit, kalo bunda sedang ada di kamar tersebut, tapi kali ini bukan sedang main, melainkan bunda sedang menemani Keynan tidur siang. Karena tidak mau mengganggu mereka akhirnya aku memilih menghampiri Raina, yang letak kamarnya bersebelahan dengan putra pertamanya. "Ra ...!" panggilku seraya mengetuk pintu kamar miliknya. "Kak Caca ya. Masuk aja kali, Ka!" pinta Raina yang sudah mengetahui keberadaan ku hanya dengan suara. Aku yang mendapat ijin dari Raina langsung membuka pintu tersebut dan masuk. Raina tersenyum lebar ke arahku sembari memperlihatkan wajah bayi yang berumur satu bulan yang teramat menggemaskan itu. "Akh ... lucunya ...." kataku langsung menghampiri. "Mirip banget sama kamu, Ra. Cuma yang ini lebih mancung," sarkas ku yang membuat Raina berdecak kesal kepadaku karena tak terima. "Justru dia mancung karena bibit dari orang tuanya mancung, Ka! Lagian aku juga mancung kok," tegas Raina dengan meraba hidung miliknya. Aku pun mengerutkan dahi dengan mata mengarah ke arah Raina. "Mancung, sih. Lebih tepatnya mancung ke dalam," kataku yang membuat Raina semakin kesal. Kami berdua pun tertawa setelahnya. sampai akhirnya Raina bertanya perihal kepulangan ku yang bisa pulang bersamaan dengan Mas Hanif. Sulit untuk dijelaskan secara rinci, tapi aku pun menceritakan sesuai fakta yang terjadi. "Ka. Gimana rasanya pulang bareng sama mantan suami, grogi gak?" tanya Raina mengangkat sebelah alisnya dan sontak pertanyaannya itu membuat aku mendelik ke arahnya. Bagaimana bisa Raina bertanya seperti itu kepadaku. Jelas-jelas dia pasti sudah tahu jawabannya. "Kamu itu kepo banget sih jadi adik. Yang pasti biasa aja, lah. Lagian itu kejadiannya udah lama banget, kan," kataku menampakan ekspresi biasa saja. Tidak bisa dipungkiri karena perasaan grogi, malu, itu pasti ada. Tapi mau bagaimana lagi, sebisa mungkin aku mencoba menyembunyikannya. Karena aku yakin bukan hanya aku yang seperti itu, melainkan Mas Hanif juga merasakan hal yang sama. Tapi bukan berarti aku punya perasaan kepadanya. "Bukan kepo, Kak. Tapi cuma sekedar pengen tau aja gitu rasanya bagaimana." "Biasa aja, Ra. Gak ada yang aneh," jawabku mencoba menegaskan. Sejenak Raina terdiam seolah sedang mendapati pesan penting dari handphone nya. Sampai akhirnya dia menatap tajam ke arahku dengan mata membulat. "Kenapa liatin aku begitu? Kaya liat hantu aja kamu, Ra," kataku datar. "Ka, sini deh!" pinta Raina menyuruhku mendekat ke arahnya. "Apaan, sih kamu, Ra. Bikin Kaka takut aja." "Ka Fras barusan chat Rara, dia bilang mau nikah minggu depan. Selain mengundang Rara, Ka Fras juga ngundang Bunda," kata Raina dengan raut wajah serius sembari menatapku. "What! Apa dia gak punya malu? Bagaimana bisa dia mengirim pesan seperti itu kepada Raina. Yang jelas-jelas tidak mungkin sekali untuk Bunda hadir di acara pernikahannya. Gila tuh orang!" Batinku. Fras, lebih tepatnya Ananda Frasetyo. Yah, benar sekali. Dia lelaki yang selalu ada dalam setiap cerita ku. Lelaki yang menjalin kasih denganku kurang dari enam tahun. Lelaki yang membuat diriku menunggu lama akan kepastiannya, lelaki yang tak pernah memberi kepastian terhadap hubungan kami. Dan lelaki yang sering sekali membuatku menangis saat menunggu jawaban untuk kepastiannya, begitu juga saat di dalam kereta. Dan dia juga lelaki yang membuatku tidak bisa melupakannya. Kalau kalian bilang aku perempuan terbodoh di dunia, kalian pantas menunjukkannya kepadaku. Dengan bodohnya aku masih memiliki feeling kepadanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD