Bab 5.2

1144 Words
Bagaimana bisa Arini dan Mas Lukman memanggil Fras ke sini. Bukankah dia sedang melangsungkan pernikahan, atau mungkin aku salah dengar karena sebelumnya terlalu memikirkan dia. Aku yang tak percaya akhirnya langsung memutar tubuh ku untuk mencari keberadaan Fras yang mereka maksud. Entah apa yang ada dalam benakku, sampai-sampai aku berharap kalau Fras yang mereka maksud adalah Frasetyo. Napas yang sebelumnya tertahan namun saat aku menoleh ke belakang, ternyata bukan Frasetyo yang aku pikirkan dan itu mampu membuatku menghela napas lega. Melainkan seorang pemuda yang berperawakan tinggi, hidung mancung mata yang sedikit sipit dan mengenakan topi hitam sebagai penghias kepalanya. Dia tersenyum sembari berjalan menghampiri kerumunan kami bertiga. Di lelaki yang berpenampilan stylist menurutku, bahkan wajahnya begitu tampak baby face. "Apa benar ini namanya Fras? Lelaki yang ada di hadapanku tampak lebih muda dariku. Tapi bagaimana bisa mereka mengenalkan diriku pada lelaki yang memiliki nama serupa dengan mantan ku. kalau begini bisa-bisa gagal move on," batinku menggerutu. Padahal sebelumnya Arini sudah bilang padaku kalau lelaki yang dia akan kenalkan sudah menginjak kepala tiga. Pada kenyataanya lelaki yang di hadapanku seperti lelaki berbondong yang umurnya jauh dari kepala tiga. "Maaf banget, jalanan macet," kata laki-laki itu berjabat tangan pada Lukman. "Lama nunggu ya?" sambungnya. "Engga, Kok," jawab Arini yang berpindah posisi ke sampingku, "Ini temanku Claudia?" sambungnya memperkenalkan diriku pada Fras. "Claudia," kata ku mengulurkan tangan. "Fras," jawabnya membalas uluran tanganku sembari tersenyum. Sejenak Fras terdiam dengan mata menatap ke arahku tanpa berkedip sampai akhirnya Arini mengeluarkan deheman. "Maaf, maaf," kata Fras tersipu malu seakan salah tingkah. "Baru sekali ketemu udah gak berkedip aja tuh mata," sarkas Arini seakan menggoda Fras. Fras hanya tersenyum tanpa membalas ucapan Arini. Sedangkan Arini langsung merangkul diriku. "Sahabat aku yang satu ini cantik, kan?" Katanya yang dijawab anggukkan kecil Fras. "Apaan, sih!" selaku. Fras terus saja tersenyum kepadaku, jujur saja sikap dia membuatku sedikit risih dan memilih untuk menoleh ke sembarang arah. Sampai akhirnya kami berempat ke luar mall guna mencari restoran terdekat untuk makan siang. Karena saat itu weekend jadi resto di dalam hampir semuanya pada penuh dan membuat kami berempat memilih untuk ke luar. Arini satu mobil dengan suaminya. Sedangkan aku, mau tidak mau ikut dengan mobil Fras. Keadaan di dalam mobil seketika itu terasa hening, aku yang bingung mau bicara apa memilih untuk diam. Begitu juga dengan Fras yang ikut diam seperti halnya aku. Selama beberapa menit tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun, sampai akhirnya Fras menghentikan mobilnya secara mendadak. Aku yang begitu kaget, hampir saja membenturkan keningku di dashboard mobil. "Claudia maaf, barusan ada kucing yang tiba-tiba menyeberang jalanan," kata Fras seakan panik. "Kening kamu gak apa-apa?" Tanya nya yang ku balas gelengkan kepala. "Enggak apa-apa, kok. Santai aja Fras. I'm okay," jawabku tersenyum tipis. Dia pun menghela napas lega dan mengusap dadanya singkat. "Syukurlah kalau kamu gak apa-apa. Bisa-bisa Lukman dan Arini marah pada ku karena saudaranya cedera," katanya yang ku balas senyuman. "Fras, santai saja. Kamu juga gak usah bersikap formal seperti itu," kataku yang membuat dia kembali tersenyum. Setelah semua terasa membaik, akhirnya Fras kembali melajukan mobilnya, tak lama mobil milik Arini belok kiri dan masuk ke parkiran sebuah kedai. Begitu juga dengan Fras yang ikut menyusul. Mas Lukman saat itu memesan tempat duduk untuk empat orang, tapi pegawainya bilang kalo kursi untuk empat orang sudah full semuanya, dan hanya menyisakan kursi untuk enam orang. "Gimana, ini?" tanya Mas Lukman pada Arini. "Gimana apanya," kata Arini seraya mengangkat kedua pundaknya. "Ya ambil, masa iya kita nyari lagi. Lagian mau empat atau enam juga toh sama aja. Sama-sama duduk dan dapat makan," katanya membuat aku menahan senyum. Arini dan Mas Lukman memang terkadang terlihat seperti teman. Mungkin karena hubungan mereka sudah lama juga. "Ya udah, Mba. Kita ambil kursi itu," kata Mas Lukman yang membuat pelayan tersebut langsung mengantar kami berempat ke arah kursi yang dimaksud. Cukup lama kami menunggu makanan yang kami pesan datang, sampai akhirnya setelah menunggu kurang lebih satu jam hidangan kami pun diantar. "Maaf, Bu, Pak. Karena harus menunggu lama," kata pelayan tersebut ramah saat meletakan hidangan diatas meja. "Gak apa-apa kok, Mba. Kami mengerti disini sangat ramai pengunjung," jawabku. "Iya, Mba," timpal Arini. Setelah semuanya tertata rapi kami pun segera menyantapnya. Tidak heran kami harus menunggu lama, selain tempatnya ramai dengan pengunjung ternyata masakannya juga memang lezat, dan itu mampu membuat ku dan Arini menetapkan kalau tempat ini akan jadi resto langganan kami kedepannya. "Ca...!" Panggil seorang lelaki yang begitu ku kenal hanya dengan suaranya. Aku yang mendengar samar belum menyadari asal suara tersebut dari mana asalnya, takutnya aku hanya salah dengar saja. Sampai akhirnya Arini memanggil nama lelaki yang membuatku langsung menoleh ke arahnya. "Hanif. Kamu ada di sini?" tanya Arini yang membuat aku, Fras dan Mas Lukman langsung menoleh ke arahnya. "Lah, Mas. Kamu kok ada di sini?" tanyaku kaget, karena tak menyangka. Hanif tidak menjawab pertanyaanku, dia malah meminta izin pada kami untuk duduk dan bergabung. "Boleh kok, duduk aja, Mas," kata Mas Lukman yang membuat Hanif tersenyum dan berterima kasih. Hanif duduk tepat di sebelah ku, karena kursi yang kosong saat itu ada di sampingku dan sebelah Arini Bahkan Arini menatapku dengan tatapan mengintimidasi. Aku yang bingung hanya bisa mengangkat kedua bahu dengan dahi yang kerutkan. Arini ngapain coba liatin aku kayak gitu. Pasti dia lagi mikir aku yang kasih tau Mas Hanif tempat ini. Lagian juga Bagaimana mungkin aku mengajak Mas Hanif kesini, bahkan setiap pesan yang dia kirim saja aku jarang membalasnya. "Sudah lama gak ketemu, Mas lukman sama Arini bagaimana kabarnya," sapa Mas Hanif ramah. Dan membuatku bingung. Pertanyaan aku saja dia tak menjawab, sekarang malah sok-sok an menanyakan kabar Arini dan suaminya. Lalu aku dianggap apa sama dia. Nyamuk? "Baik, Mas," jawab Arini. "Kami alhamdulillah baik. Mas Hanif sendiri apa kabarnya?" timpal Mas Lukman tak kalah ramah. "Alhamdulillah baik juga, Mas. Oh iya, by the way kehadiran saya ganggu kalian tidak?" kata mas Hanif yang membuat aku dan yang lainnya terdiam sejenak. Sampai akhirnya Mas lukman menjawab. "Tidak, kok Mas. Santai saja," jawab Mas Lukman. "Saya lagi menunggu Client di sini, kebetulan liat kalian. Jadi sembari menunggu saya memilih menyapa kalian dulu," kata Mas Hanif yang membuat kami mengerti. Sedangkan Fras hanya diam, mungkin dia bingung mau bicara apa. Lagian dia juga tidak mengenal Mas Hanif itu siapa. What? Kenapa aku baru sadar. Apa Arini dan Mas Lukman pernah bilang sebelumnya pada Fras. kalo Mas Hanif adalah bagian dari masa lalu ku. Karena Arini jujur sama Fras kalau aku pernah mempunyai pernikahan yang gagal sebelumnya. Aku yang baru menyadari hanya bisa mengusap kasar wajahku dengan sedikit membelakangi Mas Hanif. "Claudia, kenapa?" tanya Fras menatapku. "Kamu gak enak badan, bukan?" Sambungnya yang ku balas gelengan kepala. "Ca ..., kamu kenapa?" timpal Mas Hanif dengan nada khawatir yang membuatku merasa ingin menghilang dari tempat itu secepat mungkin. Andai saja aku punya kantong Doraemon, aku bakalan keluarin pintu ajaib buat menghilang dari tempat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD