“Heh, apa yang udah lo lakuin sama Rere?” bentak Tania dengan nada galak.
Gadis cantik itu menatap tajam pada sosok Amaya, yang berdiri berhimpitan dengan dinding. Tania sengaja menekan tubuhnya ke dinding agar dia tidak kabur.
“Ngaku aja sekarang, apa yang udah lo lakuin sama Rere sampai-sampai dia harus menderita sakit perut luar biasa seperti itu?!” desak Tania lagi.
Amaya hanya berdiri diam, menatap balik sosok Tania yang mencengkeram bahunya dengan kuat. Dia melotot tajam di balik tirai rambut hitamnya yang menjuntai menutupi wajah.
Syifa berdiri di dekat mereka dengan melongo. Tadi Tania sengaja kembali ke sekolah usai mengantarkan Rere ke rumah sakit. Gadis itu kembali bersama sopir Rere, lalu berjalan dengan tergesa ke ruang kelasnya dan langsung mencekal Amaya. Dia melabrak Amaya seolah dialah alasan Rere jatuh sakit.
“Apa-apaan ini, Tan?” tanya Syifa dengan nada suara mendesak.
“Lo diem!” bentaknya tanpa menoleh. “Ini bukan urusan elo!”
“Tapi—“
“Heh, anak aneh, lo bilang sama gue sekarang, apa yang udah lo lakuin ke Rere sampai membuat di masuk rumah sakit lagi!”
Amaya bergerak sedikit, menggelengkan kepalanya.
“Gue nggak tahu, lo itu keturunan penyihir atau apa, yang jelas semenjak kedatangan lo ke sekolah ini, banyak hal-hal aneh yang terjadi. Dan gue yakin bahwa semua ini pasti ada hubungannya sama elo.”
“Jangan nuduh sembarangan, Tan,” sergah Syifa dengan cepat, menyela berondongan kalimat yang terlontar keluar dari mulut Rere.
Kepala Tania berputar ke arah Syifa, menatap gadis itu dengan tajam.
“Lo mau apa sih? Ngapain lo belain dia terus?” ucap Tania dengan sinis.
Syifa berdiri tergagap, tak mampu menjawab pertanyaan itu.
“Oh, iya, gue lupa. Lo sahabat dekatnya cewek penyihir ini kan? Lo mau belain dia dan bilang bahwa dia innocent, nggak bersalah gitu?”
Sindiran itu membuat d**a Syifa berdegup kencang. Dia melirik Amaya sekilas. Dari beberapa pertengkarannya akhir-akhir ini dengan Amaya, Syifa tahu bahwa dirinya seharusnya tak perlu mencampuri urusan yang menyangkut dengan Amaya. Toh hubungan pertemanan mereka sudah pupus.
“Tidak,” ucapnya pelan kepada Tania. “Aku tidak berniat membela siapa-siapa.”
“Kalau gitu, lo nggak usah ikut campur sama masalah ini. Kecuali, kalau lo juga punya andil dalam penyebab sakitnya Rere!”
Syifa bergeming. Dia tak berbuat apa-apa atau membalas ucapan itu. Perlahan tubuhnya duduk kembali di atas bangku miliknya. Tapi tatapannya masih memperhatikan Tania dan Amaya dengan seksama.
Tania kembali memfokuskan perhatiannya kepada sosok Amaya. Dia memberikan reaksi yang tidak jelas, antara menggumam dan mengerang.
“Jawab pertanyaan gue, Amaya!” bentak Tania dengan keras.
Semua orang di kelas itu nampaknya memperhatikan mereka, tetapi tidak ada yang menunjukkan protes atau semacamnya. Hanya Syifa satu-satunya orang yang berani melawan Tania tadi. Sementara yang lain seakan menjadi patung yang menonton adegan itu dengan membisu.
“Lo udah pernah mencelakai Rere sebelumnya, lalu lo mencelakai gue, terus Clara. Dan sekarang lo kembali mencelakai Rere. Apa sih tujuan lo? Apa lo emang pengen nyerang kami semua?!” tuding Tania tanpa ampun.
Sebenarnya Syifa ingin membela Amaya. Semua tuduhan Tania sama sekali tidak masuk akal dan tidak ada buktinya. Jadi, mustahil menuduh Amaya yang menyebabkan semua kejadian itu. Benar-benar aneh melihat Tania berdiri ngotot menuding Amaya menjadi penyebabnya. Apalagi sampai memanggilnya sebagai penyihir segala!
“Tan, guru Kimia berjalan ke arah sini,” ucap salah seorang temannya.
Gadis itu masih menatap Amaya yang membisu. Mereka saling adu tatap selama beberapa detik yang terasa bagaikan setahun. Teman-teman sekelas yang lain saling lirik, bingung harus melakukan apa.
“Tania, lo nggak punya cukup bukti untuk menuduh Amaya—“
Ucapan Syifa disela oleh Tania dengan suara u*****n keras.
“Lo sebaiknya hati-hati, Syifa! Sebab lo nggak tahu lo sedang membela siapa. Suatu saat, lo pasti juga akan dicelakai oleh cewek penyihir ini. Lihat aja nanti!” ucap Tania kepada Syifa.
Tania melepaskan cengkeramannya di bahu Amaya. Gadis itu masih berdiri dengan tatapan tajam menusuk.
“Dan elo, cewek penyihir, gue peringatkan buat elo untuk berhenti. Kalau lo masih menebar teror di sini, gue nggak akan segan buat melawan elo!”
Ucapan itu berakhir tepat ketika suara keletuk sepatu guru Kimia mereka berhenti di depan kelas. Wanita berkacamata itu menatap sekelilingnya dengan bingung.
“Ada apa ini, Tania?”
Tania menurunkan pandangan, seraya berbalik memunggungi Amaya. “Tidak ada, Bu.”
Sontak semua orang kembali ke tempat duduk masing-masing. Guru itu pun berjalan ke mejanya sendiri dan menunggu.
Setelah semua orang duduk tenang, barulah dia menyapa seluruh kelas. Amaya duduk dalam perasaan marah yang menyelimuti dirinya.
Syifa berusaha keras untuk tidak melirik ke arah gadis itu, meski perasaannya tidak tenang. Dia tahu bahwa gadis itu pasti merasa terguncang oleh ucapan Tania barusan. Dia sendiri juga sama. Syifa sama sekali tak menyangka bahwa Tania akan menyemburkan semua itu.
Perhatian seluruh kelas telah teralihkan kepada sosok guru Kimia yang berdiri di depan kelas sambil memberikan materi. Suasana senyap dan hikmat sebelum seseorang tiba-tiba memecahkannya.
“Ghhhkkk ... Ghhkkk!”
Itu suara Tania. Gadis itu duduk di deretan bangku depan, sehingga mengakibatkan semua kepala serentak menoleh menatapnya.
Tania nampak bergerak-gerak dengan aneh di kursinya. Tangan gadis itu yang memegang bolpoint lantas menjatuhkan benda yang dipegangnya, sementara kedua tangannya beranjak memegangi leher. Bolpoint menggelinding di lantai tanpa seorangpun yang memperhatikan.
Semua mata tertuju pada sosok Tania yang kelihatan seperti sedang tercekik, atau mencekik diri sendiri. Sontak semua orang terutama teman-teman dekatnya berusaha untuk membantu.
Guru dan semua anak sekelas menyaksikan Tania kesulitan bernapas. Dia nampak mengerikan.
Syifa secara refleks menoleh ke belakang dan melihat Amaya sedang menggerakkan kedua tangannya di udara membentuk gerakan melingkar yang aneh. Kening Syifa berkerut dalam, merasa heran dan bingung pada saat itu.
“Tolong dia!” teriak seseorang.
Entah siapa, pokoknya suasana kelas yang tadinya hening mendadak jadi ribut sekali. Semua orang bergerak secara bersamaan. Bunyi derit-derit bangku beradu dengan lantai memenuhi ruangan. Beberapa anak memegangi Tania, hendak membawanya keluar.
Syifa masih menatap lekat pada tangan Amaya, yang kemudian berhenti bergerak dan diam di atas meja. Rupanya tatapan tajam Syifa telah membuatnya berhenti.
Pada saat itu juga terdengar suara Tania mengambil napas panjang dengan suara mengi. Seperti suara orang yang terkena Asma. Gadis itu kesulitan bernapas, membuat teman-temannya panik mencarikan inhaler di dalam tasnya.
“Ini dia!” seru salah satunya. Dia mengulurkan inhaler itu kepada Tania dan lekas menyeretnya keluar ruangan.
Seisi kelas memperhatikan adegan itu, seakan sedang menonton sebuah pertunjukkan saja.
Jantung Syifa mulai terkendali lagi ketika sosok Tania sudah menghilang bersama para anteknya.