Syifa berdiri di depan koridor rumah sakit dengan napas memburu. Dia menoleh kepada Amaya, yang juga berdiri tak jauh darinya.
Rambut panjangnya yang tergerai selalu menutupi sebagian besar wajah gadis itu, memberi kesan aneh pada dirinya.
“Apa yang kamu lakukan, May?” tuduh Syifa dengan jengkel.
“Kenapa kamu malah berkata seperti itu? Padahal aku datang kemari hanya untuk meminta maaf atas apa yang sudah kamu lakukan!”
Amaya diam saja tak menjawab.
“Padahal ini salah kamu, tetapi kamu tidak mau minta maaf pada Rere!”
Syifa berjalan menjauh dengan cepat, meninggalkan sosok Amaya di sana. Dia merasa marah, kesal dan jengkel. Amaya sama sekali tidak menghargai tindakannya. Seharusnya mereka berdua memperbaiki kesalahpahaman dan menghentikan semua masalah ini berlanjut. Tapi Amaya tidak mendukungnya sama sekali.
Di luar rumah sakit, hujan turun dengan cukup deras. Syifa melihat sebuah angkot sedang berhenti tak jauh dari sana. Syifa berlari kecil ke arah kendaraan itu dan bergegas masuk. Sebelah kakinya masih berada di luar ketika dia menoleh ke belakang.
Entah mengapa, perasaan tidak enak menyerbunya. Bagaimana dengan Amaya?
“Eneng mau naik nggak nih?” desak si sopir angkot tak sabaran.
“Maaf, Pak. Saya mau jemput temen saya dulu sebentar,” sahut Syifa yang tersadar dari lamunan.
Syifa berjalan kembali ke dalam rumah sakit. Dia berjalan dengan tubuh basah kuyup ke koridor tempat dia meninggalkan Amaya.
Anehnya, gadis itu malah duduk di salah satu kursi tunggu seolah masih menunggu seseorang.
“May ....”
Amaya menoleh sedikit ketika mendengar suara Syifa memanggil.
“Maaf soal kata-kataku tadi,” ucap Syifa dengan perasaan bersalah. “Ayo, kita pulang!”
Amaya diam tak bergerak, menatap mata Syifa dengan intens. Syifa lantas mendekat dan duduk di sampingnya.
Dia sadar bahwa Amaya pasti juga merasa kesal padanya. Jika Syifa berada pada posisi Amaya, mungkinkah dia akan diam saja melihat temannya disakiti oleh Rere?
“Aku terbawa emosi. Seharusnya aku tidak marah padamu. Maafkan aku, May.”
Amaya mengangguk pelan. Keduanya terduduk di sana selama beberapa menit.
“Ayo kita pulang sekarang?” ajaknya lagi.
Amaya mengangguk lagi. Kali ini mereka berdua bangkit berdiri dan berjalan keluar dari rumah sakit.
Syifa berjalan berdampingan dengan teman barunya itu, di jalanan yang basah karena air hujan. Angkot yang tadi hendak dinaiki Syifa sudah tak terlihat lagi, mungkin sudah berjalan pergi dengan membawa penumpang.
Syifa menghela napas, menatap jalan yang sepi itu.
“Sepertinya kita harus pulang jalan kaki,” ucap Syifa.
Amaya berjalan di sebelahnya tanpa banyak bicara. Empat puluh menit lamanya mereka berjalan pulang dalam diam. Keduanya mengggigil kedinginan hingga sampai di dekat rumah Syifa.
“Rumahku ke arah sini. Kamu mau mampir ke rumahku, May?” tawar Syifa sembari berhenti di sebuah tikungan jalan.
Amaya menggelengkan kepalanya pelan. Dia terus berjalan hingga ke ujung jalan dan menghilang di belokan.
Syifa melanjutkan langkahnya ke rumah. Dia lekas mandi dan beristirahat. Hari ini cukup melelahkan baginya, dia ingin segera tidur dan melupakan semuanya. Tapi, bayangan Amaya yang menancapkan kukunya begitu dalam di lengan Rere terus muncul di sela mimpinya.
Tatapan Amaya yang penuh benci, menatap lurus ke mata Rere dan membuat gadis itu menjerit-jerit kesakitan. Darah mengucur keluar dari lukanya dan menggenang di lantai. Raungan Rere begitu tinggi dan mengganggu, membuat Syifa lantas menutup kedua telinganya. Suara itu, seperti bukan suara manusia biasa. Suaranya terdengar melengking mengerikan.
Syifa terbangun dengan napas terengah-engah dan keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Gadis itu berusaha mengatur napas dan detak jantungnya.
Butuh beberapa menit untuknya menjadi tenang kembali. Dia menyeka keringat dari wajahnya dan melirik jam yang tergeletak di atas meja. Pukul satu lewat sedikit.
Entah mengapa, dia bisa bermimpi begitu seram. Sungguh membuatnya merinding dan bergidik ngeri ketika membayangkannya kembali.
Syifa menelan ludah yang terasa kering di kerongkongannya. Dia bangkit dan berjalan ke luar kamar.
Dalam keremangan cahaya, Syifa pergi ke dapur dan mengambil segelas air untuk diminum. Usai memuaskan dahaganya, Syifa ingin lekas kembali ke kamar untuk melanjutkan tidurnya.
Tiba-tiba saja, gadis itu merasakan adanya hawa dingin yang aneh menyelimuti tengkuknya. Ditambah perasaan lain seperti ada seseorang yang sedang mengawasi.
Syifa menoleh ke sekitarnya, mencoba meneliti apa yang membuatnya merasa demikian. Mendadak, tatapannya terhenti ke suatu sudut di dapur itu.
Syifa berdiri kaku di tempatnya. Dia melihat sesosok bayangan di sana, berdiri membelakangi dirinya.
Jantung Syifa berdegup kencang. Dia tak mampu bergerak selama beberapa detik yang mencekam itu.
“S-siapa itu?” gumamnya dengan suara bergetar.
“Ayah?” panggilnya, berharap bahwa sosok itu adalah ayahnya.
Tak ada jawaban. Keheningan yang menggantung itu membuatnya merasa ngeri.
Tapi itu tidak mungkin, pikirnya. Ayahnya tidak bisa berdiri sendiri. Beliau selalu duduk di atas kursi rodanya bahkan ketika bekerja. Jadi, siapa sosok di sana?
Syifa mengucek-ngucek kedua matanya untuk memastikan, apakah dirinya benar melihat bayangan itu. Tapi dia tidak salah lihat. Memang ada sesuatu yang berdiri di sana.
Syifa mulai merasa merinding. Buku kuduknya berdiri oleh hawa aneh itu. Tak lama kemudian, dia mendengar suara derit pintu terbuka. Gadis itu nyaris terlompat kaget ketika melihat ujung roda dari kursi roda ayahnya mendekat.
“Syifa? Kamu kok belum tidur Nak?” tanya sang ayah dengan nada heran.
Syifa menghela napas lega. Dia tidak menjawab pertanyaan itu, melainkan menoleh ke arah sudut tadi.
Aneh, bayangan itu kini sudah menghilang. Syifa yakin sekali bahwa tadi dia melihat ada sosok seperti manusia yang berdiri di sudut. Tetapi sekarang dia malah merasa bahwa itu tidak masuk akal.
“Syifa, kamu kenapa?” tanya ayahnya sekali lagi.
Tatapan lelaki itu tertuju ke arah Syifa memandang.
“Enggg, nggak apa-apa, Yah,” sahut Syifa dengan lirih.
“Kenapa kamu belum tidur jam segini?”
“Aku haus,” jawab Syifa dengan singkat.
Ayahnya nampak tidak curiga. Meski dia melihat Syifa berdiri dengan kaku dan banjir keringat.
“Ya udah, tidur lagi sana!” perintah sang ayah.
Syifa mengangguk dan menurut. Dia berjalan kembali ke kamarnya.
“Itu tadi apa ya?” gumam Syifa setelah dia menutup pintu kamar.
Gadis itu masih mencoba memikirkan bayangan aneh itu. Apakah dia telah salah lihat? Apakah itu hanyalah bayangan benda-benda yang menciptakan sosok seperti manusia? Ataukah ada seseorang dalan dapur itu?
Syifa menggelengkan kepalanya. Dia menolak pikiran seram yang merasuk ke benaknya.
“Ah, aku pasti keletihan. Mungkin juga karena terlalu banyak pikiran. Aku harus kembali tidur dan melupakannya,” kata Syifa dengan rasa lega.
Segera saja dia kembali terlelap dalam dunia mimpi, tak lupa mengucapkan doa sebelum tidur. Dia ingin melupakan bayangan aneh serta mimpi seram yang sebelumnya dia lihat.