Tersadar

1102 Words
Syifa terbangun di sebuah ruangan yang berbau obat-obatan. Dia menatap nanar sekelilingnya, mengumpulkan kesadaran. Ruangan serba putih itu nampak tak asing lagi baginya. Syifa terduduk dan mengernyitkan kening. Barulah saat itu dia sadar sepenuhnya. “Aku kok bisa sampai di sini?” gumam gadis itu dengan heran. Syifa melihat ke ruangan yang kosong itu, mencoba untuk mencari jawaban. “Kamu sudah bangun?” ucap sebuah suara. Syifa terkejut, lantas menoleh ke asal suara. Seorang cowok jangkung berdiri tak jauh darinya, tersenyum manis menatap Syifa. “Aku kuatir karena kamu nggak bangun-bangun. Takut kamu kenapa-napa,” ucapnya lagi dengan nada manis yang lembut. Syifa mengerjap, menatap cowok itu dengan tatapan terpana. Angga, cowok pemain basket yang tinggi dan tampan itu balas menatapnya. Rambut hitamnya menutupi sebagian wajah, membuat kesan cool yang melekat pada dirinya. Sementara lesung pipi di sebelah kiri wajahnya membuatnya nampak amat manis ketika tersenyum. Dia adalah cowok populer di sekolah ini, di idolakan oleh nyaris semua siswi di sana termasuk Syifa. “A-aku baik-baik s-saja,” ucap Syifa tergagap. Dia dapat merasakan detak jantungnya berdegup lebih kencang, seakan dia baru saja berlari mengelilingi lapangan. “Kamu beneran baik-baik saja kan? Apa nggak ada yang terluka?” tanya Angga lagi untuk memastikan. Dia bahkan mendekati Syifa di atas ranjang UKS dan meneliti sekujur tubuh gadis itu. Dia ingin melihat, apakah benar tidak ada luka sama sekali. Tangan Angga memegang sebelah tangan Syifa. Syifa yang selama ini menjadi siswi cupu dan tidak populer tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan bisa sedekat ini dengan sosok Angga. Tangan kanannya yang digenggam erat terasa hangat, mengalirkan rasa seperti tersengat aliran arus listrik yang menyenangkan. Gadis itu merasakan tatapan cowok itu menelusuri tubuhnya, membuatnya merasa malu dan merona. “Ngapain kamu, Ngga?” Angga dan Syifa lantas menoleh. Reza masuk ke dalam UKS dan mendekat ke mereka dengan raut wajah tak senang. “Jangan sentuh-sentuh dia!” sergah Reza dengan tegas. Ditepisnya tangan Angga dari tangan Syifa. “Gue cuma mau ngecek aja kalau-kalau Syifa kenapa-napa,” jawab Angga dengan nada biasa. Syifa membuang muka, berpura-pura tidak menatap ke arah cowok itu. Meski sebenarnya dia ingin tersenyum sendiri karena ternyata Angga mengetahui namanya. “Nggak perlu pegang-pegang gitu, Ngga. Lo kan bisa nanya sama dia,” kata Reza lagi dengan nada ketus. “Iya, iya. Gue salah. Maaf ya, Syifa ....” Syifa lekas menjawab dengan salah tingkah. “Iya, nggak apa-apa kok.” “Tuh, orangnya aja udah maafin gue. Kenapa wajah lo masih sewot begitu?” sindir Angga dengan nyengir. Reza menatap cowok itu dengan tatapan tidak suka. Seakan baru teringat sesuatu, Syifa menatap kedua cowok itu bergantian. “Kenapa aku ada di sini?” tanya Syifa bingung. “Kamu di sini karena Angga,” jawab Reza sambil melirik ke arah cowok itu. Syifa menatap Angga dengan heran, tak mengerti maksud Reza. “Aku yang udah lempar bola basket ke arah kamu dan bikin kamu jatuh pingsan. Maaf ya, Syifa, aku nggak sengaja. Sumpah deh!” ucap Angga dengan tulus. Syifa akhirnya mengerti, alasan mengapa dirinya sekarang duduk di ranjang UKS sekolah. Sekelebat ingatan sebelum dia jatuh pingsan lantas merasuk ke benaknya. “Oh, iya. Nggak apa-apa,” kata Syifa menenangkan. “Kamu bener nggak apa-apa? Kalau ada cidera atau luka, bilang aja. Biar Angga ganggung jawab dengan perbuatannya,” hasut Reza mengompori. Syifa menggelengkan kepalanya dengan halus. “Aku nggak apa-apa kok, Za.” “Aku kok nggak yakin ya? Takutnya nanti kamu kena gegar otak atau apa ....” Syifa meraba kepalanya tanpa sadar, ingin mengecek otaknya. “Ah, enggak. Aku baik-baik saja,” sergah Syifa. “Hmm, gitu ya. Ngomong-ngomong, ini aku bawain kamu es krim yang kamu minta.” Syifa menatap es krim yang diserahkan oleh Reza dengan pandangan bingung. “Es krim?” ucap Syifa dengan kening berkerut dalam. “Iya. Tadi, saat kamu pingsan kamu terus-terusan ngigau es krim. Kamu nyebut-nyebut begitu. Jadi, aku keluar dan membelinya untuk kamu.” Syifa merasakan adanya suatu hal yang dia lupakan. Es krim itu tiba-tiba saja memgingatkan dia akan sesuatu. Es krim ... Tania! Syifa membelalakkan matanya lebar, teringat pada kejadian sebelum dia tak sadarkan diri. “Astaga!” ucapnya lantang. “Tania!” Syifa lekas turun dari atas ranjang dan berlari hendak keluar ruangan. “Za, makasih banyak ya es krimnya!” ucap Syifa seraya berlari pergi. Reza mengangguk dengan lembut, meski benaknya dipenuhi tanda tanya akan sikap Syifa yang aneh itu. “Hei, mau ke mana?” tanya Angga tetapi tak mendapat jawaban sebab Syifa sudah menghilang. “Astaga, Tania pasti akan membunuhku!” gumam Syifa sembari berjalan seorang diri di koridor sekolah yang sudah sepi. Sepertinya semua anak sudah masuk ke kelas masing-masing. Syifa mempercepat lajunya ke dalam kelasnya dan mendapati Tania sedang duduk bergerombol dengan Clara dan beberapa orang anak. Tatapan mereka seketika menyorot ke arah Syifa, yang masuk kelas dengan sebuah es krim di tangannya. “Tan, ini es krimnya,” kata Syifa seraya mengulurkan benda itu kepada Tania. Tania balas menatapnya dengan sorot mata tak senang. “Ke mana aja sih lo, kenapa baru muncul sekarang?” “Errr, itu ... Aku habis dari UKS.” “Hah, ngapain lo ke UKS?” timpal Clara dengan penuh tanya. “Aku jatuh pingsan tadi. Kena lemparan bola dari Angga,” jawab Syifa apa adanya. Tania dan Clara saling pandang. “Lo sengaja ya?” tuduh Clara dengan sengit. “Lo pasti sengaja nyari-nyari alasan buat menghindari kita!” Syifa menggeleng. “Nggak kok, aku nggak begitu.” “Halah, banyak alasan! Lo emang tukang menghindar. Lo sampai bawa-bawa Angga segala buat nutupin. Lo pikir kita akan percaya sama elo?” “Sumpah, Tan. Tadi Angga juga ada di sana. Kamu tanya aja sama dia,” balas Syifa dengan ngotot. Tania menyipitkan matanya, menatap Syifa dengan benci. Tapi dia tak lagi punya alasan untuk meragukan ucapan Syifa. “Jadi, lo tiduran di dalam UKS saat gue nungguin lo dari tadi?” Syifa tak tahu harus menjawab apa. “Aku kan pingsan ....” “Ck! Dasar cewek centil! Lo pasti pura-pura buat dapatin perhatian dari Angga aja!” Ucapan Clara itu membuat Tania nampak semakin marah. “Nggak lah, ngapain aku berbuat begitu!” sangkal Syifa dengan tegas. Meski dunia tahu bahwa semua orang di sekolah ini naksir pada Angga, tetapi mereka tak boleh tahu jika Syifa juga suka padanya. Akan lebih baik untuk menyangkal dan memendam sendiri perasaan itu sendiri. Setidaknya, orang-orang seperti Tania, Clara dan Rere tidak akan bisa menghina dirinya secara terang-terangan di depan Angga. Jika mereka tahu Syifa naksir Angga juga, entah apa yang akan mereka lakukan kemudian. Syifa tak ingin memikirkan kemungkinannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD