Jadi Kacung Sehari

1091 Words
“Syifa, mana temen lo yang aneh itu? Apa lo berdua beneran dateng ke rumah sakit dan berantem sama Rere di sana?” Pertanyaan itu membuat kening Syifa berkerut tajam. Gadis itu tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh anak-anak di kelasnya. “Katanya anak aneh itu bahkan bentak-bentak Rere dengan kasar. Bukannya minta maaf dan mengakui kesalahan, dia malah marah-marah nggak jelas,” ucap seseorang yang lain. “Apa sih maksud lo berdua datang ke rumah sakit untuk temuin Rere sebenarnya?” Syifa hanya terdiam, tak ingin terpancing dengan desas-desus itu. Pikirannya dipenuhi oleh hal-hal lain. Ketika Clara dan Tania memasuki kelas, suara-suara itu semakin heboh. Namun, dengan elegan Tania mencegat semua ucapan yang membanjir. Dia dan sahabatnya, Clara menatap Syifa dengan tatapan mata yang tajam. “Syifa, kemari sebentar!” perintah Tania dengan suara penuh kuasa. Syifa yang merasa dirinya dipanggil, secara spontan mendekat dengan ekspresi bingung. “Ada apa, Tan?” Dia bertanya. “Hari ini ada PR Matematika kan? Kerjain punya gue!” titahnya. Syifa menatap gadis itu dengan pandangan enggan. “Maaf, Tan. Tapi aku nggak mau mengerjakan tugas siapapun.” Tania nampak tersinggung dengan penolakan langsung itu. “Hah, lo nggak mau?” “Maaf ya, tapi tugas kita sebagai pelajar itu ya belajar. Kalau tugasmu aku yang kerjakan, maka apa gunanya kamu bersekolah?” balas Syifa dengan telak. Tania, Clara dan semua anak lain nampak tercengang, tak percaya dengan jawaban Syifa yang berani. “Halah, gue nggak butuh ceramah dari elo,” kata Tania dengan nada tegas. “Lo masih inget kan, janji lo sama kita kemarin?” Syifa menatap kedua gadis di depannya dengan bingung. “Janji apa?” “Wah, pura-pura lupa dia, Tan,” kata Clara dengan nada mencibir. “Lo kan udah janji sama kita, tepatnya sama Clara, bahwa lo akan menjadi kacung kita dan nurutin semua ucapan kita,” terang Tania. Ingatan Syifa kembali ke hari kemarin. Ketika dia meminta Clara untuk memberitahu di mana alamat rumah sakit tempat Rere dirawat. Syifa memang mengiyakan tawaran Clara saat itu, tanpa berpikir panjang. “Ah, soal itu ....” “Ya, lo harus menepati ucapan lo sama gue,” tuntut Clara. “Tapi, kan –“ “Nggak ada tapi-tapian!” sela Tania dengan geram. “Sekarang juga, lo harus kerjain PR Matematika kami. Juga PR Biologi, Tugas Kimia dan presentasi Bahasa Inggris!” Clara memberi perintah. Syifa melongo membuka mulutnya lebar mendengarnya. “Apa? Sebanyak itu?” protesnya. “Ya. Dan lo masih harus nurutin semua ucapan kami. Seharian ini, lo adalah kacung kami, lo ngerti?” ancam Tania dengan marah. “Kami nggak mau tahu ya, nilai kami harus bagus-bagus semua. Awas aja kalau lo ngerjainnya asal-asalan. Kami akan meminta papanya Rere untuk mencabut beasiswa lo!” Tania dan Clara mendorong tubuh Syifa menjauh dan melemparkan tas mereka ke arahnya sebelum mereka berdua pergi ke luas kelas. Anak-anak yang lain hanya tersenyum diam-diam, saling berbisik dan menertawakan Syifa. Syifa menggigit bibirnya, merasa kesal sekaligus menyesal karenanya. “Ah, sial!” gumamnya sendiri. Namun tak ada seorangpun yang akan membantu dirinya. Bahkan tak ada yang merasa peduli kepadanya, kecuali .... “Amaya?” seru Syifa dengan terkejut ketika sosok Amaya mendadak muncul di ambang pintu dengan tatapan aneh yang tertuju pada Syifa. Tiba-tiba saja Syifa teringat akan mimpinya semalam. Dia bergidik ngeri, merasa adanya hawa dingin yang aneh itu kembali. Amaya berjalan pelan mendekati Syifa, lalu tanpa berhenti langsung menuju ke meja mereka. Syifa juga bergegas duduk ke mejanya, seraya mengeluarkan buku-buku tugas milik Tania dan Clara. Diam-diam Syifa melirik ke arah Amaya, ingin mengintip apa yang sedang dia lakukan. “Apa?” ucap Amaya dingin. Syifa terlonjak kaget. “Ehhh, nggak apa-apa kok,” kilah Syifa. “Kenapa kamu kerjain PR mereka?” tanya Amaya. Syifa menunduk, mencoba mencari-cari alasan. “Aku –“ Kriiinggg! Suara bel berdering membuat Syifa terlompat. “Aduh, aku harus kerjain ini cepat-cepat.” Syifa lantas mengalihkan seluruh perhatiannya ke tugas milik Tania dan Clara. Beruntung dia sudah mengerjakan tugas itu semalam, jadi sekarang dia ingat betul cara menjawabnya. Dia bahkan bisa menyalin PR itu dengan cepat sebelum guru memasuki kelas. Tania dan Clara yang sudah menunggu lekas mengambil kembali tas dan buku tugas mereka. Ketika jam istirahat tiba, Tania kembali mendatangi Syifa dengan wajah memerintah. “Belikan gue es krim!” titahnya. Syifa menghela napas. “Oke, mana uangnya?” “Pakai duit lo dulu,” kata Tania dengan enteng. Sementara Clara melemparkan setumpuk buku tugas miliknya dengan Tania di atas meja Syifa. “Tan, gue nggak bawa uang sama sekali,” kata Syifa memprotes. Namun Tania berdiri dengan lagak tidak peduli. “Gue nggak mau tahu ya, pokoknya gue mau es krim sekarang juga!” Syifa membasahi bibirnya dengan susah payah. “Tapi Tan—“ “Gue tinggal ke toilet dulu. Kalau gue kembali nanti, gue mau es krimnya udah ada. Ngerti?” Syifa tak dapat berkata-kata. Tania dan Clara sudah berjalan pergi meninggalkan kelas. Syifa menatap tumpukan buku tugas yang harus dikerjakannya. Tatapannya penuh sesal. Sementara itu Amaya masih duduk di tempat duduknya dengan pandangan tertuju pada Syifa, namun dia tidak berbuat apa-apa. Meski dipenuhi rasa enggan, Syifa melakukan sesuai perintah Clara untuk menyelesaikan semua tugas-tugas mereka. Padahal Syifa selalu menganut motto bahwa dirinya paling tidak suka mengerjakan tugas orang lain. Tetapi dia terpaksa harus menerimanya karena janji yang ia buat dengan Clara. “Heh, mana es krim gue?” tuntut Tania ketika dia dan Clara sudah kembali ke kelas. Syifa gelagapan. Dia benar-benar tak bisa membeli es krim permintaan Tania karena ia tak memiliki uang. “Aku nggak punya uang, Tan. Jadi, aku nggak bisa beli es krim yang kamu mau,” jawabnya dengan pasrah. “Halah, banyak alasan! Sekarang juga lo pergi ke kantin dan bawain gue es krim! Jangan kembali sebelum lo bawa es krim yang gue minta!” “Tapi, gimana caranya aku bisa dapat es krim tanpa uang?” tanya Syifa dengan heran. “Ya mana gue tahu! Lo pikirin aja sendiri. Mau nyolong kek, minta kek, gue nggak peduli!” Syifa secara otomatis menuruti kata-kata itu. Tatapan tajam Clara dan Tania sudah cukup untuk mengancam Syifa. Gadis itu berjalan lesu keluar kelas, mencari cara untuk mendapatkan es krim. “Syifa, awas!” teriak seorang pemuda. Syifa menoleh, ternyata itu adalah Reza yang berlari kecil mengerjarnya. “Awas!” teriaknya lagi. Syifa menatap anak itu dengan heran, tak mengerti apa maksudnya. Sesaat kemudian .... DUKK! Sebuah bola basket menghantam wajah Syifa dan membuat gadis itu jatuh pingsan. Dia kehilangan kesadaran dan ambruk ke lantai seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD