Bullying
“Lihat tuh, si anak cupu lagi makan sendirian!” ujar Renita Cahya Kusuma, yang biasa dipanggil Rere, kepada teman-temannya.
Tania dan Clara yang merupakan kedua sahabatnya tertawa bersama Rere. “Dasar anak yatim! Lo pasti makan bekal makanan bekas di tong sampah ya?”
Hampir separuh penghuni kantin sekolah ikut tertawa bersama mereka bertiga.
“Gais, jangan gitu dong,” ujar Clara menengahi. “Jangan bully dia, kasihan. Hidupnya aja udah susah, ditambah ini jadi tambah susah. Nanti dia bunuh diri gimana? Kan jadi hilang bahan hiburan kita.”
Rere tertawa terbahak mendengar gurauan Clara. Semua anak-anak dari golongan kaya ikut mencemooh dan mengejek Syifa, gadis miskin yang memperoleh beasiswa di sekolah elite ini.
adis itu duduk sendirian, dengan kotak bekal yang dia bawa sendiri dari rumah. Sebab, dia tak punya uang untuk membeli makanan di kantin yang jauh dari kata murah. Ayahnya yang seorang tunadaksa tak mampu membiayai sekolah Syifa yang terlampau mahal, apalagi memberinya uang saku.
Pekerjaan ayah Syifa hanyalah seorang penjahit pakaian, yang sehari-hari bekerja tanpa lelah demi sang buah cinta. Istrinya telah pergi meninggalkan dia dan Syifa sejak anak itu masih berusia enam tahun, dikarenakan tak bisa menerima kondisi suaminya yang baru saja kecelakaan hingga kehilangan kedua kakinya.
Maka Syifa tumbuh menjadi gadis mandiri yang cerdas, hingga membuatnya bisa mendapatkan beasiswa di sekolah impiannya, SMAN GARUDA 1. Sekolah itu elite dan hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk. Syifa sangat beruntung, sebab kebanyakan siswa yang bersekolah di sini adalah anak-anak orang kaya.
“Heh, Cipa! Sini dong, bantuin kita kerjain PR!” perintah Rere dengan seenaknya saja.
Syifa yang baru saja makan separuh dari bekalnya langsung kehilangan selera makan. Dia menutup kotak bekalnya dan bersiap untuk pergi, namun dicegah oleh Rere dan teman-temannya.
“Eh, lo mau ke mana?” ujar Rere sembari menghalangi jalan Syifa agar dia tidak bisa lewat.
Syifa menunduk, berusaha tidak mencari masalah dengan mereka.
“Aku mau pergi ke kelas,” jawab Syifa.
“Enak aja! Kerjain dulu PR kita!” Tania memerintah, memegang lengan Syifa dengan erat.
Syifa mulai memberontak, berusaha melepaskan diri.
“Lepasin aku, Tan!”
Tania tersenyum mengejek, tak menggubris rengekan Syifa.
“Ayo, Re. Kita kerjain lagi dia!”
Rere tersenyum, melihat-lihat sekelilingnya. Dia mencari benda-benda yang bisa dipakainya untuk mengerjai Syifa.
“Nah, ini dia,” ucap Rere dengan senyuman lebar. Di tangannya dia memegang sebuah botol saus berwarna merah.
“Pegangi dia, Clara!”
Clara menurut, segera memegangi tubuh Syifa bersama Tania. Rere berjalan ke belakang tubuh Syifa dan segera memencet botol saus itu ke atas rok milik Syifa.
Gadis itu membelalak terkejut, mengerti apa yang dilakukan oleh Rere.
“Rere, jangan!” teriaknya.
Namun Rere tak mengindahkan ucapan Syifa. Dia terus memencet botol saus hingga isinya kosong.
“Lihat tuh, temen-temen! Syifa lagi tembus!” teriak Rere pada seluruh kantin.
Sontak semua mata tertuju pada bagian belakang rok Syifa yang berlumuran saus merah.
Seruan-seruan kaget terdengar dari mulut mereka, sembari menertawakan gadis itu.
Rere dan kedua sahabatnya juga tertawa terbahak-bahak. Syifa berusaha melihat roknya yang kotor berwarna merah.
“Apa yang kamu lakukan, Re?” tuduh Syifa.
“Yuk ah, cabut! Lepasin aja dia. Kita pergi ke lapangan nonton anak-anak cowok main basket!” ajak Rere.
Tania dan Clara segera melepaskan Syifa, membiarkan dia bebas. Ketiga pembully itu berlalu pergi, sementara Syifa berusaha membersihkan roknya.
“Syifa!” teriak seseorang.
Gadis itu menoleh, melihat pemanggilnya. Ternyata itu Reza, anak lelaki yang sekelas dengannya.
“Kamu kenapa?” tanya Reza dengan kening berkerut bingung. “Apa kamu tembus?”
Syifa menggeleng, “Nggak. Aku nggak sedang ada tamu bulanan. Ini kerjaan Rere!”
“Rere?” Reza mengepalkan tangannya geram, mengetahuk tindakan yang dia lakukan pada Syifa.
“Benar-benar keterlaluan mereka itu! Nggak bisa dibiarkan!”
“Eh, kamu mau ngapain, Za?” tanya Syifa memegang lengan Reza yang hendak pergi.
“Aku mau kasih pelajaran buat Rere!”
“Jangan, Za!” cegah Syifa. Dia menatap Reza khawatir.
“Nanti kamu malah kena masalah,” lanjutnya.
“Tapi, ini nggak bisa dibiarkan terus, Fa. Kamu selalu dibully sama mereka.”
“Aku nggak apa-apa kok,” ucap Syifa, dengan wajah kalemnya yang manis.
“Tapi, Fa—“
Syifa tersenyum, “Makasih ya kamu udah peduli sama aku.”
Reza menatap mata bulat Syifa yang indah. Dunianya seolah berhenti berputar. Senyuman Syifa yang ditujukan padanya seolah telah meluluhkan segala perasaan marah. Senyuman itu, membuat hati Reza berbunga-bunga.
“K-kamu baik-baik saja?” Syifa bertanya, mulai cemas melihat Reza yang berdiri kalu di depannya.
Reza berkedip, perlahan sadar kembali dari lamunannya.
“Eh, iya. Aku nggak apa-apa. Kamu—“
KRIIINGGG!
Suara bel masuk kelas sudah berbunyi nyaring. Syifa segera mengambil tisu di atas meja dan membersihkan roknya sebisanya.
“Duuuh, kok sudah masuk kelas sih?” gumam Syifa panik.
Reza juga ikutan panik. “Kamu mau dibantuin?”
Syifa menggeleng. “Nggak usah, Za. Kamu duluan aja ke kelas. Aku bisa sendiri kok.”
Reza dilema. Dia tak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, ingin membantu Syifa membersihkan roknya, tapi dia merasa tak enak jika harus menyentuh rok Syifa. Di sisi lain, anak-anak yang lain sudah berhamburan kembali ke dalam kelas.
“Aku nungguin kamu selesai aja deh,” ucap Reza.
“Ah, sudah. Yuk, kita ke kelas.”
Syifa membawa kotak bekalnya kembali ke kelas bersama dengan Reza.
Rere yang melihat mereka berduaan segera tertawa keras. “Wah, pasangan kelas kita tercinta gais!”
Seisi kelas langsung menyambut Syifa dan Reza dengan suitan-suitan dan ucapan menggoda mereka berdua.
“Cieee, pacaran nih ye!”
“Cocok nih, couple cewek cupu sama cowok culun!”
“Sejak kapan sih mereka pacaran?”
Syifa berjalan menunduk, merasa malu. Sementara Reza menggigit bibirnya dengan kesal. Sesekali dia berusaha menghentikan godaan-godaan itu.
“Stop! Kami nggak pacaran!” ujar Reza membela diri.
Syifa diam saja, duduk di bangkunya di sudut belakang kelas.
Semua seruan itu seketika berhenti ketika seorang guru wanita dengan langkah tegas berjalan masuk. Di belakangnya, seorang gadis berjalan mengikuti ibu guru.
Semua orang berhenti bicara dan duduk dengan diam. Semua mata memandang pada satu tujuan yang sama, yaitu si gadis.
“Anak-anak, hari ini kita kedatangan seorang siswi baru, bernama Amaya. Ibu harap, kalian semua bisa menerima dia dengan baik. Amaya, silakan memperkenalkan diri.”
Gadis itu hanya berdiri saja di sana, menatap semua orang di kelas dengan tatapan yang tajam. Bibirnya terkatup rapat, tidak memberikan senyuman sedikitpun. Tatapan dan gerakannya tidak ramah.
Ibu guru itu menghela napas, “Ya sudah kalau kamu tidak mau memperkenalkan diri. Silakan duduk di bangku yang kosong, di belakang sana.”
Amaya mengikuti arah telunjuk guru, lalu berjalan ke bangku kosong di sebelah Syifa.
Syifa tersenyum padanya, berusaha menjadi ramah pada si anak baru.
“Hai, aku Syifa. Namamu siapa?”
Amaya tidak menjawab, namun membalas tatapannya dengan tajam dan sinis. Gadis itu membuat Syifa merasa agak tak nyaman.
Dia tidak tahu, apa yang akan terjadi padanya setelah hari itu ....