Dugaan

1074 Words
“Aku melihat sendiri bahwa Amaya sedang melakukan itu,” ucap Syifa lagi, dengan nada bicara lebih ngotot. Reza yang sedang duduk di depannya menatapnya dengan sorot mata tak percaya. Cowok itu duduk berhadapan dengan Syifa di salah satu meja kantin, berbicara berduaan. Sejak kejadin di kelas tadi, Syifa tak bisa mengalihkan pikirannya dari sosok Amaya. Dia terus-menerus memikirkan gadis itu, hingga membuat fokusnya pecah dan dia tak bisa memperhatikan pelajaran yang guru berikan. Ketika bel istirahat berdering, buru-buru Syifa berjalan ke kantin dengan linglung. Dia begitu terdesak untuk pergi meninggalkan kelas sehingga melupakan kotak bekal makan siangnya. Dia justru duduk di meja kantin dengan tatapan kosong. Saat itulah Reza menyapa dan mendekatinya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Syifa. “Apa kamu yakin, Syifa?” tanya Reza lagi entah untuk ke berapa kalinya. Syifa menghela napas panjang, merasa muak. Dia telah menceritakan kejadian di dalam kelasnya kepada Reza sampai mulutnya pegal. Kalau saja cowok itu meluhat sendiri apa yang dilihatnya, barulah dia akan percaya! “Sumpah, demi apa! Aku melihatnya. Amaya duduk di tempatnya dengan sorot mata penuh dendam. Dia mengangkat kedua tangannya di udara dan membuat gerakan yang mirip seperti mencekik. Seakan-akan dia sedang mencekik seseorang,” tutur Syifa dengan gerakan yang memperjelas maksudnya. Reza membasahi bibirnya dengan resah. “Mungkin itu hanya perasaan kamu saja. Kamu tahu kan, kadang kita melihat hal-hal semacam itu di saat otak kita tersugesti. Jadi, kamu tidak berpikir dengan baik.” Respon itu jelas tidak membuat Syifa lega. Justru sebaliknya, dia malah marah dan geram dengannya. “Kamu selalu saja membela Amaya!” sembur Syifa kesal. Sekarang dirinya terdengar persis seperti Tania. Dia juga mengatakan hal yang sama kepada Syifa. “Bukan begitu,” bantah Reza membela diri. “Aku hanya merasa bahwa akhir-akhir ini kamu agak sensitif kepada Amaya. Padahal, sebelumnya kalian begitu dekat. Apa yang terjadi, Syifa? Kenapa hubungan kalian bisa sejauh ini sekarang?” Syifa tertunduk. Dia merenungkan ucapan Reza barusan. Gadis itu menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. “Banyak hal yang terjadi, Za,” ucap Syifa lemah. “Apa itu? Kamu bisa cerita padaku.” Syifa berpikir-pikir. Haruskah dia menceritakan semua hal yang di alaminya kepada Reza? Bukankah nantinya cowok itu justru akan semakin berpikir bahwa dirinya gila? “Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Syifa?” desak Reza ingin tahu. Syifa mengangguk, lemah tetapi tegas. Dia tahu bahwa banyak sekali hal yang merasuk ke benaknya akhir-akhir ini. Kejadian demi kejadian seolah terus memburu dirinya, tak memberi dia kesempatan untuk beristirahat sebentar. Apalagi, nyaris semuanya berhubungan dengan Amaya. “Kamu nggak akan percaya deh,” kata Syifa dengan lesu. “Masa? Memangnya ceritanya seperti apa sih? Mana kamu tahu kalau kamu tidak mau cerita?” sergah Reza. “Kemarin aku memergoki Amaya di belakang sekolah, duduk sendirian dan mendesis-desis seperti sedang merapal mantra,” ujar Syifa dengan sorot mata serius. Reza menatapnya tanpa berkedip. Cowok itu nampak terkejut mendengar penuturan Syifa. “Serius? Apa yang dia lakukan?” “Hanya ... Duduk di sana seperti orang yang sedang ziarah,” lanjut Syifa. “Tapi itu bukan berarti dia jahat kan? Bisa saja dia hanya sedang merenung sendirian dan tak ingin diganggu orang.” “Tapi itu aneh, Za!” “Memang, aku akui bahwa tindakan itu agak aneh dan tidak biasa. Tapi kamu kan sudah tahu sejak dulu bahwa Amaya memang agak ... berbeda.” Syifa menatap sorot mata Reza dengan kedua matanya yang berwarna hitam. “Tapi aku merasa, semua tingkah laku anehnya itu ada hubungannya dengan kejadian-kejadian yang terjadi.” Reza menunggunya melanjutkan ucapannya, sembari menyeruput es tehnya dengan pelan. “Kurasa, setelah aku memergoki dia siang itu, Rere kemudian jatuh sakit. Dia yang awalnya sehat-sehat saja, tiba-tiba sakit perut separah itu.” “Ah, Rere,” gumam Reza tak senang. “Dari dulu reputasinya seperti drama queen. Gadis itu mungkin saja hanya berpura-pura dan berakting. Kamu kan tahu sendiri bagaimana anak orang kaya itu suka bertingkah.” “Tapi buat apa dia melakukan itu?” sanggah Syifa tak terima. “Yah, kalau dia bosan misalnya, lalu dia mencari-cari alasan untuk keluar dari kelas.” “Justru karena aku mengenal betul siapa Rere, maka aku tidak yakin dia akan berbuat begitu. Dia toh seorang anak pemilik Yayasan sekolah ini. Jadi, tanpa perlu repot-repot begitupun dia pasti akan bisa keluar masuk sekolah kapan saja. Guru-guru tidak akan mempermasalahkannya, aku yakin.” Pendapat Syifa memang terdengar masuk akal, membuat Reza manggut-manggut sendiri. “Kalau begitu, ya dia memang kebetulan saja jatuh sakit.” “Orang seperti Rere?” Syifa mengangkat alisnya tak yakin. “Yah, siapa saja bisa jatuh sakit, Syifa. Tidak ada yang tidak mungkin. Meskipun anak orang kaya seperti Rere bukan berarti dia kebal terhadap penyakit.” Syifa terpaksa membenarkan. “Tapi itu aneh, soalnya terjadi persis setelah Amaya merapalkan—“ “Merapal mantra?” sahut Reza dengan sebuah senyum geli di wajahnya. “Ayolah, Syifa. Apa kamu pikir dia itu seorang penyihir atau dukun santet?” Syifa mengerjap-ngerjap menatap Reza. Dia teringat pada ucapan Tania yang menyebut Amaya sebagai seorang penyihir. “Lalu, ada lagi, Za. Kejadian Tania itu. Itu sangat janggal sekali!” “Ah, itu hanya sugesti kamu saja. Mana mungkin Amaya mampu mencekik Tania dari jarak jauh tanpa menyentuhnya? Itu pasti hanya tipuan pikiranmu saja. Kamu berusaha menghubungkan keduanya.” “Begitu ya?” ucap Syifa tak yakin. Reza mengangguk dengan mantap, seperti seorang psikiater yang menangani pasiennya. “Jangan khawatir lagi. Aku yakin rasa takutmu sendirilah yang telah mendorongku berpikir yang tidak-tidak, Syifa.” “Yah, mungkin saja ....” Reza menggenggam tangan Syifa di atas meja dengan erat, membuat gadis itu tersentak kaget. “Tenanglah, ada aku di sini. Kamu tidak perlu merasa takut,” ucap Reza selagi tersenyum. Tangannya menepuk-nepuk halus tangan gadis itu. “Ehem!” Suara berdehem itu membuat keduanya serentak menoleh. Nampak anggota tim basket Angga berjalan berderetan dengan cengiran lebar di wajah mereka. “Pantesan tim basket lo kalah melulu, Za. Kapten timnya aja sibuk pacaran terus!” sindir seseorang. Syifa dapat merasakan wajahnya menjadi merah seperti kepiting rebus. “Ah, urus saja dirimu sendiri!” balas Reza dengan santai, sama sekali tak terpengaruh. Di antara mereka semua, nampak sosok Angga di antaranya, yang berdiri dengan raut muka mengernyit menatap tangan Syifa. Gadis itu lantas buru-buru menarik kembali tangannya. Tetapi, Reza dengan cekatan menggenggamnya lagi, seakan tak ingin melepaskannya. Syifa menunduk, menghindari tatapan Angga. Dia sungguh berharap Angga tidak berpikir yang aneh-aneh tentang dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD